Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Tanpa terasa bulan Dzulhijjah semakin mendekat; Bagi yang akan menunaikan ibadah haji ke Baitullaah, mereka telah bersiap diri minimalnya sejak bulan Syawwal dan Dzulqa’dah. Bagi mereka yang akan menunaikan ibadah kurban [udhhiyyah], mereka pun telah berikhtiar mencari dan memilih hewan kurban yang akan disembelihnya dengan penuh kesiapan dan pemeliharaan.
Perhatian para ulama pun sangat antusias dalam membedah beragam kemulian dan keutamaan di bulan Dzulhijjah ini, di antaranya Imam Ibnu Rajab al-Hanbali yang menguraikan bahasannya pada kitab Bayaanul Mahajjah Fii Wazhaaif Syahri Dzilhijjah. Disinggung di dalamnya beragam keutamaan, tidak terkecuali wuquf bagi yang menunaikan haji dan shaum ‘arafah bagi yang tidak menunaikan haji.
Selain banyak keutamaan dari beragam amalan ibadah [terutama manasik haji dan kurban], juga terkandung banyak hikmah yang bisa dipetik dan pelajaran yang dapat diambil sebagai mutiara terpendam yang menakjubkan. Minimalnya ada tujuh mutiara yang patut direnungkan.
1. Agungnya syi’ar Allah ‘azza wa jalla di muka bumi
Tidak ada keagungan dari peradaban di muka bumi sebagai tanda kebesaran Allah [sya’aairillaah], melebihi agungnya Baitullaah. Peradaban Rabbani yang telah ada jauh sebelum Allah ‘azza wa jalla menurunkan Nabiyullaah Adam ‘alaihis salaam ke muka bumi sebagai manusia pertama, Adam pun bertempat tinggal dan beribadah sekaligus di dalam rumah tersebut.
Imam Al-Qurthubi dalam Al-Jaami’ Li-Ahkaamil Quraan, menukilkan Imam Mujahid yang menyebutkan bahwa penciptaan untuk tempat Ka’bah ini 2000 tahun sebelum menciptakan segala sesuatu di bumi. Demikian pula Imam Qatadah sebagaimana dipetik At-Thabari dalam Jaami’ul Bayaan ‘an Ta’wiilil Qur’aan, mengatakan bahwa Ka’bah adalah rumah pertama yang didirikan Allah [melalui permohonan kepada malaikatNya], kemudian Nabi Adam ‘alaihis salaam berthawaf di sekelilingnya hingga seluruh manusia berikutnya melakukan thawaf seperti Adam. (Lihat: Al-Qurthubi, 3/ 58 dan At-Thabari, 6/ 21).
Selain berdirinya rumah Allah yang bertalian erat dengan ibadah haji, juga pelaksanaan ibadah kurban yang dinyatakan secara jelas sebagai sya’aarillaah seperti ditunjukkan dalam firmanNya: “Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri [dan telah terikat]. Kemudian apabila telah roboh [mati], maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya [yang tidak meminta-minta] dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.” (QS. Al-Hajj/ 22: 36)
2. Terwujudnya cinta Allah ‘azza wa jalla di atas segala cinta
Buah cinta yang paling diidam-idamkan dalam pasangan bahtera keluarga, adalah lahirnya anak keturunan. Lalu apa jadinya apabila anak yang disayangi harus menjadi jaminan pembuktian keimanan kepada Dzat pencipta dengan cara disembelih? Perang batin seperti inilah yang dialami Nabiyullaah Ibrahim ‘alaihis salaam dan istri tercintanya Hajar, ketika Ismail anak remajanya harus memenuhi titah perintahNya.
Kalimat Yaa bunayya innii araa fil manaami annii adzbahuka fanzhur maadzaa taraa; “Wahai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu?” (QS. As-Shaffaat/ 37: 102). Ayat tersebut menjadi gambaran bahwa Ibrahim benar-benar seorang ayah yang sangat bijak yang mampu menyelaraskan perasaan; di satu sisi Ibrahim wajib mematuhi Rabb-nya, di sisi yang lain Ibrahim harus meyakinkan kata hati putranya. Kalaulah bukan keajaiban cinta di atas segala cinta, hal ini tidak mungkin terjadi.
3. Runtuhnya logika manusia di bawah kokohnya ketaatan kepada Dzat Pencipta
Tegarnya seorang ayah, dikuatkan kelembutan hati anaknya. Setelah mendapatkan pertanyaan “di luar nalar” sang ayah untuk menyembelih dirinya, kembali keajaiban terlontar dari lisan manis sang anak: Yaa abati if’al maa tu’maru satajidunii in syaa Allaahu minas shaabiriin: “Wahai bapakku, laksanakan apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffaat/ 37: 102). Sungguh, jawaban ini bukanlah perkataan basa-basi asal bunyi; Melainkan jawaban ketulusan yang meruntuhkan logika manusia dari seorang remaja yang menyandang panggilan ghulaamin haliim, yakni remaja yang berkepribadian teramat sabar.
4. Didapatkannya hakikat takwa sebagai wasilah utama
Sekalipun secara fisik material [hissiyyah], terdapat kriteria syar’i tentang hewan yang akan dikurbankan; Namun secara substantial [ma’nawiyyah], ada yang jauh lebih penting dari segalanya, yakni hakikat ketakwaan personal orang yang akan melaksanakan kurbannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai [keridhaan] Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayahNya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj/ 22: 37).
5. Ditemukannya cerminan keluarga dakwah sejati
Dengan merenungkan kembali gugusan ayat-ayat yang bertebaran dalam QS. Al-Baqarah 124-134, maka akan ditemukan bahwa cerminan keluarga dakwah sejati terekam dengan jelas; Korelasi yang dimulai sejak pembangunan rumah Allah sebagai tempat berkumpul dan tempat kembali anak cucu Adam [matsaabatan], kesinambungan garis turunan dari zaman Nabiyullaah Adam [terselang zaman banjir masa Nabiyullaah Nuh] hingga dibangunnya kembali pondasi Baitullaah oleh keluarga Nabiyullaah Ibrahim. Berikutnya, mulai dari harapan keluarga Ibrahim untuk dzurriyyah-nya [baik jalur Nabiyullaah Ishaq hingga wasiat Nabiyullaah Ya’qub atau jalur Nabiyullaah Ismail hingga terkabulnya do’a dengan datangnya Nabiyullaah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai pengakhir para Nabi].
Dengan kalimat Yaa baniyya innallaaha ishthafaa lakumud diina falaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun; “Wahai anakku sesungguhnya Allah telah memilihkan untuk kamu agama ini, maka janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Muslim.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 132). Semuanya itu mengisyaratkan bahwa mereka merupakan cerminan keluarga Tauhid yang tidak terputus satu sama lain.
6. Tersingkapnya mata rantai sanad perjuangan dakwah
Selain bersambung sanad biologis, bersambung pula sanad perjuangan mereka. Antara Nabi yang satu dengan lainnya berjalin berkelindan membentuk sinergi teologis yang saling mengikat erat. Tuturan narasi dalam sabda Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, membenarkan hal ini. “Para Nabi itu saudara sebapak; agama mereka satu [Islam], ibu mereka berbeda-beda. Dan aku adalah orang yang paling dekat hubungannya kepada ‘Isa bin Maryam.” (HR. Al-Bukhari no. 3443 dan Abu Dawud no. 4324 dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh).
7. Kuatnya Sinergi antara Perjuangan dan Pengorbanan
Tidak ada keberhasilan tanpa adanya perjuangan dan tidak ada perjuangan tanpa adanya pengorbanan; Jangan berhenti untuk optimis, karena hidup terus mengalir dan kehidupan terus berjalan. Kalaulah bukan karena kesungguhan, maka dakwah pun akan padam sejak awal. Kalaulah bukan karena pengorbanan, maka cahaya Islam tidak akan pernah bersinar hingga akhir zaman. Bentangan panjang perjuangan para Nabi dan Rasul menunjukkan jawaban, bahwa selain takdir yang dirahasiakan Dzat Penguasa alam, keberhasilan pun sangat ditentukan oleh seberapa besar ikhtiar dan proses pengabdian seorang hamba terhadap Dzat Penciptanya.
*) Tulisan ini digoreskan sebagai materi Kajian Zhuhur yang disampaikan di Masjid Al-Furqon Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Jl. Kramat Raya 45 Jakarta Pusat.
Syukron jaziilan ya doktur ..idzin untuk d teruskan Kpd kajian para akhwat ibu ibu semansanjung jakarta…
Alhamdulillâh sae Tadz. Jazâkumullâhu khair. Mohon izin share.