Oleh : Teten Romly Qomaruddien
A. Selayang Pandang
Berawal dari kunjungan Dato’ Aidit bin Ghazali Malaysia di Markaz Da’wah Kramat Raya 45 Jakarta Pusat, yang berlanjut dengan menggelar diskusi terbatas bersama Pengurus dan Pembina Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. Dengan diprakarsai H. Ade Salamun, M.Si (eks Direktur Laznas Dewan Da’wah), gelaran ilmiah yang bertopik “Mewujudkan Masyarakat Madani” ini menghadirkan Dr. H. Adian Husaini, M.Si (Ketua Umum Dewan Da’wah) dan Prof. Dr. K.H. Didin Hafiduddin, M.Sc. (Ketua Pembina Dewan Da’wah) dapat berjalan dengan baik.
Ada banyak pandangan dari para tokoh yang hadir; Prof. Didin lebih menitik beratkan, bahwa masyarakat madani sangat ditentukan oleh gerakan civil. Dr. Adian menegaskan, dalam konteks melayu sebenarnya khazanah Melayu memiliki banyak mutiara dalam memetakan masyarakat madani. Sementara itu, K.H. Abdul Wahid Alwy, M.A. menilai bahwa persoalan masyarakat madani adalah persoalan istilah yang bukan musthalahat qath’i, melainkan musthalahat ijtihaadi. Adapun K.H. Mas’adi Sulthani, M.A. lebih menekankan kepada sejauhmana maqaashidus syarii’ah dapat diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih dari itu, K.H. Nasir Zubaidi memberikan pandangan lainnya, menurutnya mengambil keteladanan para tokoh yang berkarakter merupakan ciri masyarakat madani.
Sebagai moderator, “benang hijau” yang dapat menjadi tali simpul dan dikembangkan menjadi uraian lebih luas adalah dengan mengajukan sebuah pertanyaan: “Apakah Masyarakat Madani itu Fakta, atau Utopia?”
B. Memahami Hikmah Agama
Di antara misi beragama, adalah memfungsikan akal secara tepat guna. Karena hakikatnya tujuan diciptakannya akal pun untuk mengawal agama agar selalu selaras berjalin berkelindan. Karena itu membenturkan antara agama dengan akal, merupakan suatu perkara yang tidak boleh terjadi. Lahirnya definisi “Agama adalah ketetapan Ilahi yang mengajak orang-orang berakal untuk menerima wahyu yang diterima Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” sebagaimana dimunculkan Al-Jarjani menunjukkan kebenarannya. (Syarif ‘Ali bin Muhammad al-Jarjani, At-Ta’riifaat, tp. thn: hlm. 105).
Tiga fungsi kenabian yang diturunkan kepada Rasul akhir zaman tidak lepas dari: membacakan ayat-ayat Allah ‘azza wa jalla, membersihkan kotoran jahiliyah, dan mengajarkan kepada mereka kitab suci dan hikmah agar manusia memperoleh petunjuk setelah sebelumnya ada dalam kubangan kegelapan (QS. Ali ‘Imran/ 3: 164).
Dalam fungsi yang terakhir itulah cakupan makna “hikmah” bisa diterangkan ke dalam berbagai pengertian dan konsep, selain maknanya sunnah Nabi, juga bermakna lain di antaranya adalah wisdom, yaitu “kebijaksanaan” atau “kearifan”. Meminjam bahasa Prof. Dr. Nurcholis Majid, hikmah juga berarti ilmu pengetahuan, filsafat, kebenaran, malahan merupakan “rahasia” Tuhan yang hanya tersembunyi yang hanya bisa diambil manfaat dan pelajaran pada masa dan waktu yang lain. Berkaitan dengan “hikmah” dalam pengertian terakhir itu, dalam suatu kisah disebutkan bahwa, perang yang paling membuat Nabi dan kaum Muslimin terpukul adalah perang Uhud, karena kekalahan berada di pihak Nabi dan kaum Muslimin. (Nurcholis Majid, Memahami Hikmah dalam Beragama, Buletin Pesan, 1999: hlm. 4-5).
Dari cuplikan kisah kekalahan di bukit Uhud, mengajak orang-orang berakal mengambil pelajaran berharga, betapa memelihara kedisiplinan dalam mematuhi pemimpin (terlebih perkara besar semisal berperang), merupakan kunci kesuksesan. Seiring dengan itu, sejarah membuktikan kemenangan demi kemenangan berpihak kepada kaum Muslimin. Itulah “hikmah terbesar” yang dapat dipetik bahwa kemenangan dan kemajuan hanya bisa diraih dari sejauhmana mampunya suatu kaum atau masyarakat dalam mengambil hikmah dari sebuah kejadian.
C. Hakikat Peradaban
Di antara hikmah terbesar bagi kaum Muslimin adalah bangkitnya kesadaran akan pentingnya sinergi antara kedisiplinan beragama dengan penerimaan yang terbuka akan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai tanda kemajuan peradaban. Agama tidak dapat dilepaskan dari ilmu pengetahuan dan teknologi, meski terkadang selama ini hubungan keduanya cenderung terasa naif; saling mengkritik dan bahkan saling menghujat.
Kondisi seperti ini bukanlah tanpa alasan, menurut Prof. Dr. Said Agil Al-Munawwar hal ini muncul boleh jadi disebabkan oleh kalangan agamawan sering berpikir implikatif; hanya melihat dampak negatifnya, bahkan banyak kalangan membingkai kritiknya secara politis, atas dasar kemanusiaan dan pemerataan. Sementara kalangan developmantalisme, yakni komunitas pembangun yang cerdas dan giat untuk menyebut mereka yang berpacu dalam ilmu pengetahuan dan teknologi melihat agama sebagai puritanisme yang “melulu” hadir secara utopis, dan karenanya tidak menjawab masalah yang dihadapi umatnya. Mereka memerlukan agama secara upacara stage of life. Bagi manusia Barat, konflik di antara keduanya bersifat struktural, sukar berubah. Meski demikian, masyarakat modern secara rasional tetap memerlukan agama lebih dari sekedar untuk keperluan upacara kelahiran, perkawinan, kematian. (S.A. Al-Munawar, Merindukan Peradaban Itu, Buletin Pesan, 1999: hlm. 7)
Masih menurutnya, paling kurang ada tiga hal bahwa agama dibutuhkan oleh masyarakat di mana pun berada, bahkan di masyarakat atheis sekalipun. Pertama, dilihat dari kepentingan sistem dan struktur kemasyarakatan, pranata agama merupakan sumber nilai dan norma-norma standar yang dapat memberikan keluhuran kerangka motivasi dan etika kerja yang profesional. Kedua, dilihat dari kepentingan individual, agama akan memberikan keseimbangan, dimensi spiritual dan dimensi material. Ketiga, dilihat dari kepentingan manusia, agama menaruh kehormatan tertinggi terhadap kemanusiaan yang pemaknaannya menjadi penting bagi peradaban dan pengamanan hasil-hasil kreatif berupa peradaban baru yang telah dicapai oleh umat manusia. (S.A. Al-Munawar, 1999: hlm. 8).
Dengan uraian tersebut, menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang membuat terhalangnya peradaban, dan peradaban itu sendiri akan menemukan hakikatnya apabila tidak melepaskan agama. Membangun jembatan keselarasan antara agama dan peradaban merupakan keniscayaan yang saling mengikat erat; dengan agama peradaban akan lebih bermartabat, dan dengan peradaban agama akan lebih berwibawa. Dengan demikian, dikatakan masyarakat itu bernilai apabila memenuhi unsur keduanya.
D. Khairu Ummah; Cerminan Masyarakat Bernilai
Terminologi khairu ummah, yakni sebaik-baiknya ummat, sebagaimana termaktub dalam QS. Ali-Imraan/3: 110, mengandung beberapa pengertian, di antaranya:
Pertama, mereka yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menuturkan: “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya, kalian membebaskan orang-orang yang dirantai lehernya, lalu mereka masuk Islam.” Demikian pula dikatakan Ibnu ‘Abbas, Mujaahid, ‘Athiyah al-Aufy, ‘Ikrimah, ‘Atha` dan Rabî’ bin Anas, sebagaimana riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh.
Kedua, mereka yang aqra’ (paling banyak membaca, menghafal, menelaah dan memahami Kitaabullaah), atqaa (paling bertakwa), aamuruhum bil ma’ruuf wa anhaahum ‘anil munkar (memerintahkan kebaikan sesama mereka dan mereka saling mencegah kemungkaran) dan aushiluhum lir rahmi (paling banyak menyambungkan persaudaraan). (HR. Imam Ahmad dari Durrah binti Abi Lahab radhiyallaahu ‘anh).
Ketiga, mereka yang ikut hijrah bersama Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah ke Madinah. (HR. An-Nasa`i dan Al-Hakim dari Samak, dari Sa’id bin Jubair dan Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa).
Dan masih banyak riwayat lainnya, yang menyebutkan pujian Rasulullaah kepada ummat pilihannya sebagai “khairu ummah”. Yang jelas, kata Ibnu Katsir bahwa QS. Ali ‘Imraan/ 3: 110 itu bersifat umum, mencakup ummat seluruh zaman. Namun demikian, sebaik-baiknya generasi adalah generasi di mana Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada di tengah-tengah mereka (shahabat), kemudian generasi yang mengikutinya (taabi’in) dan generasi berikutnya (taabi’ut tâbi’in). (Abul Fida’ bin Katsir, Tafsîr Al-Qur’aanul ‘Azhiim, 1421: 1, hlm. 536)
Semua itu menunjukkan, bahwa menjadi generasi terbaik ummat, tidak hanya bisa dilakukan tiga zaman yang diutamakan tadi (al-quruunus tsalaatsah al-mufadhdhalah), melainkan ummat segala zaman selama mereka memiliki nilai-nilai sebagaimana yang dianut oleh generasi sebelumnya yang shalih.
Berikutnya, layak kita renungkan dialog Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan para shahabatnya mengenai standar keimanan seseorang. Rasulullaah bertanya: “Siapakah orang mukmin yang paling menakjubkan keimanannya?” Para shahabat menjawab: “Malaikat.” Lalu Nabi mengatakan: “Bagaimana mereka tidak beriman, sementara mereka ada di sisi TuhanNya”. Kemudian shahabat menjawab lagi: “Kalau demikian, mungkin kami (para shahabat)”. Lalu Nabi mengatakan: “Bagaimana kalian tidak beriman, sementara aku (Rasulullaah) ada di tengah-tengah kalian”. Kemudian para shahabat balik bertanya: “Kalau demikian, manusia mana yang paling menakjubkan keimanannya?” Nabi menjawab: “Suatu kaum yang datang setelah kalian, di mana mereka mendapatkan shuhuf (lembaran-lembaran Kitaabullaah), lalu mereka beriman kepada isinya”. (Abul Fida’ bin Katsir, Tafsiir Al-Qur’aanul ‘Azhiim, 1421: 1, hlm. 531)
Lebih tegas, As-Syaukani menukil kesimpulan Mujahid, bahwa ummat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam disebut khairu ummah, manakala mereka menunaikan nilai-nilai yang menjadi syarat sebagaimana yang ditunjukkan ayat itu. Tidak ditunaikannya syarat-syarat tersebut, hilang pula predikat khairu ummah-nya. (Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad as-Syaukani, Fathul Qadiir, 1417: 1, hlm. 472)
Maka bisa disimpulkan, baik buruknya suatu ummat, bernilai dan tidaknya sebuah masyarakat sangat tergantung kepada acuan, pegangan, keyakinan, norma, tindakan dan moral mereka sendiri.
E. Transformasi Nilai Islam dalam Pluralitas Masyarakat Modern
Setiap zaman ada peradabannya, setiap peradaban ada model dan cara bagaimana membangun peradaban tersebut. Namun dalam Islam, apa pun model dan caranya tidak dapat melepaskan dari bingkai keterikatannya kepada Dzat pencipta alam. Karena itu, para sejarahwan Muslim tidak akan menilai berbagai peradaban berdasarkan keberhasilan material semata-mata; mereka juga akan mempertimbangkan seberapa jauh peradaban tersebut memenuhi tujuan-tujuan dasar yang diperintahkan oleh Tuhan Dzat pencipta terhadap makhluk-makhlukNya. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepadaKu”. (QS. Ad-Dzariyat/ 51: 59).
Dengan demikian, sebuah peradaban yang mulia (tinggi) adalah peradaban yang melahirkan satu lingkungan yang sehat politik, ekonomi, kebudayaan dan materil sehingga memungkinkan manusia mengarahkan dirinya untuk menyembah Allah semata-mata, mengikuti perintah-perintahnNya, dalam semua aktivitasnya, tanpa adanya rintangan dari institusi-institusi masyarakat. Intitusi-institusi ini tidak dibenarkan menciptakan berbagai pertentangan antara kepercayaan agama dan tingkah laku, atau menghalangi seseorang melupakan kewajibannya terhadap Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak jadi soal bagaimana majunya sebuah peradaban, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, kesusasteraan; seni; tidak jadi soal bagaimana pun indahnya keberhasilan yang dicapai dalam bidang arsitektur, furniture, pakaian dan makanan, tidak jadi soal bagaimana tingginya kemajuan material yang dicapai dalam pandangan sejarahwan Muslim, semua ini masih tetap “terbelakang” dan “menyimpang”, sepanjang masih gagal menciptakan satu lingkungan yang tepat untuk menyembah Allah dan melaksanakan semua perintahNya dalam syari’at. (Akram Diya al-‘Umari, Masyarakat Madinah Pada Masa Rasulullah, IIIT [terj.], 1994: hlm. 8).
Terkait spiritual masyarakat modern, Prof. Komaruddin Hidayat berpendapat: “Proyek modernisme yang menekankan individualitas dan rasionalitas empirisme diakui telah memacu perkembangan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Namun, pada akhirnya, individualitas yang beralih menjadi individualisme ekstrem ini dinilai telah memacu munculnya rasionalitas instrumental, yang cenderung mengabaikan solidaritas kemanusiaan, dan dalam waktu yang sama bersikap destruktif eksploitaif terhadap alam lingkungannya, Salah satu implikasi dari dominasi rasionalitas instrumental dari logika modernisme dalam bidang politik ialah terjadinya kolonisasi Barat atas dunia Timur (termasuk dunia Islam) di abad lalu, sehingga hubungan Barat dan Timur (terutama Islam) senantiasa berada dalam aras konflik yang memang berakar dalam cara pandang yang berbeda terhadap dunia. Islam dilihat oleh Barat sebagai agama yang menawarkan tidak hanya sistem teologi dan filsafat yang berbeda, tetapi juga sebuah sistem sosial yang merupakan konter Barat. Itulah sebabnya masyarakat Barat tidak mudah menerima Islam, padahal pada saat yang sama mereka bisa dengan mudah menerima agama-agama Asia”. (Komarudin Hidayat, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, 1999, hlm. 8-9).
Dr. Akram Diya menegaskan: “Islam membangun masyarakat Madinah atas dasar kasih sayang dan sikap saling tolong menolong, sebagaimana dijelaskan dalam hadits: “Orang-orang beriman antara satu dengan yang lainnya adalah ibaratkan sebatang tubuh; Ketika satu bagian merasa sakit, semua bagian tubuh lainnya merasakan sakit dan panas”. Kasih sayang, perasaan saling mengasihi dan saling berhubungan membentuk dasar-dasar hubungan antara masyarakat Islam, baik mereka itu generasi tua atau generasi muda, golongan kaya atau golongan miskin, penguasa atau rakyat. (Akram Diya al-‘Umari, Masyarakat Madinah Pada Masa Rasulullah, 1994: hlm. 99).
Sebagaimana dinukilkan Dr. Abdul ‘Aziz, menurut Husein Fauzi An-Najjar dalam bukunya Al-Islaam was Siyaasah; Bahtsun Fii Ushuulin Nazhariyah as-Siyaasiyah wan Nizhaamil Hukmi Fil Islaam (1969) yang menuturkan: “Masyarakat Islam terbuka untuk semua, dan kesempatan untuk berkembang dan mencari kehidupan adalah sama bagi semua anggotanya. Tidak ada perbedaan sosial; seorang laki-laki miskin tidak dilarang mengawini perempuan kaya, demikian juga sebaliknya. Seorang laki-laki lemah tidak dilarang menduduki sisi kedudukan yang tertinggi dalam negara atau kedudukan tertinggi dalam kepemimpinan masyarakat. Tidak ada kelompok yang bisa mencegah berbagai anggotanya untuk maju. Jika masyarakat Islam ditakdirkan melanjutkan kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan, memimpin ummat manusia dewasa ini, keuntungan Islam untuk membangun sebuah masyarakat yang kuat, berdasarkan sikap saling mengasihi dan saling membantu, apa yang akan dilihat akan semakin jelas. Jika demikian sikap orang kaya di Masyarakat Madinah, bagaimana pula sikap kaum lemah dan miskin?
Secara ringkas, pembentukan negara di Madinah bermula dari kehadiran Islam dan masyarakat keagamaan Muslim yang tegak berdasarkan persaudaraan (ukhuwwah) dan kesetaraan (sawaasiyyah). Relasi keagamaan ini menghasilkan ikatan rohaniah (ar-ribaath ar-ruuhi) yang menumbuhkan keinginan membangun kehidupan bersama (ar-raghbah fi hayatin musytarakah). Dari sini lalu muncul kebutuhan terhadap kekuasaan (negara) guna mencapai cita-cita umum (al-fikrah al-ammah lis sulthah) untuk memelihara umat Islam dan mengatur kehidupan kaum Muslimin dalam rangka melanggengkan cita-cita tauhid. Menurutnya, pola ini hanya berlangsung pada masa Islam awal, yakni pada era khulafaur rasyidin, dan mengalami perubahan di tangan Bani Umayyah setelah kekuasaan direbut melalui konflik dan pertumpahan darah antar sesama kaum Muslim. Meskipun penguasa Muslim pada kedua periode tersebut menggunakan gelar “khalifah”, keduanya memiliki pola berbeda. Mengutip Haekal, An-Najjar menegaskan bahwa para penguasa pada periode Islam awal menjadi penguasa karena dipilih rakyat dan didasarkan pada sumpah setia (bai’at) mereka secara sukarela. Sementara para penguasa Bani Umayyah dan setelahnya memperoleh kekuasaan mereka melalui paksaan atas rakyat, penaklukan dan pembentukan kerajaan dictatorial (mulkiyyah istibdadiyyah). Melalui pembedaan ini, an-Najjar hendak menegaskan bahwa “negara khilafah” bukanlah sistem kenegaraan yang disyariatkan Islam, melainkan sistem baru yang tidak dikenal sebelumnya. (Abdul Aziz, Chiefdom Madinah Salah Paham Negara Islam, 2011: hlm. 49-50).
Terlepas dari tafsiran makna “khilaafah” dan “negara khilaafah” yang masih dalam perdebatan ijtihaadiyyah, implementasi transformasi nilai-nilai Islam nyata adanya dalam pembabakan sejarah. Adanya “Piagam Madinah”, menjadi bukti konkret bahwa ajaran Islam sangat adil dan beradab dalam memetakan pluralitas masyarakat berkemajuan di zamannya.
F. Membangun Teologi Kerukunan
Sebagai bukti bahwa Islam sangat bijak dalam memetakan pluralitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka ajaran Kitab suci, yang menyebutkan bahwa “manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai” seperti tercermin dalam QS. 49: 13, maka pluralitasi itu telah terjadi dengan sendirinya. Dengan memandang positif-optimis terhadap kemajemukan, maka secara sosiologis, akan selalu memerlukan adanya “titik temu” dalam nilai kesamaan dari semua kelompok yang ada, Dari sudut Islam mencari dan menemukan titik kesamaan itu adalah bagian dari ajarannya yang sangat penting. Adanya perintah kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajak kaum ahli kitab bersatu dalam pandangan yang sama (kalimatun sawaa), yaitu paham Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk menggambarkan bagaimana harmoni itu pernah terjadi, M. Deden Ridwan (menukil pandangan Prof. Nurcholis) menuturkan bahwa kedatangan Islam ke Spanyol telah mengakhiri kristenisasi “paksa” oleh penguasa sebelumnya. Hidup rukunnya agama-agama yang ada dapat menikmati bersama peradaban yang gemilang. Itulah sebabnya para khalifah Umawi di Andalusia dalam “politik agama dan dunia” dipuji oleh Ibnu Taimiyyah sebagai penganut madzhab ahlul Madinah, yaitu suatu madzhab yang memang paling “absah” dalam sejarah. (M.Deden Ridwan, Membangun Teologi Kerukunan, 1999, hlm. 7-9).
Sebenarnya, untuk memotret kerukunan dan pentingnya titik temu kesamaan, pernah ditunjukkan langsung bagaimana Muhammad belia (sebelum menjadi Nabi dan Rasul) mendapatkan kepercayaan suku-suku bangsa Arab untuk meletakkan kembali “hajar aswad” yang terlepas dari terjangan banjir. Dengan penuh hikmah, Muhammad “Al-Amiin” mengetuk relung hati setiap kepala suku untuk menanggalkan egonya demi kepentingan “Ka’bah” yang menjadi kebanggaan kolektif seluruh penduduk jazirah. Dengan kepiawaian (karena keteladanannya yang prima), batu hitam itu kembali menempel pada tempatnya dengan cara digotong ramai-ramai di atas sorbannya yang setiap kepala suku turut ambil bagian dengan memegang setiap ujung sorbannya. Kekisruhan dan petaka pertumpahan darah pun tidak terjadi, karena wujudnya “keteladanan” seorang sosok yang kehadirannya tepat pada waktunya. Itulah percikan kisah yang pernah Allaahu yarhamh Tuan Ahmad Hassan sampaikan kepada muridnya Allaahu yarhamh Dr. Mohammad Natsir jelang memutuskan pentingnya “mosi integral” di tengah-tengah carut marut bangsa yang berpecah belah. (Kisah ini diceritakan kembali oleh K.H. Amin Djamaluddin, salah satu staf ahli Dr. Mohammad Natsir)
G. Masyarakat Madani; Fakta atau Utopia?
Dari berbagai literatur sejarah, keberadaan masyarakat madani adalah fakta bukanlah utopia. Namun dalam implementasi kebangsaan kita, merupakan harapan dan cita-cita yang masih terus wajib diikhtiarkan tanpa harus terikat dengan perkara jenis yang tidak substansial; Untuk menyebut suatu negara misalnya, tidaklah wajib memakai istilah daulah, namun yang jauh lebih penting adalah nilai-nilai hukum bisa ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya, kedaulatan tertinggi yang mampu melaksanakan hukum disebut hukuumah. Demikian pula dengan masyarakat berkeadilan dan berkeadaban, istilahnya tidak mesti menggunakan madani atau hadhari. Selain istilah Islaami jauh lebih tepat, juga lebih substansial dalam penggunaan hakikat identitasnya.
Sebagai contoh, dalam kontribusi ketatanegaraan di Indonesia; dilihat dari nilai-nilainya, ternyata kandungan “Piagam Madinah” amat signifikan. Hal ini terbukti dengan substansi Piagam Madinah dengan “Piagam Jakarta”, bahkan UUD 45 sekalipun. Menarik untuk dicermati, apa yang dituturkan Prof. Dr. Maman Abdurrahman: “Alangkah baiknya jika ayat Al-Qur’an dan sabda Nabi berikut ini dikemukakan: “Apakah hukum jahiliyyah yang mereka cari. Siapa yang paling baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin?” (QS. Al-Maidah/ 5: 51). “Sungguh akan lepas sistem Islam itu sedikit demi sedikit (dari kaum Muslimin). Setiap lepas satu sub sistem, maka akan merembet pada sub sistem berikutnya. Maka sub sistem Islam yang pertama kali lepas adalah subsistem hukum, dan yang terakhir adalah salat.” (HR. Ibnu Hibban dalam petikan M. Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam dalam Wawasan Fiqih, 2006: hlm. 81).
Untuk lebih meyakinkan, bahwa hakikat segala sesuatu bukanlah tertumpu kepada nama barangnya, melainkan substansi dari barang itu sendiri. Al-hukmu ‘alal musamma laa ‘alal ismi; “Menetapnya suatu hukum bukan pada jenis namanya, melainkan pada hakikat barang itu”. Wallaahu yahdiinaa ilaa sabiilir rasyaad.
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Ketua Komisi ‘Aqidah), Anggota Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan (KP3) & Lembaga Dakwah Khusus (LDK) MUI Pusat, Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Alumni Daurah Shaifiyyah Universitas Ummul Qura Mekkah KSA, Ketua Prodi KPI STAIPI Jakarta, Ketua Bidang Pengkajian & Ghazwul Fikri Dewan Dakwah, dan Ketua Pembina LPPI Jakarta.