Oleh : Teten Romly Qomaruddien
Tidak ada yang menyangsikan, negeri Syam adalah negeri keberkahan yang ada di muka bumi. Kebaikan negeri ini menjadi simbol kebaikan penduduk bumi, demikian pun keburukan negeri ini menjadi simbol keburukan penduduk bumi pula. Namun yang kita saksikan hari ini, perampasan hak asasi dan kejahatan kemanusiaan selalu menghiasi ruang-ruang pemberitaan internasional yang mendapatkan pembenaran negara-negara haus kuasa.
Negeri yang meliputi Palestina, Syria, Libanon dan Yordania ini dikenal sebagai bumi para nabi [diyaarun nabiyyiin], tempat berkumpulnya orang-orang mulia dan ahli ilmu [markazul fudhalaa was shaalihiin], tempat berkumpulnya manusia di bumi [maudhi’ul hasyr], negeri pertahanan [bilaadur ribaath] dan qiblat pertama kaum Muslimin [maudhi’ul qiblat]. Demikian Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid memaparkan dalam kutaibatnya Thuubaa Lis Syaam (Riyadh: Maktabah al-‘Ubaiykan, 2013).
Menurut para ahli Tafsir, inilah makna Alladzii baaraknaa haulahu; “Negeri-negeri seputar Baitul Maqdis yang diberkati” [QS. Al-Isra’/ 17: 1]. Di dalamnya terdapat Al-Aqshaa yang merupakan tempat batas israa’ dan titik tolaknya mi’raaj Nabi akhir zaman ke Sidratul Muntahaa di langit dunia, baik secara ruuhy dan badany dengan berkendaraan Buraq. Beberapa riwayat tentang hal ini bisa dilihat dalam kitab Al-Israa’ wal Mi’raaj karya Imam As-Suyuthy dan Ibnu Rajab al-Hanbaly.
Thuubaa lis syaam, “Berbahagialah negeri Syam!!!” … Itulah ungkapan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para shahabatnya. Ketika ditanyakan mengapa demikian? Rasul pun menjawab: Al malaaikatu baasithuu ajnihatahaa ‘alas syaam; “Para malaikat senantiasa membentangkan sayapnya di atas negeri Syam.” (HR. Ahmad, Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Hibban dari shahabat Zaid bin Tsabit radhiyallaahu ‘anh).
Sejarah membuktikan, Baitul Maqdis sebagai kota yang diberkati; melalui Khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anh dengan panglimanya Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallaahu ‘anh negeri berhasil dibebaskan dari cengkeraman Romawi, zaman Sulthan ‘Imaduddin Zanki dan puteranya Sulthan Nuruddin Mahmud Zanki berhasil lepas dari penjajahan Eropa, dan puncaknya pada masa Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mengalahkan pasukan Salib setelah rancangan setengah abad lamanya semenjak zaman Abu Hamid al-Ghazali menuliskan kitab Ihyaa ‘Uluumiddin.
Ketika Zionis Israel dengan tokohnya Theodore Herzel [1897] menyelenggarakan Kongres Zionis Internasional Pertama dan mengajukan keinginannya kepada Sulthan Abdul Hamid II [Khilafah Turki Utsmani] untuk “membeli” tanah Palestina, namun ditolaknya. Dengan dukungan negara Eropa dan seluruh Yahudi dunia mereka pun mulai menancapkan kuku kotornya di bumi suci Palestina, maka “diaspora” bangsa Yahudi pun berbondong-bondong masuk Palestina.
Gerakan perlawanan pun nampak menggeliat; mulai dari Intifaadhah, Hamas, serta gerakan perlawanan lainnya. Tampillah putra-putri terbaik bangsa ini, mulai dari perlawanan ‘Izzuddin al-Qassam, Syaikh Ahmad Yasin, Yahya Ayyasy, Khalid Misy’al, Abdul ‘Aziez ar-Rantisi, Ismail Haniye, Razan an-Nazzar dan tokoh-tokoh baru lainnya. Semua itu menunjukkan bukti kecintaan kaum Muslimin sebagai ikhtiar perjuangannya guna mempertahankan pusaka dan wakaf umat yang wajib dijaga, yakni bumi Palestina yang di dalamnya terdapat Baitul Maqdis sebagai jantungnya negeri Syam yang diklaim secara ideologis oleh Yahudi sebagai “Tanah Kan’an yang dijanjikan Tuhan” atau demi mengambil haknya atas kepemilikan Solomon Temple; “Kuil Sulaiman”. Seolah tidak mau ketinggalan, kaum Liberal, Sekular dan Pluralis hari ini menjajakannya dengan jargon “Satu Kota Suci Tiga Agama” atas nama kerukunan agama dan perdamaian dunia.
Ma’rakah Falasthiin, kini telah mengukir sejarah dengan tinta emas para tokoh dan ulamanya, kucuran darah syuhada-nya dengan air mata dan do’a penduduknya. Semuanya menunjukkan betapa negeri Syam benar-benar menjadi pertaruhan negeri akhir zaman di mana Dzat yang Maha gagah dan perkasa akan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya setelah mengujinya dengan bentangan perjalanan sejarah dengan waktu yang sangat panjang. Kalaulah kita tidak mampu berjuang di medan laga, rasa simpatik dan dukungan terhadap segala usaha perjuangan pembebasannya yang diiringi untaian do’a-do’a terbaik, sudah tentu bisa menjadi amunisi yang tidak kecil nilainya.
Benar, apa yang dituturkan Allaahu yarhamh Dr. Mohammad Natsir dalam buku Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan antar Generasi [1988], yang mengisahkan bahwa Raabithah al-‘Aalam al-Islamy telah berkali-kali mencoba mendamaikan negara Arab. Akan tetapi masing-masing negara Arab merasa lebih puas untuk “berjuang” sendiri-sendiri melawan ‘‘Israel’’ sementara ‘‘Israel’’ dan negara-negara Barat pendukungnya terus berusaha memecah-belah dan mengadu domba mereka. Dalam buku itu Natsir mengatakan, jika ‘‘Israel’’ membongkar Masjidil Aqsha dan menggantinya dengan Kuil Yahudi, negara-negara Arab akan menghadapi dua pilihan terakhir, yaitu hancur sama sekali atau berjihad habis-habisan.
Natsir berpandangan, menghadapi ‘‘Israel’’ bukan soal sepotong tanah bernama Palestina. Tetapi soal kita menghadapi suatu gerakan aqidah, gerakan kepercayaan yang beraksi dengan teratur dan tertib. Artinya kita berhadapan dengan satu gerakan agama yang beraksi politik internasional, sebuah gerakan yang saling bekerjasama antara Zionisme, Kristen dan Komunisme. Dalam hal ini, Natsir menegaskan bahwa kita akan mampu menghadapi ‘‘Israel’’ dan sekutunya hanya dengan aqidah Islamiyah. Tetapi menurutnya, bukan aqidah Islamiyah yang di bawah bibir belaka, yang kosong daripada amal. Aqidah Islamiyah yang dimaksud adalah aqidah yang beramal, yang inter-Islamic sekurang-kurangnya, kalau tidak internasional. Karena itu, kata Natsir, “kita harus melihat bahwa masalah Palestina bukanlah masalah lokal, bukanlah masalah orang Arab, bukanlah semata-mata masalah teritorial, tapi adalah masalah Islam dan umat Islam seluruhnya.”
Wahai Al-Aqsha, engkau adalah kita … Wahai Palestina, do’a-do’a kami senantiasa menyertaimu ..Allaahumma a’izzal Islaama wal muslimiin fie falasthiina wa bilaadis syaam wa fie buldaanil Muslimiina… Allaahumma anjil mustadh’afiina minal Mu’miniina fie Falasthiina wa fie kulli makaanin … Wasydud wath’ataka ‘alal qauwmiz zhaalimiin … Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin.
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Ketua Komisi ‘Aqidah), Anggota Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan [KP3] MUI Pusat & Wakil Ketua Lembaga Dakwah Khusus [LDK] MUI Pusat, Anggota Fatwa MIUMI Pusat [Perwakilan Jawa Barat], Mudier ‘Aam PPI 81 Cibatu-Garut, Alumni Daurah Shaifiyyah Universitas Ummul Qura Mekkah KSA, Ketua Prodi KPI STAIPI Jakarta, Ketua Bidang Kajian & Ghazwul Fikri Dewan Dakwah, dan Ketua Pembina LPPI Jakarta).