Oleh : Teten Romly Qomaruddien
Siapa yang tidak kenal sosok H. Soewardi Sulaiman? Pria Betawi tulen kelahiran Johar Baru 1948 ini, dikenal “asal jeplak”. Selain karena sikapnya yang tegas terkesan “keras”, wibawa dan pembawaan dirinya pun juga membuat ketar ketir orang yang mengajak bicara dengannya. Namun, dibalik sikap cadasnya itu, ternyata beliau memiliki jiwa lembut yang tersembunyi [al-‘athiifah al-mustatiirah].
Di sela-sela usianya yang telah memasuki 75 tahun, gelora semangatnya masih menggebu-gebu setiap kali diajak diskusi soal pentingnya kader perjuangan. Menurutnya, sumpah setia yang telah diikrarkan dalam “Bai’at Perjuangan” jam’iyyah untuk mewakafkan diri, hendaknya dipegang teguh dengan penuh komitmen oleh semua aktivis dakwah. Karena itulah kata kunci kedisiplinan yang paling penting.
“Jangan mau jadi orang bodoh terus!!!”, tegasnya demikian. Narasi ini menjadi filosofi hidupnya dalam menuntut ilmu dan pengembangan diri sejak dirinya mulai sadar dan belajar agama kepada K.H. Eman Sar’an yang diakuinya sebagai orang tua. Maka tidaklah heran, pria yang hanya lulus SMA Ksatrya tahun 1970-an ini diberi gelar oleh para junior dan para stafnya dengan julukan M.Pd. yang mengandung makna “Mau Perbaiki Diri”.
Selama memimpin jam’iyyah Persatuan Islam DKI Jakarta pasca wafatnya Al-Ustadz Drs. H. Fauwzi Nurwahid Sar’an, dirinya dikenal sosok pedas kalau sudah mengkritik para ustadz yang menurutnya kurang sungguh-sungguh dalam pengembangan jamaah dan kaderisasi. Ketika al-faqir bertanya: “Rumus apakah yang membuat sebuah gerakan jam’iyyah bisa maju, berwibawa dan punya ‘peurah’ [baca: kekuatan]?” Jawabnya spontan, tidak pakai lama: “Jam’iyyah itu wajib diurus oleh orang-orang yang mau berjuang, bukan sekadar ngaji saja”. Dalam pandangannya, ada lima bentuk pengorbanan sebagai rumus kesuksesan bagi para aktivis dalam berjam’iyyah; korban waktu, korban tenaga, korban pikiran, korban harta dan korban perasaan.
Terakhir, ketika ditanyakan, “Pedoman apakah yang menjadi penguat jiwa untuk menjadi kader militan dalam berjam’iyyah?” Tokoh Palang Merah Indonesia [PMI] selama 25 tahun ini mengaku, sejak belajar memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak berhenti dirinya selalu memohon kepada Dzat Maha Pemberi “Agar dirinya menjadi orang baik, jujur dan komitmen dalam perjuangan”.
Sekalipun terbata-bata, Direktur PT Hadico Persada, Direktur Karya Imtaq Travel Jakarta dan Ketua Pembina Yayasan Perguruan Ksatrya Lima Satu (YPKLS) ini, menyodorkan empat landasan teologis berupa ayat suci yang menjadi prinsip dasar perjuangan hidupnya; Quu anfusakum wa ahliikum naaran, Kabura maqtan ‘indallaahi an taquuluu maa laa taf’aluun, Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattan, dan hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Qulil haqqa wa lauw kaana murran. Semoga menginspirasi !!! … ✍️🌸☪️
(@Digoreskan waktu Dhuha, 30/ 08/ 2023, Mobil Elf Banen Limbangan-Viaduct Bandung).
Subhanallah, semoga kita komitmen, Istiqomah dlm Berjamiiyah