Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Dari sekian banyak anugerah Allah ‘azza wa jalla yang diberikan kepada manusia, di antaranya adalah dikaruniakannya rasa cinta [mahabbah]. Selain rasa cinta itu kuasa Dzat yang Maha menggenggam cinta, juga “nikmat rasa yang paling rahasia” dan tidak kentara [baathiniy, sirriy].
Betapa dalamnya makna cinta, banyak para ulama yang menarasikannya dengan beragam pendekatan; Mulai dari yang meletakannya dengan sebuah kejujuran, kepuasan, hingga perjumpaan. Di antaranya kalimat-kalimat emas seperti ini:
Imam Abu Hamid al-Ghazali menuturkan:
الحُبُّ عِبارَةٌ عَنْ مَيْلِ الطَّبْعِ إِلىَ الشَّيْءِ المُلَذِّ
“Cinta adalah ungkapan dari ketertarikan watak terhadap sesuatu yang dianggap lezat.” (Lihat: Ihyaa Uluumiddiin/5, hlm. 183).
إن حب القَلْبِ لِلمُحْسِنِ اِضْطِرَارًا لاَ يُسْتَطَاعُ دَفْعُهُ وَهُوَ جُبْلَةٌ وَفِطْرَةٌ لَا سَبيْلَ إِلَى تَغْيِيرِهَا
“Sungguh kecintaan hati orang yang berbuat baik merupakan sesuatu yang bersifat pasti, tidak bisa ditolak. Itu merupakan watak dan naluri yang tidak bisa diubah.” (Lihat: Ihyaa Uluumiddiin/5, hlm. 185).
Sedangkan Imam Ibnu Hazm melukiskannya dengan kata-katanya yang indah:
وعني أحبرك إني مارويت قط من ماء الوصال ولا زادني إلا ظمئا
“Kuceritakan kepadamu tentang diriku, sesungguhnya aku tidak pernah puas dengan pertemuan. Sebab semakin bertemu, aku justru semakin larut dalam dahaga.” (Lihat: Thuuqul Hamaamat, hlm. 184)
Sebagaimana sering diungkapkan dalam syair Arab, Dr. Jasim al-Muthawwi’ menghadirkannya kembali dengan penuh pesona:
قد يكون أقرب الناس إليك أبعدهم ويكون أبعدهم عنك أقربهم. فالقرب بالشعور لا بالحضور.
“Terkadang orang terdekatmu menjadi orang yang paling jauh darimu, dan orang yang paling jauh darimu serasa paling dekat denganmu. Sebab kedekatan itu dengan perasaan, bukan dengan kehadiran.”

Allah dan Nabi Panutan Bicara Cinta
Sungguh, membicarakan masalah cinta bukanlah persoalan hina tanpa makna. Melainkan persoalan mulia yang melibatkan alam rasa, terlebih apabila yang dimaksud kecintaan itu adalah kecintaan yang dibalut atas kecintaan terhadap Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya. Dalam hal ini Al-Qur’an mempersembahkan firman yang mulia:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓا۟ إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa [pada hari kiamat], bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya [niscaya mereka menyesal].” (QS. Al-Baqarah/ 2: 165)
Demikian pula Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menuturkan dalam sabdanya:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman [ketika] Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci apabila dilempar ke neraka.” (HR. Al-Bukhari, dari shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anh, dalam Kitaabul Imaan, Bab “Manisnya Iman).
Bahkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh dan Sayyidah ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa disebutkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menuturkan:
الأرْواحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَما تَعارَفَ منها ائْتَلَفَ، وَما تَناكَرَ منها اخْتَلَفَ.
“Ruh-ruh itu [seperti halnya] tentara yang berbaris rapih; yang saling mengenal satu sama lain akan saling menyesuaikan, sedangkan yang bertentangan satu sama lain akan saling centang perenang.”

Warna-warni dan Hakikat Cinta Manusia
Dalam pandangan Imam Abu Hamid Al-Ghazali, cinta manusia memiliki sebab yang beragam. Menurutnya, ada lima sebab sebagai berikut: Pertama, cinta kepada diri, kesempurnaan dan keberadaannya. Kedua, cinta kepada setiap orang yang berbuat baik kepadanya. Ketiga, cinta kepada orang-orang yang selalu berbuat baik kepada orang lain, meski kebaikan itu tidak diperbuat untuknya. Keempat, cinta pada setiap sesuatu secara materi, seperti kecantikan, ketampanan, etika baik, ucapan lemah lembut dan lainnya. Kelima, kecintaan yang disebabkan satu frekuensi yang terjalin dalam diri masing-masing orang yang saling mencinta. (Lihat: Ihyaa ‘Uluumiddiin/5, hlm. 188)
Namun demikian, masih menurutnya: Annal mustahaq lil mahabbati huwa Allaahu wahdahu, “Sesungguhnya yang paling berhak untuk dicinta [melebihi dari yang lainnya] adalah Allah ‘azza wa jalla semata”. Demikian pula berikutnya, kecintaan kepada Rasul-Nya merupakan perkara yang terpuji. Menyusul kecintaan kepada ahli ilmu dan orang-orang bertakwa tidak dapat dilepaskan dari lima sebab tadi. (Lihat: Ihyaa ‘Uluumiddiin/5, hlm. 188).
Tanda lainnya dijelaskan Sahl bin ‘Abdillah At-Tusturi dengan sangat rinci:
علامة حب الله حب القرآن، وعلامة حب القرآن حب النبي صلى الله عليه وسلم، وعلامة حب النبي صلى الله عليه وسلم حب السنة، وعلامة حب السنة حب الآخرة، وعلامة حب الآخرة بُغض الدنيا، وعلامة بُغض الدنيا ألا يأخذ منها إلا زاداً وبلغة إلى الآخرة
“Tanda dari kecintaan terhadap Allah adalah mencintai Al-Qur’an, dan tanda dari kecintaan terhadap Al-Qur’an adalah mencintai Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan tanda dari kecintaan terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah mencintai sunnah, dan tanda dari kecintaan terhadap sunnah adalah mencintai akhirat, dan tanda dari kecintaan terhadap akhirat adalah membenci dunia [tidak berlebihan], dan tanda dari tidak berlebihan terhadap dunia adalah tidak mengambilnya kecuali hanya sebagai bekal yang mencukupi menuju akhirat.” (Lihat: Al Bida’ al-Hauliyah, hlm. 185, Risalah Magister Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Ahmad At-Tuwaijiri, Maktabah Syamilah)
Maka hakikat cinta manusia adalah loyalitas kepada Allah ‘azza wa jalla hingga dirinya mendapatkan ridha-Nya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menuturkan:
فحقيقة المحبة لا يتم إلا بموالاة المحبوب، و هو موافقته في حبه ما يحب و يبغض ما يبغض. و الله يحب الإيمان و التقوى و يبغض الفسوق و العصيان
“Hakikat cinta tidaklah sempurna kecuali dengan loyal kepada yang dicintainya, yaitu menyesuaikan diri, dengan mencintai setiap perkara yang dicintai olehnya dan membenci setiap perkara yang dibenci olehnya. Dan Allah mencintai keimanan dan takwa, serta membenci kefasikkan dan kedurhakaan.” (Lihat: Al-‘Ubuudiyyah, hlm. 28).
Bahkan sebelumnya, Syaikhul Islam memberikan penjelasan dengan menghubungkannya dengan perkara hati, untuk apa hati itu diciptakan? Jawabannya adalah:
و القلب خلق يحب الحق و يريده و يطلبه
“Hati diciptakan untuk mencintai Allah, menginginkan [perjumpaan dengan-Nya] dan berusaha mendapatkan [keridhaan-Nya].” (Lihat: Al-‘Ubuudiyyah, hlm. 26).
Berikutnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menambahkan dengan menegaskan:
وكل ما سواه مما يحب فإنما محبته تبع لمحبة الرب تبارك وتعالى كمحبة ملائكته وأنبيائه وأوليائه، فإنها تبع لمحبته سبحانه، وهي من لوازم محبته، فإن محبة المحبوب توجب محبة ما يحبه
“Segala sesuatu yang dicintai selain-Nya, sesungguhnya kecintaan kepadanya mengikuti kecintaan kepada Ar-Rabb Tabaraka wa Ta’ala, seperti kecintaan kepada Malaikat, Nabi-Nabi, dan para wali-Nya, maka sebenarnya kecintaan-kecintaan itu mengikuti kecintaan kekepada-Nya. Kecintaan-kecintaan itu sekaligus sebagai konsekuensi kecintaan kepada-Nya karena mencintai sesuatu [Dzat] itu mengharuskan mencintai perkara yang dicintai oleh sesuatu [Dzat] tersebut.” (Lihat: Ad-Daa’ wad Dawaa’, hlm. 276).

Agar Cinta Berlabuh di Tepian Lautan Iman
Demikianlah kemuliaan dan hebatnya cinta ketika membungkus kebenaran. Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber kebenaran, itulah tali Allah yang kokoh [hablullaahil matiin] yang selalu harus dipersiapkan. Para ahli hikmah menasihatkan:
أحكم السفينة فإن البحر عميق، واستكثر الزاد فإن السفر طويل، وخفف عن ظهرك فإن العقبة كؤود، وأخلص العمل فإن الناقد بصير.
“Perbaharuilah bahteramu karena sesungguhnya lautan teramat dalam, perbanyak bekalmu karena sesungguhnya perjalanan masih panjang, ringankan bawaan punggungmu karena bebanmu teramat berat, dan ikhlaskan amalmu karena Yang mengawasi Maha melihatmu.” (Riwayat Ad-Dailami dalam Al-Firdaus).
Ulama lainnya mengibaratkan, bahwa berpegang teguhnya seseorang pada tali Allah itu diumpamakan seperti orang yang diselamatkan kapal Nabi Nuh ‘alaihis salaam. Berkata Imam Az-Zuhri sebagaimana dinukilkan Al-Hafizh Abul Fida’ Ibnu Katsir dalam Tafsiir Al-Qur’aanil ‘Azhiim berikut ini: “Berpegang teguh pada tali Allah itu kunci keselamatan, bagaikan bahtera Nabi Nuh ‘alaihis salaam; Siapa yang bersegera naik bahteranya maka dia selamat, dan siapa yang menjauh dari bahteranya maka dia tenggelam.”
Alhamdulillâh. Jazâkumullâhu khair. Mohon izin share Tadz.