Mendampingi Ketum Dewan Da’wah Drs. Mohammad Siddik, MA., Sekum Avid Shalihin, MM. dan Waketum Amlir Syaifa Yasin, MA. bersama Tim Pengacara yang dipimpin Ahmad Laksono, SH. serta Pusat Kajian Dewan Da’wah yang diwakili H.M. Amin Djamaluddin, Syamsul Bahri Ismail, MH. dan H.T. Romly Qomaruddien, MA. (sebagai Pihak Terkait) memenuhi panggilan Sidang MK untuk mendengarkan pandangan keberatatan pihak Ahmadiyah (sebagai Pihak Pemohon) yang diwakili Tim Pengacara dan ahli pemohon yang terdiri dari Prof. Dr. M. Qasim Mathar (dari UIN Alauddin Makasar) dan Zuhairi Misrawi (dari Moderate Muslim Society). Persidangan yang melibatkan delapan anggota majlis hakim dan dihadiri unsur pemerintah ini, dipimpin oleh Ketua Majlis Hakim Arief Hidayat. Adapun dari pihak DPR, berhalangan hadir.
Ahmadiyah (sebagai ahli pemohon), Prof. Mathar menyampaikan bahwa menurutnya “Peta Besar Ummat Islam” itu ada tiga; Sunni, Syi’ah dan Ahmadiyah. Menurutnya, rukun Islamnya sama, namun rukun keimanan yang berbeda. Menukil ungkapan Prof. Quraesy Syihab, “Orang yang masih mempertentangkan sunni dengan syi’i adalah ketinggalan”. Lalu, dirinya menambahkan, “Orang yang masih mempertentangkan sunni, syi’i dan ahmadi, mereka adalah ketinggalan” tegas sosok yang mengaku “mengenal” ahmadiyah 50 tahun yang silam sejak mahasiswa di IAIN Makasar ini.
Sedangkan Zuhairi Misrawi, dirinya melakukan pembelaan dengan menyatakan bahwa “tidak ada hak bagi seseorang ataupun lembaga untuk menilai sesat golongan lain (termasuk MUI)”. Masih menurutnya, “sepanjang pergaulannya dengan kaum Ahmadiyah di berbagai belahan bumi, banyak persamaannya dengan Muslim pada umumnya; syahadatnya sama, qur’annya sama dan nabinya sama”. Bahkan ia menegaskan, pengajuan judicial review yang dilakukan pihaknya, merupakan bukti cinta Ahmadiyah terhadap negeri ini. Namun dirinya menambahkan, Mirza Ghulam Ahmad itu Nabi Zhilly, artinya “nabi bayangan” bukan Nabi Syari’ati (pembawa ajaran), sama halnya dengan pengertian wali dalam sunni, akunya menambahkan. Namun sayang, yang dirujuk Misrawi itu meniru pandangannya Ibnu ‘Araby dalam Aqdaamun Nubuwwah yang menuturkan ungkapan “aku hanyalah sebutir debu pada terompah Nabi”, yaitu omongan seorang shufi yang telah dinyatakan sesatnya oleh tidak kurang 100 ulama ahlus sunnah wal jama’ah.
Dalam sesi pandangan dan tanggapan, Mohammad Siddik mempertanyakan sejauh mana pengetahuan ahli pemohon tentang ahmadiyah yang dinilainya banyak keganjilan karena tidak focus (melebar ke ajaran-ajaran lain). Sedangkan Ahmad Laksono, mengkritisi paradoksal pemohon tentang kenabian Mirza yang justeru nyata-nyata mengaku nabi sebagaimana dituturkan buku kaum Ahmadi sendiri Da’watul Amier karya Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad.
Ketika ditegaskan oleh anggota majlis hakim Bapak Wahiduddin Adams dengan pertanyaan “Apakah ahmadiyah itu teologis atau seperti madzhab-madzhab fiqih?”, ahli pemohon pun mengakuinya, sekalipun tetap berkilah.
Ada yang menarik perhatian di luar persidangan, karena Ketua Majlis Hakim telah menutupnya. H.M. Amin Djamaluddin (Ketua LPPI sebagai ahli Terkait yang belum diberi kesempatan berbicara), sejak awal telah mempersiapkan bahan-bahan bantahannya. Sembari menunjukkan buku, berkas-berkas dan kitab suci Tadzkirah beliau nemuin dua orang ahli pemohon seraya mengatakan, “sebaiknya kita berdebat terbuka saja”, ungkapnya datar.
Demikian, semoga Rabbul ‘Aalamien senantiasa meneguhkan hamba-hambaNya. Aamiin … (#TenRomlyQ, Mahkamah Konstitusi, Jakarta 10/ 10/ 2017#)