DARI PANGGUNG HAFLAH DAN MIMBAR SEMINAR KEBANGSAAN
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Edukasi tentang pemahaman politik Islam (siyasah syar’iyyah) dan wawasan kebangsaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Mencermati dan merasakan kenyataan yang ada, merupakan kurikulum kehidupan yang sudah menjadi taqdir sejarah yang tidak bisa dihindari.
Hal ini pula, para pelajar Islam di sekolah-sekolah, santriwan-santriwati di pondok-pondok pesantren dan majelis ilmu di masjid-masjid masyarakat dan lingkungan kampus tidak dapat memandang lagi dengan sebelah mata, di mana memahami itu semua merupakan bagian yang tidak bisa dianggap kecil dalam upaya pencerdasan ummat.
Memanpaatkan momentum Haflah Imtihan dan Shilaturrahim Syawwal 1439 H., tepatnya hari jum’at, 22 Juni 2018 diselenggarakan Seminar Kebangsaan seiring dengan semangat disyahkannya “Piagam Jakarta” (Djakarta Charter) oleh panitia sembilan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 22 Juni 1945 sebagai wujud konsensus pihak Islam dan Nasionalis yang menjadi fondasi sebagai preambul (rancangan pembukaan) Undang-Undang Dasar 1945, sekalipun akhirnya melalui Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPUPKI) tertanggal 18 Agustus 1945 mengalami perubahan teksnya.
Dalam kesempatan yang penuh kenangan sejarah ini, di samping pihak pesantren yang diwakili penulis sendiri menyajikan paparan tarbiyah siyasiyah-nya dengan materi: “Mendudukkan Demokrasi; Antara Fiqih Dalil dan Fiqih Realita” , panitia juga menghadirkan pemateri tamu, Haeruddin, S.Ag., MH. (Anggota DPR-RI Komisi IX) yang membawakan materi: “Maqaashidus Syarie’ah Sebagai Landasan Politik Islam”.
Setelah memaparkan realita politik tanah air dengan model demokrasi dari masa ke masa (mulai dari revolusi kemerdekaan tahun 1945 – 1950, demokrasi parlementer tahun 1950 – 1959, demokrasi terpimpin tahun 1959 – 1965, demokrasi Pancasila tahun 1965 – 1998, hingga demokrasi yang masyhur disebut demokrasi transisi) sebagai kenyataan sejarah yang harus dipahami dengan segala plus minus serta mashlahat dan madharatnya, seyogyanya dapat meminimalisir gelombang sebahagian kaum Muslimin yang “kurang bersemangat” dalam menunaikan hak suaranya.
Sementara pemateri kedua menegaskan, bahwa inti politik Islam adalah kemashlatan manusia (mashlahatul anaam) sebagaimana dijelaskan para ulama terkemuka semisal Al-Ghazaly, Ibnu Taimiyyah dan As-Syathiby. Menurutnya, dengan mencermati maksud dan tujuan hukum Islam (maqaashidus syarie’ah) yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta, maka dalam Islam “urusan bernegara tidak dapat dipisahkan dari urusan agama” terlepas bentuk negaranya republik atau kerajaan. Tandasnya, dengan mengutip pakar hukum Islam Prof. TM. Hasbi As-Shiddiqy.
Dengan panggung haflah dan seminar kebangsaan ini, semoga dapat memberikan sumbangan pencerahan kepada para pemula, khususnya para pelajar, mahasiswa dan pemuda untuk lebih adil dalam menilai dan bijak dalam bersikap serta penuh rasa tanggung jawab dalam memilih pemimpin dan para wakil ummat yang terbaik dengan niat ibadah dan demi ‘izzul Islaam wal Muslimien. Allaahumma man waliya min amri ummatie syai’an farafaqa bihim farfuq bihi … wa man waliya min amri ummatie syai’an fasyaqqa ‘alaihim fasyfuq ‘alaih … Aamiin.
______
✍ Penulis adalah: Pimpinan Pesantren Persatuan Islam 81 Cibatu Garut dan Pengasuh Kajian madrasahabi-umi.com
Subhaanallah ustadz..memang benar ada pembelokan sejarah dari kalangan non muslim agar ummat Islam termarjinalkan