(Jakarta 29/11). SIDANG AHMADIYAH/ MK KE-4; Merupakan sidang ke-4 yang kami ikuti, di mana kali ini diawali dengan mendengarkan pihak terkait dari Komnas Perempuan yang merincikan pointer-pointer hak perempuan Ahmadiyah yang wajib dilindungi, di mana menurut pengakuannya mereka kini menjadi salah satu korbannya.
Sedangkan untuk ahli pemohon, pihak Ahmadiyah menghadirkan Dr. Catur Wahyudi (Dosen Fisip Universitas Merdeka Malang). Tak jauh berbeda dengan para pembela sebelumnya, dirinya menyoal UU No.1/ PNPS/ 1965 dan SKB Tiga Mentri yang dinilainya sangat membatasi kehidupan beragama, terutama Ahmadiyah. Terlebih-lebih Fatwa MUI tahun 1980 yang menyebutkan bahwa Ahmadiyah “di luar Islam”, lalu diikuti Fatwa MUI tahun 2005 yang menyebutkan Ahmadiyah “sesat dan menyesatkan”. Hal ini menyebabkan kaum Ahmadiyah, mengalami tekanan dan kehidupan beragama yang kian tak pasti. Padahal kalau mencermati sepuluh butir baei’at (baei’at: ikrar) yang disebutnya sebagai “keperibadian jema’at ahmadi”, tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dilakukan para shahabat Nabi di masa bae’iah ‘aqabah. Tegas sosiolog lulusan UIN yang memang disertasinya tentang Ahmadiyah ini. Penulis karya Gerakan Civil Society Komunitas Islam Marjinal (Kasus Jema’at Ahmadiyah) tahun 2014 ini, mempertanyakan sejauh mana “kebebasan” beragama itu diwujudkan di era reformasi yang menjunjung tinggi HAM?. Adapun soal kenabian pamungkas dan kitab suci Ahmadiyah yang berbeda dan debatable, malah dirinya berpraduga (sedikit menuduh) kalau pihak kontra Ahmadiyah menyampaikan pesan yang salah kepada publik, karena faktanya warga Ahmadiyah tidak ada yang memiliki kitab Tadzkirah dan masih mengakui Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi akhir, kilahnya meyakinkan.
Kalau pembela sebelumnya (Prof. Mathhar, Zuhairi, Najieb Burhani, termasuk Dr. Catur sendiri) menyebut Mirza Ghulam Ahmad sebagai “Nabi Bayangan”, kini muncul istilah baru bahwa Mirza itu “Nabi Ummaty” bukan “Nabi Mustaqil”. Demikian, tegas Yayat Hidayatullah (saksi fakta pemohon yang didatangkan dari Bintan Riau) yang mengaku hak konstitusionalnya sebagai penganut Ahmadi merasa dianak tirikan.
Adapun pihak terkait lainnya, yaitu Tim Kuasa Hukum MUI memberikan keterangan menguatkan pihak terkait Dewan Da’wah yang merincikan berbagai ekses yang sudah dan bakal timbul disebabkan pembiaran Ahmadiyah ini. Munculnya kegaduhan, timbulnya main hakim sendiri dan tindakan-tindakan lainnya lebih merupakan akibat dari sebuah sebab. Fatwa MUI itu muncul, karena adanya sebab penodaan agama. Jadi, sangat keliru apabila dialektikanya dikaburkan menjadi “kekerasan itu” timbul, gara-gara fatwa MUI. Artinya, tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Siapa menabur angin, pasti akan menuai badai.
Akhirnya, sidang kali ini yang dipimpin Anwar Usman, SH. ditutup sementara dan akan dilanjutkan bulan Desember dengan menghadirkan dua ahli dari pemerintah dan dua kesaksian tertulis dari dua saksi fakta pemohon yang akan didatangkan dari Lombok Nusa Tenggara Barat.
Semoga keadilan yang sebenarnya dapat berpihak pada kebenaran yang sejati. Wallaahul musta’aan … (#TenRomlyQ, Mahkamah Konstitusi, 28 Desember 2017 🌙🕋🕌📚🇲🇨)