Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Hari-hari dalam bulan Hijriyyah, memiliki keistimewaan tersendiri [afdhaliyah, mumayyizah]; Selain ada shaum Senin-Kamis di setiap pekannya, tiga hari yang rembulan malam-nya bersinar putih [ayyaamul baidh tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulannya], juga keutaman-keutamaan lain yang secara khusus menghiasi bulan-bulan mulia tertentu. Ramadhan dengan sepuluh hari akhirnya [‘asyrul awaakhir], Syawwal dengan shaum enam hari di bulan syawwal-nya, Dzulqa’dah dengan hari persiapan haji-nya, Muharram dengan hari kesembilan dan kesepuluhnya [tasu’a, ‘asyuraa], Sya’ban dengan beragam amal shalihnya.
Tidak terkecuali keutamaan sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah, terutama hari kesembilan dan kesepuluhnya [tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah] yang di dalamnya ada wuquf bagi yang berhaji dan shaum ‘Arafah bagi yang tidak berhaji, serta shalat ‘iedul adhha dan ibadah qurban hingga hari-hari tasyriiq [11, 12, 13 Dzulhijjah]. Semua itu menunjukkan betapa Allah ‘azza wa jalla menjadikannya sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya [sya’aairillaah] yang penuh makna.
Tanda kebesaran yang disebut di akhir yakni ‘Arafah, kini menjadi buah bibir perbincangan banyak kalangan; Mulai dari sisi peristiwanya yang sangat menakjubkan karena berkumpulnya jamaah haji pada satu titik kumpul dalam keadaan munaajat kepada Rabbul ‘Aalamiin dengan penuh khusyu’ dan merendahkan diri, juga shaumnya ummat Nabi akhir zaman yang tidak menunaikan haji dengan ibadah shaum satu hari pada hari tersebut yang ketepatan waktunya bagi kaum Muslimin di luar Saudi Arabia tidak sepi dari perbedaan pendapat [baik yang berpegang pada penanggalan ahlu Makkah KSA, atau penanggalan ahlul balad di negerinya masing-masing].
Adapun pahala yang dijanjikan dari keduanya [wuquf dan shaum], selain berdo’a di saat wuquf merupakan waktu dan tempat mustajab-nya seseorang, juga dihapuskannya kesalahan dan dosa seseorang bagi yang menunaikan shaum ‘Arafah. Hal ini ditegaskan dalam hadits Nabi berikut ini:
صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده
“Shaum hari ‘Arafah aku berharap kepada Allah bisa menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.” (HR. Muslim no 1162 dari shahabat Abu Qatadah radhiyallaahu ‘anh)
Sebagaimana diketahui, setelah para jamaah haji melakukan tarwiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah di Mina, maka tanggal 9 Dzulhijjah-nya mereka bergerak menuju bukit ‘Arafah untuk melaksanakan wuquf. Dilihat dari sisi teritorial, ‘Arafah merupakan hamparan padang datar yang memiliki luas sekitar 2 Mil dengan area wuquf seluas 10,4 Km. Posisinya berada di sebelah tenggara Masjidil haram dengan jarak sekitar 21 Km dari kota Mekah.
Melakukan wuquf di ‘Arafah merupakan rukun haji yang tidak boleh dilewatkan, karena ia menjadi inti ibadah haji sebagaimana ditegaskan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa “Haji itu adalah ‘Arafah” (HR. At-Tirmidzi no. 889, An-Nasa’i no. 3016 dan Ibnu Maajah no. 3015. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani, hadits ini derajatnya shahih).
Ada banyak makna terkait tempat yang mulia ini, sebahagian menyandarkannya pada peristiwa wuquf di bukit ini, dan ada pula yang menggali kedalaman maknanya dari sisi kebahasaan. Imam Fakhruddin ar-Razi mengutip beberapa pendapat, di antaranya bahwa ‘Arafah diambil dari kata i’tiraaf, yang artinya “pengetahuan”, karena pada hari tersebut ummat Islam mengetahui dan membenarkan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang wajib disembah. (Lihat: Mafaatihul Ghaib 5/ 325).
Selain itu, i’tiraaf pun dimaknai sebagai bentuk pengakuan atas kesalahan yang diperbuat. Pengakuan dan penyesalan Nabiyullaah Adam ‘alaihis salaam dengan do’a pertaubatan atas kezhaliman yang diperbuat menjadi sikap nyata dalam makna ini. Al-Qur’an surat Al-A’raaf [7] ayat 23 mengisahkan akan hal ini dengan sangat jelas, demikian pula pengakuan kesalahan Nabi Yunus dan Nabi Musa ‘alaihimas salaam.
Ada pula yang menyebutkan bahwa ‘Arafah pada ayat yang menyebut kata tersebut merujuk pada nama sebuah tempat. Imam At-Thabari menyebutkan riwayat dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anh bahwa Allah memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam berhaji, ketika tiba di ‘Arafat Malaikat Jibril menjelaskan manasik haji, namun kemudian Nabi Ibrahim berkata, “Aku sudah tahu”. Oleh sebab itulah diberi nama ‘Arafat. Sementara riwayat shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anh menuturkan bahwa ‘Arafat adalah tempat wuquf yang terletak di balik bukit ‘Uranah. (Lihat: Jaami’ul Bayaan 3/ 429 dan Tafsir Ibnu Abi Haatim 1/ 353).
Makna lainnya adalah At-ta’aaruf, yakni ‘Arafah sebagai zona yang dapat dijadikan momentum untuk saling mengenal di antara ummat manusia. Al-Qur’an surat Al-Hujurat [49] ayat 13 menegaskan: “Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”. Dengan makna ini, jamaah haji benar-benar memanfaatkan wasilah ini untuk bisa lebih mengenal saudaranya seiman dan se-Islam; baik perkenalan secara fisik, perkenalan secara tindak tutur dan tindak pikir, juga perkenalan dari hati ke hati yang semakin menumbuhkan alam rasa.
Ada pula yang memberikan penafsiran, bahwa makna lain dari ‘Arafah adalah ma’rifatul Islaam, yakni proses mengenal Islam sebagai agama Allah yang paling prima dan sempurna. Karena itulah, khutbah wada’ ketika Nabi shallallaahu ‘slaihi wa sallam di ‘Arafah, Sang Panutan membacakan Al-Qur’an surat Al-Maidah [5] ayat 3 berikut ini: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu”.
Tentu saja masih banyak makna lainnya yang menjelaskan kata ‘Arafah sebagai makna definitif yang sangat mengandung ragam pendekatan dan penafsiran. Terlepas dari makna yang berbeda-beda, ditambah pula dengan perbedaan penetapan taqwiim hari ‘Arafah, semua itu tidak menjadikan semangat kita surut dan patah arang. Jalan masih panjang untuk terus berikhtiar mencari “titik temu” dengan segala argumentasi yang dibangun; baik secara disiplin ilmu agama [hujjah syar’iyyah] atau pun secara disiplin ilmu pengetahuan dunia [hujjah ‘ilmiyyah].
Akhirnya, kita berlindung kepada Rabbul ‘Aalamin atas segala khilaf dan segala bentuk yang bisa melalaikan, serta menggores keikhlasan kita semua. Semoga amal ibadah kita diterima dan pahala ‘Arafah sebagai primadona bulan Dzulhijjah tidak lari meninggalkan kita. Inna shalaatii wa nusukii ma mahyaaya wa mamaatii lillaahi Rabbil ‘Aalamiin.
Alhamdulillâh sae Tadz.
Jazâkumullâhu khair.
Mohon izin share.