Senin, Desember 9MAU INSTITUTE
Shadow

FIQIH KALEIDOSKOP (Menafsir Zaman Menepis Ramalan)

FIQIH KALEIDOSKOP (Menafsir Zaman Menepis Ramalan)
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Dalam beberapa kamus disebutkan, kalaedoskop adalah suatu alat optik yang terdiri dari cermin dan digunakan untuk membidik sasaran yang lebih bagus dan indah, disebut juga alat keker atau teropong. Namun berikutnya, lebih dikenal dengan “bidikan peristiwa” terhadap berbagai kejadian masa lalu dalam bentuk “rekaman ulang” atau “rekam jejak” dari sebuah perjalanan waktu semisal lintasan peristiwa satu tahun yang sering ditayangkan di beberapa stasiun Televisi di akhir tahun.

Dalam perspektif agama, manusia selalu diingatkan untuk memperhatikan perjalanan waktu agar dapat mengevaluasi diri dan tidak ada kata terlambat untuk merenungkan sebuah perjalanan hidup; apakah itu bilangan qurun (abad), bilangan tahun, bilangan bulan, bilangan minggu, bilangan hari, bilangan jam, bilangan menit, bilangan detik, hingga bilangan denyut. Sungguh luhur dan mulianya ajaran Islam ini, mengajarkan agar manusia memperhatikan waktu demi waktu yang dilaluinya.

Demikianlah Allah ‘azza wa jalla menggulirkan waktu demi waktu untuk manusia sebagaimana ditunjukkan kalamNya: “Tilkal ayyaamu nudaawiluhaa bainan naasi … ; Itulah hari-hari yang Kami putarkan di antara manusia” (QS. Alu ‘Imraan/3: 140). Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menuturkan: “Annaz zamaana qad istadaara … ; Roda zaman sungguh terus berputar” (HR. Bukhary-Muslim dari shahabat Abu Bakrah radhiyallaahu ‘anh). Para ulama menyebut hal ini dengan istilah sunnatul mudaawalah (artinya: siklus kehidupan).

Ajaran dzikir (artinya: ingat), menjadi bagian yang harus mendarah daging dalam kehidupan dengan segala bentuknya (dengan tetap seiring mengikuti sunnah Nabi); mulai dari sekedar mengucapkan kalimat wirid semisal subhaanallaah, alhamdulillaah, astaghfirullaah dan lain-lain, hingga wirid pagi dan wirid petang (dzikrus shabaah wa dzikrul masaa). Belum termasuk dzikir shalat dan bakda shalat, ditambah lagi tilaawatul Qur’aan sebagai sebaik-baiknya dzikir.

Dalam konteks waktu, manusia pun diingatkan dengan waktu malam (al-lail), waktu siang (an-nahaar), waktu fajar (al-fajr, al-falaq), sepenggalan matahari meninggi (dhuha), bahkan diingatkan dengan penghujung hari-hari (as-saa’ah, al-qiyaamah). Semua itu, menjadikan waktu demi waktu dalam Islam senantiasa terawasi (controlled) dan seluruh waktu; hari, minggu, bulan dan tahun tidak mengenal yang namanya “hari sial” atau “waktu buruk” sebagaimana pandangan dan ramalan dalam keyakinan tertentu.

Misalnya, keyakinan akan datangnya masa-masa sulit yang disebut “kolo bendhu” atau “goro-goro” sebelum lahirnya “satrio pininggit” sebagai “ratu adil” sejak zaman Prabu Sri Joyoboyo (1135 – 1157 M), namun populer pada zaman pujangga Kraton Mataram Surakarta (1830 – 1873 M). Zaman goro-goro ini digambarkan bahwa bumi dalam keadaan gonjang-ganjing, langit kelap-kelap, bumi berguncang hingga langit bergetar. Zaman ini akan berakhir seiring munculnya “satrio pininggit” dengan segala keutamaannya membawa bumi Nusantara menuju negeri gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo. Sang Prabu menuturkan: “Marga sirapih, rawuhnya, nata ginaib sanyata, wiji sijilane utama, ingaparan naranata, kang kapisan, karanya, adenge tanpa sarana, nagdom, makduming srinata, sonya rutikedannya” (artinya: “Kedatangan pemimpin tak terduga seperti muncul secara ghaib dan mempunyai sifat-sifat utama”). (Lihat Sri Mulyo, Jaman Kolo Bendhu Menjelang Goro-goro Satrio Pininggit Segera Muncul, Serunik.com/ 2014).

Bagaimana Islam memandang keyakinan seperti itu? Ada baiknya sama-sama kita renungkan sabda Rasuulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan mencaci maki waktu (subbud dahr). Dalam hadits qudsi dituturkan: “Allah Ta’alaa berfirman, anak Adam menyakitiKu dengan mencaci waktu. Padahal Akulah yang mengatur waktu dan membolak-balikkan malam dan siang. Riwayat lain menyebutkan: Janganlah kamu mencaci maki waktu, karena Akulah pengatur waktu itu” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh).

Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahab at-Tamimy rahimahullaah mengurainya secara singkat namun jelas dan tegas dalam bukunya Kitaabut Tauhied yang menunjukkan sangat pentingnya masalah ini.

Untuk lebih terjaganya waktu, manusia beriman diingatkan agar setiap jiwa senantiasa memperhatikan persiapan hari esok, sebagaimana firman Alloh ‘azza wa jalla: “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kalian kepada Alloh. Hendaklah setiap jiwa memikirkan (menggunakan nazhar/ nalar) apa-apa yang sudah dipersiapkan untuk menyambut datangnya hari esok (kiamat). Bertakwalah kalian, sesungguhnya Alloh itu Maha tahu (mengerti dan memahami) apa-apa yang kalian lakukan” (QS. Al-Hasyr/59: 18).

Al-Hafizh Ibnu Katsier memberikan penjelasan dalam Tafsier al-Qur’aanil ‘Azhiem, ayat ini mengajarkan akan pentingnya evaluasi sebagai persiapan menghadapi hari kiamat, “hisablah diri-diri kalian sebelum kalian dihisab dan perhatikanlah apa yang telah disiapkan untuk menghadapi Rabb kalian di hari yang telah dijanjikan”. (Ibnu Katsier 4, hlm. 2816)

Jangankan kita, manusia yang berlumuran dengan dosa, manusia pilihan Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sebahaimana kesaksian isterinya Ummul Mukminien ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anh senantiasa memohon kepada Alloh agar diringankan hisabnya. “Allaahumma haasibnii hisaaban yasieran; yaa Alloh, hisablah diriku dengan hisab yang ringan”. Ketika ditanyakan padanya, apa yang dimaksud hisab yang ringan itu? Nabi pun menjawabnya: “Seseorang yang Alloh melihat kitabnya, lalu memaafkannya. Celakalah orang yang diperdebatkan catatannya, tidaklah seseorang terkena mushibah melainkan Alloh hapuskan dosanya sekalipun tertusuk duri” (HR. Ahmad 6, hlm. 48).

Tali simpul yang dapat kita ambil sebagai pelajaran berharga (istifaadah), hendaknya setiap pergantian waktu kita bisa memperhatikan kembali hal-hal berikut; senantiasa bersyukur akan anugerah yang diberikanNya dengan cara-cara yang diridhaiNya (tasyakkur), merenungkan kembali apa yang telah diamalkan (tadabbur), menimbang dan mengevaluasi diri kembali (tahaasub) dan tentu saja ditindak lanjuti dengan amal nyata yang lebih baik (ta’aamul).

Semoga Rabbul ‘Aalamien senantiasa menjaga dan memelihara kita. Aamiin … Wallaahul musta’aan
_______

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!