MEMELIHARA FITHRAH; AMANAH ASASI PENDIDIKAN ISLAM
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Di antara sekian nikmat yang Rabbul ‘Aalamien anugerahkan kepada manusia adalah nikmat diberikannya fithrah, dan nikmat paling besar yang dianugerahkanNya adalah nikmat beragama. Walau selain manusia mendapatkan fithrahNya, namun yang diterima manusia jauh lebih besar dari makhluk lainnya, terutama fithrah beragama (fithrah dieniyyah) yang telah menjadi amanah paling agung. Para ulama menyebutnya “amanah agung” atau “amanah agama” (al-amaanah al-uzhmaa, al-amaanah as-syar’iyyah).
Fithrah menurut kitab-kitab kamus (ma’ajim) beragam maknanya; bersih, suci, asal kejadian, awal penciptaan, tabiat asli dan lain-lain. Semua itu benar, mengingat kata “fithrah” di dalam al-Qur’an tidak kurang dari 20 kata dengan segala varian yang beragam maknanya.
Terkait dengan manusia, Allah ‘azza wa jalla ungkapkan dalam firmannya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama [Allah]; Tetaplah atas fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah, itulah agama yang lurus. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [QS. Ar-Ruum/ 30:30].
Para mufassir memberikan paparannya dengan membawakan hadits Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya: “Setiap yang dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka tergantung siapa yang membawanya [abawaahu]; apakah jadi Yahudi, Nashrani atau Majusi” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Dalam memaknai kata “fithrah”, memiliki beberapa pendekatan yang satu sama lain berkaitan:
1) Pendekatan ‘aqiedah; fithrah berarti al-Islaam atau at-tauhied [ad-dienul qayyim, ad-dienul khaalish] sebagaimana pandangan Imam Al-Bukhari dan para ulama umumnya. Bahkan Syaikh ‘Ali Hassan memaparkan, bahwa “fithrah” merupakan sumber kebenaran di samping “wahyu” dan akal yang selamat [al-‘aqlus saliem]. Demikian dituturkan dalam kitabnya Mashaadirul Istidlaal ‘alaa Masaailil I’tiqaad.
2) Pendekatan syari’ah [fiqih]; fithrah berarti bersih [thaharah], yang menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Tuhfatul Waduud bi Ahkaamil Mauluud, memiliki dua pengertian; fithrah yang terkait kebeningan hati dan kesucian jiwa, juga fithrah yang terkait dengan amalan yang mengharuskan bersihnya badan dari kotoran dan najis. Karenanya ada hadits yang menyebutkan “10 kebersihan dalam Islam [‘asyaratun minal fithrah]” dan “lima kebersihan dalam Islam; khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, membersihkan bulu ketiak dan merapihkan kumis [khamsatun minal fithrah]”.
Fithrah yang satu ini, mengundang kekaguman para ilmuwan abad ini dengan sederet pertanyaannya; Mengapa Islam mengajarkan khitan bagi kaum Adam dan khifadh bagi kaum Hawa, mengapa Islam mengatur adab-adab pasangan dalam keadaan haidh (tidak boleh digauli), mengapa wanita nifas harus menunggu 40 hari, mengapa orang yang bercerai bila akan menikah kembali harus menunggu ‘iddah tiga kali bersuci (tsalaatsatu quruuin), mengapa pasangan yang meninggal ‘iddah-nya harus empat bulan 10 hari dan lain-lain. Semuanya berujung pada jawaban, bahwa Islam agama fithrah yang mengajarkan “kebersihan” sejati, yaitu kebersihan lahir batin.
3) Pendekatan ilmu jiwa, yang berarti potensi jiwa manusia (at-thaaqah al-insaaniyyah) yang dimiliki sebagai makhluk yang punya nafsu dan syahwat [homo animale], memiliki akal pikiran [homo rationale] dan memiliki hati untuk merasa [homo somatica].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebut fithrah yang terkait dengan ketentuan yang Allah turunkan dalam hal aqidah dan syari’ah dengan sebutan “fithrah munazzalah”, adapun yang terkait dengan potensi yang dimiliki manusia sejak lahir, disebut “fithrah ghariezah” [sebagian ulama menyebutnya “fithrah mukhallaqah”].
Sedangkan kata “abawaahu” tidak selamanya dimaknai orang tua secara biologis (waalidain) atau orang tua ideologis (abawain) [guru di sekolah, orang yang dituakan, tokoh masyarakat, bintang idola dan lain-lain] sebagaimana dipopulerkan Allaahu yarhamh Dr. Mohammad Natsir sebagai tokoh pendidikan integral, melainkan memiliki makna lain termasuk para ahli pendidikan semisal Prof. Dr. Ahmad Tafsier memasukkan “lingkungan yang mempengaruhi perkembangan hidup manusia” ada di dalamnya. Makna terakhir ini, para ahli menyebutnya dengan teori behaviour.
Dalam Islam, hubungan keduanya [munazzalah dan mukhallaqah/ ghariezah] sama-sama memiliki kedudukan penting; yang pertama sudah menjadi ketentuan Allah bahwa hakikat manusia ada dalam agamaNya yang fithrah, yang kedua sudah menjadi kewajiban manusia mengerahkan segala potensinya untuk menjaga dan mengawal agar tidak keluar dari fithrah yang diajarkan agamaNya. Maka pola pendidikannya disebut pendidikan moral, etika beragama (tarbiyah dieniyyah tahdziebiyyah, tarbiyah khuluqiyyah) bukan pemeliharaan fisik semata (tarbiyah khalqiyyah) sebagaimana dijelaskan Musthafa Al-Maraghi.
Benar apa yang dikatakan seorang filosuf etika Prancis Henry Louis Bergson [1859 – 1941], akhirnya dirinya harus mengakui: “Seni dan budaya bisa hilang dari perjalanan hidup manusia, namun meyakini agama tidak akan pernah hilang dari jiwa manusia”. Maksudnya adalah, jiwa seni (estetika) dan berbudaya yang ada dalam diri seseorang (seperti mencintai keindahan, bersolek, berkreasi, berinovasi dan lain-lain) seiring perjalanan usia manusia akan lenyap ditelan masa. Sementara agama yang tertancap dalam jiwa dan terpatri dalam sanubari insani akan kekal abadi sepanjang zaman.
Yang tidak akan pernah sirna itu, dalam Islam adalah fithrah beragama yang Allah ‘azza wa jalla telah tetapkan untuk seluruh ummat manusia (Bani Adam) tanpa terkecuali, di mana tidak ada seorang pun manusia yang lahir ke muka bumi yang tidak mengakui adanya Tuhan Yang Maha Mencipta. (Lihat QS. Al-A’raaf/7: 172). Terkait dengan dunia pendidikan Islam, maka orang tua, guru, sekolah dan lingkungannya memiliki peran strategis dalam proses ngabeureum ngahideungkeun (menghitam putihkan) sebuah perubahan menuju masyarakat berperadaban (madani, tamadun atau hadhari) yang berpayungkan fithrah tauhied. Semoga nilai-nilai fithrah yang telah Allah tetapkan, semua kita dapat memelihara dan menjaganya. Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamien _______
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri dan Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah, Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta dan Pengasuh Kajian madrasahabi-umi.com