Selasa, Juli 15MAU INSTITUTE
Shadow

PERSATUAN ITU RAHMAT; NARASI LANGIT YANG SELALU DIRINDUKAN

Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Al-jamaa’atu rahmatun wal furqatu adzaabun; “Persatuan itu adalah rahmat dan perpecahan itu adalah adzab”. Demikian pesan singkat Nabi akhir zaman sebagaimana banyak dinukilkan para ulama dalam berbagai karyanya. Imam Ahmad, Imam Ath-Thabraani dan Imam Al-Bazzar meriwayatkan dari shahabat Nu’man bin Basyir radhiyallaahu ‘anh. (Lihat: Syaikh Al-Albani, Takhriij Kitab As-Sunnah, hlm. 93. Hadits tersebut derajatnya hasan)

Sebagai agama yang rahmatan lil ‘aalamiin, Allah ‘azza wa jalla menganugerahkan umat manusia berupa para utusan-Nya. Di antaranya seorang Nabi yang memiliki sifat kelembutan dan kasih sayang [rahmah] itu adalah Muhammad Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Imam Ibnu Manzhur [w. 711 H.] menuturkan, yang dinamakan rahmah bagi anak cucu Adam ‘alaihis salaam adalah riqqatul qalbi wa ‘athfuhu; “kelembutan hati dan ketajaman perasaan”. Karenanya Syaikh ‘Abdurrahman Habannakah al-Maydani [w. 1425 H.] mendefinisikan: “Sentuhan dalam hati ketika panca indera merasakan kepedihan atau kegembiraan [termasuk merasakan apa yang dirasakan orang lain].” (Lihat: Lisaanul ‘Arab 12/ 230 dan Al-Akhlaaq al-Islaamiyyah wa Ususuhaa 2/ 3).

Dipilihnya Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabi akhir bukan tanpa alasan; Pada dirinya terdapat sifat-sifat terpuji yang melebihi utusan lainnya, kitab-kitab langit [al-kutub as-samawiyyaat] menyebutnya dengan kata “Ahmad”, yang mengandung makna “paling terpuji” [dengan menggunakan kosa kata isim tafdhiil; mengandung makna “paling” atau “lebih”]. Demikian ulama Linguistik Al-Qur’an terkemuka sekaliber Imam Ar-Raghib al-Ashbahani [w. 502 H.] menjelaskan dalam kitabnya Al-Mufradaat fii Ghariibil Qur’aan. Dengan kepribadian prima inilah, sesuatu yang wajar apabila pada dirinya diamanahkan tugas risalah yang sangat agung menjadi penghulu para Nabi dan Rasul [sayyidul anbiyaa wal mursaliin].

Selain menjadi seorang Nabi yang diutus untuk seluruh umat manusia [kaaffatan lin naas, QS. 34: 28], juga pembawa rahmat untuk sekalian alam. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk [menjadi] rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa/ 21: 107).

Selain itu, Rasul sendiri menuturkan dalam sabdanya:

وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت إلى الناس عامة

“… Seorang Nabi diutus untuk kaumnya semata, sementara aku diutus untuk manusia seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari 1/ 119 dan Muslim 521 dari shahabat Jabir radhiyallaahu ‘anh. Sulaiman bin Shalih al-Kharasyi, menyebut perkara ini dengan ushuulul i’tiqaad fil Islaam. Lihat: Al-‘Auwlamah, 1420: hlm. 85).

Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menarasikan makna “persatuan” dengan segala varian penafsirannya. Hal ini mengisyaratkan, di antara bukti sunnatullaah-nya manusia diciptakan itu tidak semata-mata hidup tanpa adanya maksud dan tujuan. Dari sekian misi yang diemban manusia adalah “persatuan”, karenanya Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam berbagai ayat-Nya sebagai berikut:

Pertama; Pada dasarnya manusia diciptakan dengan beragam suku dan bangsa yang berbeda tidak lain untuk saling mengenal sesama mereka [lita’aarafuu], sekalipun sebelumnya mereka satu jiwa dari dua jenis yang berbeda [laki-laki dan perempuan].

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat/ 49: 13)

Kedua; Hakikatnya persatuan dan kesatuan umat itu bagian dari kehendak Allah azza wa jalla [iraadatullaah], bukan sekadar keinginan manusia semata.

وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ ٱلنَّاسَ أُمَّةً وَٰحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ

“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” (QS. Hud/ 11: 118)

Ketiga; Sejatinya persatuan yang sesungguhnya itu adalah persatuan yang dibangun atas dasar ikatan hati [ta’liiful quluub], bukan karena kaitan yang lain.

لَوْ أَنفَقْتَ مَافِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا مَّآأَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ

“Walaupun kamu membelanjakan [kekayaan] yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (QS. Al-Anfaal/ 8: 63).

Keempat; Pada dasarnya persatuan dan kesatuan sejati adalah persatuan yang dibangun dengan semangat berpegang teguh pada tali Allah ‘azza wa jalla [i’tishaam bihablillaah], selain semangat mempertautkan hati.

وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan berpeganglah kamu semua kepada tali [agama] Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu [masa jahiliyah] bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Alu ‘Imraan/ 3: 103)

Kelima; Sesungguhnya sifat senang memecah belah dan berbangga-bangga itu merupakan prilaku orang-orang yang terbiasa menyekutukan Allah ‘azza wa jalla yang sangat diwanti-wantikan untuk dihindari.

وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِين [٣١] مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ [٣٢]

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang senang memecah-belah agama mereka [sendiri] dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum/30 : 31-32)

Keenam; Bahwasanya persatuan yang diharapkan bukanlah persatuan yang semu, melainkan persatuan yang benar-benar di atas jalan Allah ‘azza wa jalla atas ketulusan hati.

تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى

“Kamu kira mereka itu bersatu padu, sedang hati mereka berpecah-belah.” (QS. Al-Hasyr/ 59: 14).

Bentangan ayat-ayat tersebut menunjukkan, betapa persatuan dan kesatuan itu merupakan kemuliaan Allah untuk manusia; Yakni kemuliaan manusia di muka bumi yang sangat majemuk, kemuliaan manusia sebagai makhluk yang dicipta dari jiwa yang satu, kemuliaan manusia sebagai makhluk yang mampu merajut hati, kemuliaan manusia yang mematuhi ikatan tali Allah sebagai aturan hidupnya, kemuliaan manusia sebagai pemersatu yang tidak menyukai centang perenang, dan kemuliaan manusia yang mampu mewujudkan persatuan sejati serta menepis persatuan bias penuh rekayasa dan syak wasangka.

Semua ini merupakan bentuk perhatian Islam dalam membimbing manusia betapa pentingnya persatuan dan keterpautan hati [at-tawahhud wal i’tilaaf], juga larangan bersengketa dan perpecahan ketika menghadapi perbedaan [hazhrut tanaazu’ wat tafarruq ‘indal Ikhtilaaf]. Karenanya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [w. 728 H.] menuliskan beberapa kaidah penting dalam masalah ini sebagai berikut: al-muhaafazhatu ‘alal jamaa’ati min a’zhami ushuulil Islaam; “menjaga persatuan merupakan pokok ajaran Islam yang paling agung”, tahriimut tafriiq baynal ummati li-ajlil khilaafaat; “haramnya perpecahan dikarenakan perbedaan pendapat”, dan i’tilaafu quluubil ummati a’zhamu min ba’dhil mustahabaat; “pertautan hati sesama umat lebih besar kedudukannya dibanding perkara mustahab”. (Lihat: Abdul Fattah Abu Ghuddah, Risaalatul Ulfah Baynal Muslimiin, 1427 H./ 1996 M.)

Sungguh persatuan yang dibangun di atas tali Allah ‘azza wa jalla dan ta’liiful quluub benar-benar kekuatan persatuan yang diidam-idamkan; Yakni terwujudnya persaudaraan sesungguhnya yang saling mencintai, saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan. Dengan demikian, hidup berjamaah seperti ini merupakan perkumpulan yang dirindukan. Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anh menasihatkan: Wa inna maa takrahuuna fil jamaa’ati khairun mimmaa tuhibbuuna fil furqati; “Sesungguhnya perkara yang engkau benci dalam bingkai hidup berjamaah masih lebih baik dari pada perkara yang engkau sukai dalam hidup berpecah belah”. Wallaahul musta’aan

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!