Kamis, Oktober 10MAU INSTITUTE
Shadow

“TIKUNGAN TAJAM” LOGIKA AHMADIYAH (Menjawab Resah Membantah Gundah)

“TIKUNGAN TAJAM” LOGIKA AHMADIYAH (Menjawab Resah Membantah Gundah)
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Membersamai Ayahanda H.M. Amin Djamaluddin (Peneliti LPPI dan Kader senior Dr. Mohammad Natsir tentang Alira-aliran), di antaranya menyoal “pokok-pokok ajaran Ahmadiyah” yang tertulis dalam beberapa buku-bukunya. Di antara petikan-petikan yang ditemukannya, Madrasah Ghazwul Fikri memberikan ulasan tanggapan sebagai berikut:

1) Dalam Edaran No. 20, Fathun 1355/ Desember 1976 disebutkan: “Kita mengetahui bahwa jemaat Ahmadiyah adalah jemaat yang didirikan oleh Allah sendiri dengan perantara Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s.”.

Tanggapannya:
Allah subhaanahu wa ta’aala tidak menurunkan para Nabi dan Rasul, melainkan membawakan misi dan seruan “ani’buduullaaha wajtanibuut thaaguuta”, “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah dan kamu menjauhi thagut (segala yang melampaui batas dari batas-batas ketentuan Allah”. Dan Nabiyullah Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pendiri sebuah agama, melainkan menjalankan agama wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. (Lihat QS. Al-A’raaf/7: 59, 65, 73, 85 dan QS. An-Nahl/16: 36).

2) Dalam buku: Ajaranku (Mirza Ghulam Ahmad), Yayasan Wisma Damai, tahun 1993, hlm. 27 disebutkan: “Janganlah mengira Ruhul Kudus tidak dapat turun di waktu sekarang dan bahwa hal itu hanya berlaku di masa dulu saja …”.

Tanggapannya:
Pintu wahyu sudah tertutup, seiring tertutupnya wahyu terakhir. Adapun pintu ijtihad (pandangan ulama mu’tabar dengan dalil yang shahih dan sharih) masih terbuka. (Lihat QS. Al-Maaidah/5:3 dan Hadits Rasuulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan kepada shahabat Mu’adz bin Jabbal radhiyallaahu ‘anh ketika diutus ke negeri Yaman terkait dengan penetapan hukum yang tidak didapatkan dalam kitabullah dan sunnah nabiNya. Shahabat Mu’adz menjawab: “ajtahidu bir ra’yie wa laa aluu; aku berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak lalai” (HR. At-Tirmidzi, hadits ini dinyatakan lemah oleh sebahagian ahli hadits, namun masyhur di kalangan ahli hukum dikarenakan mengandung semangat nalar dengan dukungan dalil-dalil penguat lain). (Lihat Syaikh Muhammad Ali As-Sayis, Fiqih Ijtihad, 1997: hlm. 24).

3) Dalam buku: Apakah Ahmadiyah itu? (Hz. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad), hlm. 16 disebutkan: “Dalam mimpi pun saya melihat bahwa saya beradu gulat dengan setan, dan dengan pertolongan Allah Ta’aala serta berkat kalimat Ta’udz saya pun dapat mengalahkannya …”.

Tanggapannya:
Tidak ada mimpi yang dapat dijadikan hujjah agama, kecuali mimpi yang dibenarkan Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam (seperti halnya mimpi shahabat Umar bin Khathab radhiyallaahu ‘anh terkait lafazh adzan dengan kesaksian mimpi yang sama dari shahabat lainnya). Imam Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh tentang di zaman Bani Israil ada orang-orang yang diberikan ilham (mulhamuuna wa muhaddatsuuna). Nabi menegaskan: “fa in yakun minhum min ummatie fa ‘umaru; Jika ada di antara mereka pada ummatku, dialah ‘Umar”. (Lihat Syaikh Nashir ‘Abdul Kariem al-‘Aql, Mujmal Ushuul Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah Fiel ‘Aqiedah, 1412: hlm. 8 dan Terj. Rumusan Praktis Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, 1992: hlm. 19)

4) Dalam buku: Bahtera Nuh (Mirza Ghulam Ahmad), Jemaat Ahmadiyah Indonesia, tahun 1997, hlm. I disebutkan: “Sebagai Nabi, Nuh a.s. diperintahkan untuk membangun bahtera, demikian pula Hazrat Mirza Imam Mahdi a.s. diperintahkan Allah Ta’aala untuk membangun bahtera …”.

Tanggapannya:
Istilah “Safienatu Nuh; Bahtera Nuh” selain perahu nabi Nuh yang sebenarnya, dalam pandangan para salaful ummah memiliki makna muttaba’atu Rasuulillaah, yaitu beribadah dengan mengikuti Rasuulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana penuturan Imam Az-Zuhri dan Imam Malik rahimahullaah ‘anhumaa: “Al-i’tishaamu bis sunnati najaatun kasafienati nuuh, faman rakiba faqad najaa wa man ba’uda aghraqa; Berpegang pada sunnah itu kunci keselamatan seperti halnya bahtera nabi Nuh, siapa yang menaikinya ia akan selamat, dan siapa yang menjauh ia akan tenggelam” (Ibnu Taimiyyah, Kitab Al-‘Ubudiyyah, hlm. 39).

5) Dalam Sinar Islam (Hz. Masih Mau’uud a.s.), Nubuwwah 1364/ Nopember 1985 disebutkan: Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanKu RasulNya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin Ahmadiyah. “Tuhan Maha Kuasa telah membuatku manifestasi dari semua nabi dan memberiku nama; Aku Adam, Aku Seth, Aku Nuh, Aku Ibrahim, Aku Ishaq, Aku Ismail, Aku Ya’kub, Aku Yusuf, Aku Musa, Aku Daud, Aku Isa dan Aku penjelmaaan sempurna dari Nabi Muhammad SAW.,
yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi” (Haqiqatul Wahyi, hlm. 72).

Tanggapannya:
Memang benar, Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam memiliki nama “Ahmad” sebagaimana diisyaratkan kitab Taurat dan Injil yang diberitakan kembali dalam QS. As-Shaf/61:6. Mufassir Ibnu Katsier memberikan penjelasan dengan hadits riwayat Imam Malik, Bukhari, Muslim, Ad-Daarimi, At-Tirmidzi dan An-Nasaa’i dari shahabat Jubeir bin Muth’im radhiyallaahu ‘anh sebagai berikut: “Sesungguhnya aku memiliki beberapa nama; aku adalah Muhammad, aku juga Ahmad, aku adalah Al-Mahi (yang Alloh menghapus dengannya kekufuran), aku pun Al-Haasyir (yang Alloh kumpulkan manusia di sekitarku) dan aku juga Al-‘Aqib (yang Alloh berikan anugerah kepada manusia karena perantaraku) yang tidak ada Nabi setelahnya …” (Lihat Imam Abul Fida’ Ibnu Katsier ad-Dimasqy, Tafsierul Qur’aanil ‘Azhiem, 2001: 4, hlm. 2839).

Kalaupun Al-Qur’an menyebutnya dengan sebutan “Ahmad” (artinya lebih terpuji), Imam Al-Ashbahani memberikan komentar: “dikarenakan Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam melihat nabiyullah Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam lebih terpuji dari dirinya.” (Al-Ashbahani, hlm. 130 dalam petikan Makalah Rifyal Ka’bah, Muhammad SAW dalam Al-Qur’an, tp. tahun: hlm. 7).

6) Dalam buku putih “Kami Orang Islam”, Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, tahun 1983 disebutkan: “Menolak atau mengingkari seorang Nabi berarti menolak atau mengingkari semua Nabi (dengan memetik QS. An-Nisaa/4: 150-151)”.

Tanggapannya:
Mengimani para Nabi dan Rasul, bagian dari rukun Iman (arkaanul imaan) atau pokok-pokok keimanan (ushuulul imaan). Alloh subhaanahu wa ta’aala menuturkan firmanNya: “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu …” (QS. Ghaafir/40:78).

Allah yang menjadikan para Rasul; Di satu sisi melebihkan antara Rasul yang satu dengan lainnya (fadhdhalnaa ba’dhahum ‘alaa ba’dhin) (Lihat QS. 2: 253), namun di sisi lain orang-orang yang beriman (yang Allah turunkan para Rasul kepada mereka) tidak membedakan antara Rasul yang satu dengan yang lainnya (laa nufarriqu baina ahadin min rusulih) karena keimanannya. (Lihat QS. 2: 285).

Sementara orang-orang yang kufur, justeru mereka membedakan antara Allah dan rasulNya. (Lihat QS. An-Nisaa/4:150).

Bahkan dijelaskan Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin dalam kitabnya Syarh Ushuulil Imaan (2003), di antara para Nabi itu ada yang dilebihkan peran dakwahnya dan diketahui, yaitu ulul ‘azmi ( nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa ‘alaihimus salaam dan nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam) sebagaimana dijelaskan QS. Al-Ahzaab/33: 7 dan As-Syura/42: 13.

Ayat-ayat tersebut menginformasikan, bahwa semua para Nabi itu wajib diyakini adanya. Yang diceritakan Alloh, itulah yang diketahui (mu’ayyan). Adapun yang tidak diceritakan Alloh, para ulama ahlus sunnah wal jama’ah berkeyakinan wajib mengimaninya secara global (mujmal). Lebih dari itu, tidak ada lagi Nabi setelah Nabi akhir zaman Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam (QS. Al-Ahzaab/33: 40).

Karena itu, masih menurut Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin dalam karyanya yang lain menegaskan: “Siapa yang mengaku sebagai seorang Nabi atau mempercayai orang yang mengaku Nabi, maka dia telah kufur dikarenakan mendustakan Alloh, rasulNya, serta ijma’ kaum muslimin. Sedangkan adanya khalifah pasca wafatnya Nabi sebagai penerus keilmuan dan dakwah, kita mengimaninya, demikian pula mengimani akan munculnya penegak al-haq di tengah-tengah ummat sampai datangnya kiamat”. ( Lihat ‘Aqiedah Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah, 1995: hlm. 61- 62)

7) Dalam catatan: Memperbaiki Kesalahan (Mirza Ghulam Ahmad), Jemaat Ahmadiyah Indonesia Cabang Bandung, tahun 1993 disebutkan bahwa QS. As-Shaf/61:9 yang menuturkan: “Dia-lah Allah yang telah mengutus RasulNya dengan petunjuk dan agama yang benar, guna memenangkan agama Islam di atas agama-agama lainnya …”

Menurut mereka, berdasarkan perkataan Mirza Ghulam Ahmad: “Di dalam wahyu ini nyata benar, bahwa aku dipanggil dengan nama Rasul” (hlm. 4).

Tanggapannya:
Di antara misi besar Alloh subhaanahu wa ta’aala mengutus Nabi akhir zaman dengan petunjukNya adalah untuk memenangkan agama yang benar (dienul haq) di atas yang lainnya. Hal ini diisyaratkan sebelumnya dalam Taurat dan Injiel bahwa Nabi akhir zaman yang dimaksud adalah Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana telah ditegaskan karakteristiknya dalam QS. Al-Fath/48: 29 dan hadits rasulNya yang mulia, bahwa yang dimaksud “Ahmad” itu adalah dirinya “Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam”.

Semoga Rabbul ‘Aalamien senantiasa menjaga kesucian Nabi akhir zaman dan keselamatan ajaran nabiNya. Wallaahul musta’aan
_______

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!