Oleh : Teten Romly Qomaruddien
Luar biasa sesak dan padatnya jalanan hari ini; jalan protokol dengan kendaraan yang mengular panjang, nyaris tidak bergerak terjebak kemacetan total. Apalah artinya semua itu, apabila kerinduan untuk mudik dan keinginan berlebaran di kampung halaman telah menjadi kesimpulan yang sulit ditepis dan dihilangkan.
Tidak ada hukum yang pasti secara syar’i dalam menilai perilaku sosial seperti ini, melainkan hanya bisa memaklumi secara ‘aadi dan ‘urfi, yakni pendekatan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat yang sudah menjadi hukum bersama selama tidak ditemukan adanya pelanggaran. Berjalan dan mengalir secara alami, sehingga berubah menjadi kearifan lokal [local wisdom].
Namun, dilihat dari sisi sosiologi dan psikologi betapa perjumpaan dan pertemuan dalam suasana bahagia bersama keluarga, handai tolan, kerabat, dan bahkan teman lama menjadi nilai tersendiri dalam menggairahkan hidup setelah kepenatan.
Karena itu, kemacetan model apa pun bukanlah rintangan yang berarti bagi mereka. Terlebih apabila para “mudiker” menjalani aktivitas mudiknya penuh dengan semangat imaanan dan ihtisaaban, seperti halnya Ramadhan dengan semua rangkaian amaliahnya yang sangat beragam.
Yang pertama, berarti menjalaninya sepenuh dorongan keikhlasan dengan mengedepankan kemaslahatan agama yang jauh dari kemungkaran [menghidupkan shilaturrahim, menambah pertemanan, peduli dengan sesama, saling berwasiat kebaikan, memantik kesalihan sosial, dan merekatkan ukhuwwah].
Adapun yang kedua, menunaikannya benar-benar karena mengharapkan ridha Allah ‘azza wa jalla, jauh dari dorongan untuk berbuat yang sebaliknya [memamerkan kekayaan, memanjangkan kedengkian, membuka pintu keburukan, menonjolkan sifat keakuan, serta membuat kecemburuan sosial dan permusuhan].
Sungguh, dengan memperhatikan rambu-rambu “fiqih mudik” seperti itu, maka tradisi tahunan tersebut benar-benar akan menjadi kunci-kunci kebaikan [mafaatihul khair] dan menjadi ajang kompetisi dalam berbuat kebaikan [musaabaqah bil khairaat].
Dengan demikian, terbayar sudah antrian panjang yang melelahkan itu. Maka, kemacetan yang tadinya begitu menjenuhkan dan penuh kekesalan, berubah menjadi kemacetan yang mengasyikkan dan “sangat dirindukan”. Bismillaahi majreehaa wa mursaahaa … Semoga!!!
✍️ Tulisan ini digoreskan pada hari Rabu, 19/04/2023 (Ramadhan hari ke-28 bakda zhuhur), setelah mendapatkan kiriman berita kemacetan sepanjang jalur Limbangan-Kersamanah Garut Jawa Barat (Kampung halaman di mana kakek buyut al-faqir dilahirkan).