PRIA-WANITA DALAM TIMBANGAN WAHYU
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Pada prinsipnya, dalam hal kewajiban taat dan sama-sama akan menerima pahala di sisi Alloh ‘azza wa jalla, antara pria dan wanita adalah sama. Yang membedakan keduanya, di samping perbedaan fisik dan kelamin, juga karakter dan sifat (thabi’at) nya masing-masing.
Al-Qur’anul Kariem memaparkannya dengan jelas sebagai berikut:
1. Diciptakannya pria dan wanita merupakan bukti keagungan Alloh ‘azza wa jalla untuk berpasang-pasangan, agar berkembang menjadi keturunan yang beranak pinak, bersuku-suku, saling mengenal satu dengan lainnya sehingga dapat mengelola bumi dengan penuh keadilan dan ketakwaan. (Lihat QS. Al-Hujuraat/49: 13, QS. Yaasin/36: 36 dan QS. Ar-Ruum/30: 21).
2. Baik pria maupun wanita, keduanya sama-sama dituntut untuk dapat mengerjakan amal shalih. (Lihat QS. An-Nahl/16: 97 dan An-Nisaa’/4: 124).
3. Baik pria maupun wanita yang beriman, akan sama-sama mendapatkan balasan dari amal shalihnya; yaitu kehidupan yang baik, pahala yang besar, dapat masuk surga dan tidak akan dizhalimi sedikitpun. (QS. Al-Mu’min/40: 40).
4. Tidaklah sama antara pria dan wanita dalam segi tabi’at dan sifat sebagaimana ketentuan fithrah yang telah ditetapkan Alloh ‘azza wa jalla.
Dijelaskan dalam ayatNya: “Ketika isteri ‘Imran melahirkan anaknya, ia pun berkata: yaa Tuhanku, sesungguhnya aku telah melahirkan seorang bayi wanita, dan Alloh lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak pria tidaklah seperti anak wanita”. (QS. Alu ‘Imraan/3: 36).
Sungguh jelas, kalimat “Wa laisadz dzakaru kal untsaa; anak pria tidaklah sama dengan anak wanita”, menunjukkan perbedaan fithrah di antara keduanya. Perbedaan yang dimaksud dijelaskan dalam beberapa riwayat, di antaranya:
- Kesaksian seorang wanita merupakan setengahnya dari kesaksian pria yang menunjukkan perbedaan kadar akal keduanya (di mana wanita lebih mengedepankan rasa), wanita yang sedang haidh tidak menunaikan shalat dan shaum sehingga berkurang nilai agamanya sebagaimana ditunjukkan hadits HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’ied al-Khudriy radhiyallaahu ‘anh.
- Demikian pula, shahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anh menuturkan tambahan perbedaan keduanya: “Seburuk-buruknya sifat pria adalah bisa jadi sebaik-baiknya sifat wanita, yaitu: bakhil (al-bukhl), kurang ramah/ ketus (az-zahw) dan penakut (al-jubn)”. Hal ini dijelaskan oleh Imam Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi dalam Syarh ‘Uquud al-Lujain Fie Bayaani Huquuq az-Zaujain sebagaimana dinukilkan H.A. Zakaria al-Kurhy dalam Tarbiyatun Nisaa’; Diraasah Manhajiyyah Fie Fiqhil Mar’ah as-Shaalihah. Di dalamnya dipaparkan; Jika seorang wanita itu bakhil, artinya ia dapat menjaga hartanya dan harta suaminya. Jika seorang wanita itu kurang ramah, artinya ia dapat menahan (membatasi diri) dari perkataan yang bisa memikat orang lain. Dan jika seorang wanita itu penakut, artinya niscaya ia tidak akan meninggalkan rumahnya dan akan menghindari tempat-tempat yang dapat mengundang fitnah.
Demikianlah keduanya diciptakan berbeda oleh Penciptanya sesuai dengan iradahNya, dan Alloh ‘azza wa jalla tentu Maha tahu, mengapa keduanya harus dibedakan. Adanya tanggung jawab seorang pria sebagai tulang punggung keluarga (qawwaam) dengan kekuatannya, adanya kepatuhan seorang wanita sebagai yang tercipta dari tulang rusuk untuk berkhidmat dengan kelembutannya, semua itu merupakan buah hikmah perbedaan keduanya dalam melahirkan harmoni mengiringi orkestra perjalanan hidup manusia.
Semoga Rabbul ‘Aalamien memberikan kekuatan agar kita senantiasa menjaga dan memelihara fithrahNya yang begitu mulia. Aamiin … Wallaahul musta’aan.
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta
Teten Romly Qomaruddien, Aceng Zakaria, Dewan Dakwah Islam Indonesia, Persis, LGBT Dalam Islam,