Kamis, Oktober 10MAU INSTITUTE
Shadow

TAFSIR AGAMA DI PERSIMPANGAN JALAN

Oleh : Teten Romly Qomaruddien

Sudah hampir satu bulan tidak menulis; Selain medianya mulai macet karena kepenuhan data, juga banyak objek telaah yang memerlukan perhatian untuk didahulukan. Namun demikian, ada banyak hikmah yang bisa diambil faidah. Minimalnya dapat menyimak banyak ulasan dari berbagai berita media sosial terkait semakin liarnya narasi tafsir agama yang kian mengkhawatirkan.

Maraknya pandangan keagamaan yang kurang populis dan tidak familiar dalam ajaran Islam yang muktabar di kalangan ahli ilmu; Seperti halnya shalat berjarak tanpa alasan [‘ilat] syari’at, adanya perempuan di tengah barisan shalat laki-laki, rencana khatib Jum’at oleh kaum Hawa, senandung salam agama tertentu yang bukan Islam, hingga dagelan atau seloroh “madzhab Bung Karno” yang menghebohkan jagat maya.

Penyimpangan yang dipertontonkan dengan beragam alasan yang dipaksakan, mengingatkan kita pada kerusakan ajaran ummat terdahulu yang keluar dari pokok-pokok ajaran yang semestinya. Agar ummat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengambil pelajaran dari ummat sebelumnya, maka Allah ‘azza wa jalla menceritakannya dalam Al-Qur’an yang mulia.

Di antara yang dijelaskan dan diabadikan adalah penyimpangan kaum Bani Israail yang banyak keluar dan menentang ajaran para Nabinya sendiri; Mengingkari ayat-ayat Allah, membunuh para Nabi, berbuat durhaka dan melampaui batas. Itulah sikap nyata yang pernah diperbuat oleh mereka, yang telah menyebabkan kemurkaanNya sebagaimana dibentangkan dalam QS. Ali ‘Imraan/ 3: 112.

Sebagai kaum yang diberikan keistimewaan berupa diturunkannya panduan hidup [Al-Kitaab], substansi aturan [al-hukma], kepemimpinan dan kenabian [an-nubuwwah], juga dianugerahkannya rezeki yang melimpah, serta diutamakannya mereka di atas sekalian alam [Lihat: QS. Al-Jaatsiyah/45: 16]. Semua keutamaan itu tidak membuat mereka semakin mematuhi Rabb-nya, melainkan penyimpangannya semakin menggila dan menjadi-jadi.

Akankah kerusakan seperti itu terjadi pada ummat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam? Tentu saja jawabannya bukanlah perkara yang mustahil bisa terjadi, apabila ummatnya lebih memilih hawa nafsu dari pada kebenaran yang diajarkan syari’at. Karenanya, Allah ‘azza wa jalla susulkan penegasan kepada RasulNya dengan penuturan kalam berikut:

ثم جعلناك على شريعة من الأمر فاتبعها ولا تتبع أهواء الذين لايعلمون

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas syari’at [peraturan] dari urusan agama, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah/ 45: 18)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah menuturkan uraiannya tentang ayat tersebut: “Termasuk alladziina laa ya’lamuun, adalah setiap orang yang menyelisihi syari’at beliau. Dan makna ahwaa, termasuk semua yang disukai pengumbar nafsu, juga petunjuk lahiriah yang dijalani orang-orang musyrik, serta keharusan-keharusan agama mereka yang batil. Merasa ada kecocokan dengan mereka, berarti mengikuti apa-apa yang mereka sukai.” (Lihat: Iqtidhaa as-Shiraath al-Mustaqiim, tp. thn: hlm. 14)

Untuk keselamatan ajaran agama, agar ‘aqidah dan syari’at tetap tegak lurus sesuai kemurniannya. Maka memfokuskan untuk mengawal dan memelihara ajaran tersebut merupakan keniscayaan bagi setiap ummat Rasul akhir zaman dari kalangan ahli ilmu [‘ulamaa, fuqahaa], orang-orang bijak bestari [hulamaa, hukamaa], dan mereka yang senantiasa memelihara nilai-nilai ketakwaan [atqiyaa].

Adapun misi utama yang diembannya adalah: mengembalikan keyakinan yang telah rusak kepada pangkal agama [ushuuluddiin] yakni ilmu Tauhid, mengobati praktik ajaran menyimpang kepada tata cara ibadah yang benar [syifaauddiin] yakni ilmu fiqih, mewaspadai berbagai benalu dan penyakit beragama [daauddiin] yakni menghindari penuhanan terhadap akal pikiran dan perasaan dalam menyimpulkan ajaran agama, dan menegakkan kembali keteladanan cara beragama agar menjadi kokoh [quwwatuddiin] yakni bercermin kepada cara beragamanya generasi emas yang utama dari para shahabat, taabi’in, taabi’ut taabi’in [as-salafus shaalihiin], serta orang-orang berilmu yang mengikuti jejak langkah mereka [al-khalafus shaalihiin].

Sebagai penutup, sekalipun kita telah jauh ditinggalkan dari zaman kenabian [nubuwwah] dan tiga zaman yang utama [al-quruunus tsalaatsah al-mufadhdhalah], dengan fokus pembenahan tadi maka ‘aqidah dan syari’at dapat terselamatkan. Itu artinya, berbagai tafsir agama di persimpangan jalan pun akan lebih mudah diatasi. Qif duuna ra’yika fil hayaati mujaahidan … Innal hayaata ‘aqiidatun wa jihaadun.


✍️ Tulisan ini digoreskan sebagai bahan kuliah Zhuhur Reboan di Masjid Al-Furqan Kramat Raya 45 Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!