Oleh: Teten Romly Qomaruddien
A. Pengantar
Tidak ada yang meragukan dari pengikut Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, selain mereka orang-orang yang terpapar syubhat, mereka menilai Rasulullaah memiliki cacat. Sungguh Nabi akhir zaman ini memiliki keutamaan dari sisi nasab, demikian pula dengan anak dan cucunya yang mulia merupakan dzurriyyah yang sangat terpelihara keunggulannya. Namun demikian, apa jadinya apabila di kemudian hari “anugerah keutamaan” itu berubah menjadi “klaim kesucian” yang liar dan membabi buta sehingga terlepas dari yang semestinya.
Selain Al-Qur’an, keutamaan dan kemuliaan Ahlul Bait Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ditegaskan berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang shahih. Bahkan seorang penuntut ilmu wanita bernama Ummu Syu’aib al-Wadi’iyyah menulis kitab yang sangat menarik dengan judul As-Shahiihul Musnad Min Fadhaail Ahli Baitin Nubuwwah; “Keutamaan Ahlul Bait Rasulullah dari Riwayat-riwayat yang Shahih” [Daarul Atsar, 1423 H.-Pustaka Ar-Rayyan, 2015].
Dalam kitab tersebut dijelaskan; Mulai dari keutamaan nenek moyang Nabi akhir zaman, hingga bersambung dengan Nabiyullah Ismail bin Ibrahim ‘alaihimas salaam. Dari kemuliaan Ibunda kaum beriman [Ummul Mu’miniin] Khadijah binti Khuwailid radhiyallaahu ‘anhaa, hingga puteri dan menantu Rasulullaah sampai anak dan cucu mereka. Demikian pula istri-istri Rasulullaah yang lain, serta anak-anak paman Rasulullaah yang tidak bisa ditinggalkan dari mereka terkait keutamaannya. Selain itu, satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa kemuliaan pun bukan terjadi bagi mereka semata, melainkan terjadi pula pada manusia secara umum selama mereka ada dalam ketakwaan.
B. Dalil Al-Quran
Petunjuk Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa kemuliaan seseorang, terletak pada ketakwaannya dapat diperhatikan dalam ayat berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat/ 49: 13)
Ada pula ayat yang melarang sikap berlebihan [ghuluw] sebagaimana pernah ditujukan kepada Ahlul Kitaab:
يا أهل الكتاب لاتغلوا في دينكم …
“Wahai Ahlul Kitab, janganlah kamu melampau batas dalam agamamu …” (QS. An-Nisaa’/ 4: 171)
Disebutkan pula bahwa nasab tidak terkait langsung dengan amal shalih seseorang, dan di hari kiamat setiap orang mempertanggung jawabkan sesuai dengan amalan masing-masing [bukan karena kemuliaan nasab]:
قَالَ يَٰنُوحُ إِنَّهُۥ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَۖ إِنَّهُۥ عَمَلٌ غَيْرُ صَٰلِحٍۖ فَلَا تَسْئَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌۖ إِنِّىٓ أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ ٱلْجَٰهِلِينَ
“Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepadaKu sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.” (QS. Huud/ 11 : 46)
فَإِذَا نُفِخَ فِي ٱلصُّورِ فَلَآ أَنسَابَ بَيۡنَهُمۡ يَوۡمَئِذٖ وَلَا يَتَسَآءَلُونَ
“Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian nasab [keturunan] di antara mereka pada hari itu, dan tidak pula mereka saling bertanya.” (QS. Al-Mukminun/ 23 : 101)
Sedangkan ayat terkait kesucian ahlul bait, ada pada Kalam Allah berikut:
… إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ ليذهب عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzaab/ 33: 33)
C. Dalil As-Sunnah
Beberapa petunjuk As-Sunnah yang layak untuk diperhatikan adalah sebagai berikut:
إن الله اصطفى كنانة من ولد إسماعيل واصطفى قريشا من كنانة واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم
“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinaanah dari keturunan Isma’il, memilih Quraisy dari Kinaanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan memilih aku dari Bani Hasyim.” (HR. Muslim dari shahabat Watsilah bin al-Asqa’ radhiyallaahu ‘anh).
قَامَ رَسُوْلُ اللهِ يَوْمًا فِيْنَا خَطِيْبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمَّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِيْنَةَ فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوْشِكُ أَنْ يَأْتيِ رَسُوْلُ رَبِّي فَأُجِيْبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيْكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلَهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيْهِ الْهُدَى وَالنُّوْرُ، فَخُذُوا بِكِتَابِ اللهِ وَاسْتَمْسِكُوْا بِهِ. فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيْهِ ثُمَّ قَالَ: وَ أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي. فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ: وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ؟ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ؟ قَالَ: نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِّمَ الصَّدَقَةُ بَعْدَهُ. قَالَ وَمَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ آلُ عَلِيٍّ وَآلُ عَقِيْلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ. قَالَ: كُلُّ هَؤُلاَءِ حُرِّمَ الصَّدَقَةُ؟ قَالَ: نَعَمْ
Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di depan kami pada suatu hari sebagai khatib di daerah mata air yang bernama Khum, daerah antara Makkah dan Madinah. Beliau memuji Allah ‘azza wa jalla dan menyanjung-Nya. Beliau memberi nasihat dan memberi peringatan, kemudian berkata, ‘Ammaa ba’du; “Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa yang sebentar lagi akan datang utusan Rabbku (Malaikat maut), dan aku akan menyambutnya. Aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang berat. Pertama, kitab Allah, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya. Ambillah kitab Allah ini dan berpeganglah dengannya”. Zaid berkata, bahwa Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan memberi semangat untuk berpegang dengan kitab Allah. Kemudian beliau berkata lagi: Yang kedua, Ahlul Baitku. “Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku, Aku peringatkan kalian tentang Ahlul Baitku.” Hushain bertanya kepada Zaid, “Siapakah Ahlul Baitnya wahai Zaid? Bukankah istri-istrinya termasuk Ahlul Bait?” Zaid radhiyallaahu ‘anhu menjawab; “Istri-istri beliau termasuk Ahlul Baitnya. Ahlul Bait adalah orang yang diharamkan menerima shadaqah setelah beliau”. Hushain berkata, “Siapakah [lagi] mereka?” Zaid menjawab, “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas”. Hushain bertanya lagi, “Apakah mereka semua diharamkan menerima shadaqah?” Zaid menjawab, ”Ya.” (HR. Muslim, no. 6175 dari shahabat Zaid bin Arqam radhiyallaahu ‘anh dengan Syarah an-Nawawi, XV: 174-175).
Ketika turun ayat QS. As-Syu’ara/ 26: 214 Wa andzir ‘asyiiratakal aqrabiin; “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا
“Wahai orang-orang Quraisy, -atau ucapan yang serupa dengannya- belilah diri kalian dari Allah, aku tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah, wahai Bani ‘Abdu Manaf, aku tidak mampu menolong kalian sedikit pun dari Allah, wahai ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, aku tidak mampu menolong engkau sedikit pun dari Allah, wahai Shafiyyah bibi Rasulullaah, aku tidak mampu menolong engkau sedikit pun dari Allah, wahai Fathimah binti Muhammad mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan dari hartaku, aku tidak mampu menolong engkau sedikit pun dari Allah.” (HR. Al-Bukhari, no. 2753 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh)
إن الله لاينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن الله ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, 4/ 1987)
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian sesama kalian haram.” (HR. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, 1/ 24)
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Siapa saja yang ketinggalan amalnya, maka nasabnya tidak juga meninggikannya.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, 4/ 2074)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ أَخَذْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَعِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian sesuatu yang jika kalian berpegang kepadanya, maka kalian tidak akan pernah sesat, yaitu; kitabullah dan sanak saudara ahli baitku.” (HR. at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, 5/ 662)
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Ada empat perkara jahiliyah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: Membanggakan kedudukan [nasab], mencela nasab [garis keturunan], meminta hujan dengan bintang-bintang, dan niyahah [meratapi mayit].” (HR. Muslim, Sahih Muslim, 3/ 45)
وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama, karena yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan dalam agama.” (HR. an-Nasai, Sunan an-Nasai, 5/ 268)
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku [mengkultuskan] sebagaimana orang Nashrani mengkultuskan ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka itu katakanlah ‘abdullahu wa rasuuluh [hamba Allah dan utusan-Nya].” (HR. al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, 4/167)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
“Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu, ingat! Tidak ada kelebihan bagi orang arab atas orang ajam dan bagi orang ajam atas orang arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, no. 22391)
D. Pandangan Ahli Ilmu
Ada banyak pendapat mengenai makna Ahlul Bait atau Aalu Bait; Keduanya secara bahasa, menurut Imam Ibnu Manzhur maknanya adalah kekasih dan keluarga. Menurutnya, kata Aalu asalnya Ahlu, diganti huruf haa dengan hamzah maka jadilah Aalu. Dengan beriringannya dua hamzah, maka hamzah yang kedua
diganti menjadi Alif sehingga dibaca Aalu. (Lihat: Lisaanul ‘Arab, XI: 31).
Adapun secara etimologis, Ahlul Bait memiliki makna sebagai berikut:
- Mereka adalah keluarga Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; baik kalangan Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Dalam hal ini, Imam Nawawi rahimahullaah menuliskan dalam Shahih Muslim sebuah judul:
باب تحريم الزكاة على رسول الله و على اله وهم بنو هاشم وبنو المطلب دون غيرهم
“Bab yang menjelaskan pengharaman zakat bagi Rasulullaah dan bagi keluarganya; yaitu Bani Hasyim dan Banul Muththalib, bukan atas selain mereka”.
- Mereka adalah para istri Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai “orang rumah” yang senantiasa membersamainya.
Ketika Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaah menuturkan tentang ayat QS. Al-Ahzaab/33: 33, beliau menuturkan: “Ini adalah nash mengenai masuknya para istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ke dalam bahagian Ahlul Bait di sini, karena mereka menjadi sebab diturunkannya ayat tersebut. Para ulama bersepakat, penyebab diturunkannya ayat termasuk kandungan makna ayat yang bersangkutan.” (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, VI: 410)
Kedua pandangan inilah yang dipilih Imam Ibnul ‘Arabi dalam kitab tafsirnya. (Lihat: Ahkaamul Qur’aan, III: 624).
- Mereka adalah orang-orang yang diharamkan menerima shadaqah dan zakat. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:
إن هذه الصدقات إنما هي أوساخ الناس وإنها لا تحل لمحمد ولا لأل محمد
“Sesungguhnya shadaqah-shadaqah itu kotoran dosa manusia, dan sesungguhnya ia tidak halal bagi Muhammad dan tidak pula bagi para keluarga Muhammad.” (HR. An-Nasai, dari shahabat Rabi’ah bin al-Harits radhiyallaahu ‘anh).
- Mereka adalah para pengikut Rasulullah shallallaahu ‘alahi wa sallam hingga hari kiamat. Ini merupakan pendapat Imam Nawawi dari kalangan Syafi’iyyah dan Al-Mardawi dari kalangan Hanabilah. Bahkan ada juga yang memaknai “mereka adalah orang-orang bertakwa”. (Lihat: Shalih bin ‘Abdillah ad-Darwisy, Aalul Bait ‘Alaihimus Salaam wa Huquuquhumus Syarii’at; “Siapa Termasuk Keluarga Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam?”, 2010: hlm. 8-9)
- Meminjam istilah Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan ‘Abdullah al-Fauzan yang menuturkan: “Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah dalam hal ini [perkara nasab], juga dalam hal-hal lain selalu berada dalam manhaj yang adil dan jalan yang lurus. Yakni tidak meremehkan, juga tidak berlebih-lebihan.” (Lihat: Kitab Tauhid 3, 1999: hlm 117)
- Kebanggaan terhadap keturunan dan kesukuan sebagaimana dijelaskan di pendahuluan, pernah direspon oleh Tuan Ahmad Hassan [Guru Persatuan Islam] dalam kitab Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama dengan memunculkan pertanyaan: Apa hukum membanggakan diri dengan ke-Sayyidan, ke-Radenan, ke-‘Araban, dan sebagainya?. Tuan Ahmad Hassan menjawab dengan menurunkan satu ayat Allah ‘azza wa jalla dan satu hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut:
إن أكرمكم عند الله أتقاكم
“Sesungguhnya orang paling mulia dari antara kamu pada pandangan Allah, ialah orang yang paling berbakti kepadaNya.” (QS. Al-Hujuraat/ 49: 13)
لا فضل لعربي على عجمي إلا بالتقوى
“Orang ‘Arab tidak lebih mulia daripada orang yang bukan ‘Arab, melainkan dengan kebaktian.” (HR. Abu Dawud)
Dengan satu ayat dan satu hadits itu, dapatlah kita tentukan, bahwa satu orang tidak lebih mulia daripada satu orang, melainkan dengan kebaktiannya. Itu pun pada pandangan Allah, bukan pandangan manusia. Di akhir jawabannya, ditegaskan bahwa: “Seorang tidak patut memandang dirinya mulia daripada yang lainnya, tetapi orang lain nanti memuliakan dia. Kalau benar ia seorang yang berjasa kepada umum atau kepada kaumnya atas jalan yang halal. Amatlah hina rasanya, orang membesarkan diri dengan alasan ia keturunan dari itu dan ini. Menurut pepatah orang ‘Arab, “Bahwa dahan yang tidak berbuah itu dipotong orang dan dijadikan kayu dapur, walaupun dahan itu dari pohon yang berbuah.” (Lihat: A. Hassan, Soal-Jawab 1, 1988: hlm. 283-284)
E. Penutup
Agar kita selalu bersikap adil dalam memahami semua urusan agama, termasuk di dalamnya perkara memaknai ahlul bait. Maka dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber petunjuk, juga pandangan serta fatwa ahli ilmu hendaknya menjadi perhatian semua pihak. Benar apa yang disampaikan para penyair ‘Arab:
لعمرُك ما الإنسانُ إلَّا بِدِيْنِهِ فَلاَ تَتْرُكِ التَّقْوَى اتِّكالاً عَلَى النَّسَبِ … لَقَدْ رَفَعَ الإِسْلاَم سَلْمَانَ فَارِسٍ وَقَدْ وَضَعَ الشِّرْكُ الشريف أبالَهَبِ
“Tidaklah seseorang itu [bernilai] kecuali dengan agamanya, maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan dan bersandar kepada nasab … Sungguh Islam telah mengangkat Salman al-Farisi [yang bukan orang ‘Arab], dan kesyirikan telah merendahkan orang yang bernasab tinggi seperti si Abu Lahab”. Allaahu yahdiinaa ilaa as-shiraath al-mustaqiim
Jazakallah khairan katsiran Ustd. Sy suka pemilihan diksinya Ustd Teten dari mulai judul, jg isinya.
Waiyyak,Alhamdulillah semoga tulisan ini manfaat