Minggu, April 28MAU INSTITUTE
Shadow

BUDAYA LITERASI DALAM MEMBANGUN SARJANA PENDIDIKAN DAN DAKWAH YANG MANDIRI DAN BERKUALITAS

BUDAYA LITERASI DALAM MEMBANGUN SARJANA PENDIDIKAN DAN DAKWAH YANG MANDIRI DAN BERKUALITAS
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

A. Muqaddimah

Di antara keagungan Islam, adalah adanya warisan yang ditinggalkannya; baik berupa peninggalan fisik yang menunjukkan adanya peradaban (hadhaarah) atau pun warisan yang bersifat kebudayaan (tsaqaafah) yang lebih menampilkan tingkah laku dan tradisi. Di sisi lain ada warisan agung berupa peninggalan intelektual yang lebih memperlihatkan adanya sejumlah karya para ilmuwan (turaats). Warisan agung dalam makna kitab suci atau firman Tuhan berupa Al-Qur’aanul Kariem atau pun sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam berupa kumpulan As-sunnah an-Nabawyyah, merupakan warisan pokok yang menjadi pedoman utama dalam kehidupan yang tidak ada bandingannya. Karenanya para ahli menyebutnya dengan warisan suci (turaats muqaddas).

Adapun yang menjadi pembahasan dalam orasi ilmiah untuk mengantarkan para wisudawan dan wisudawati Sekolah Tinggi Agama Islam Publisistik Thawalib Jakarta ini adalah bagaimana menghidupkan budaya pengkajiannya terhadap kedua sumber pokok yang sudah disebutkan. Tradisi ilmiah semacam ini, para ahli menyebutnya dengan budaya literasi sebagaimana yang telah ditempuh para cerdik pandai (Al-‘Allaamah, Al-‘Ulamaa) dalam bentangan karya-karyanya yang menyebar di seantero jagat ini, sehingga bumi ini penuh dengan mozaik khazanah intelektual. Karya-karya semacam ini, para ahli menyebutnya dengan warisan intelektual. Untuk membedakan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang suci, mereka menyebutnya turaats ghair muqaddas, yaitu warisan intelektual yang tidak suci, yang masih memungkinkan adanya perdebatan ilmiah.

B. Apakah Budaya Literasi itu?

Secara umum, budaya literasi adalah budaya tulis baca dengan segala aktivitasnya yang dilakukan generasi belakangan dalam mengkaji apa yang ditinggalkan oleh para pendahulu; baik dalam masalah agama, pemikiran, akhlaq, perundang-undangan, adab, kesenian dan lain-lainnya. Demikian Prof. Dr. Bakr Zaki ‘Iwad menjelaskan dalam At-Turaats al-Islaamy Bainat Taqdier wat Taqdies (2005).

Para ahli qamus semisal Ahmad bin muhammad Al-Fayumy dalam Mishbaahul Munier (2003) dan Muhammad bin Abu Bakr ar-Raazi dalam Mukhtaarus Shihaah (2003) memaparkan bahwa turaats diambil dari kata:

ورث – يرث – وراثة – تراثا – إرثا

Huruf “ta” dari turaats adalah pengganti huruf “wawu”, artinya adalah harta warisan, atau harta peninggalan orang tua yang telah meninggal. Hal ini dikuatkan oleh QS. Al-Fajr/ 89: 19 sebagai berikut:

ويإكلون التراث أكلا لما

“Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara membaurkan (yang halal dengan yang bathil)”

Dalam pemahaman Barat, literasi adalah hasil sebuah peradaban ummat masa lampau yang perlu ditinjau ulang menurut barometer keilmuan kontemporer. Maka menurut mereka, termasuk di dalamnya peradaban Yunani, Fir’aun, India dan Persia masuk di dalamnya. (Dr. Ahmad Zain An-Najah, Mengenal Turats Islam, Menara Da’wah, 2008: hlm. 03)

Dalam konteks Islam, ada banyak pendapat di kalangan ahli ilmu, dalam mendefinisikan literasi Islam, minimalnya ada tiga definisi, yaitu:

Pertama; Literasi Islam adalah apa yang dihasilkan oleh aqal seorang Muslim dalam rangka menerangkan atau membela ajaran-ajaran Islam. Pendapat ini dipilih oleh Dr. Muhammad Al-Bahy rahimahullaah.
Kedua; Literasi Islam adalah apa yang dihasilkan oleh aqal manusia, baik seorang Muslim atau pun Non Muslim, asalkan sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ketiga; Literasi Islam adalah apa yang dihasilkan olel aqal seorang muslim sepanjang sejarah Islam, baik yang berhubungan dengan ilmu agama atau bukan, baik yang sesuai dengan kebenaran atau tidak. Pendapat ini dipilih Prof. Dr. Bakr Zaki ‘Iwad.

Apabila dicermati, tiga pandangan ini mengandung beberapa konsekuensi yang berbeda satu sama lain, yaitu:

1. Pendapat pertama terlalu sempit dan akan membuang banyak hasil karya para penulis Muslim yang hanya menorehkan buah karyanya itu sekedar menuliskan karya penulis lainnya dalam disiplin ilmu-ilmu tertentu; kedokteran, fisika, biologi, matematika, farmasi, ilmu bangunan dan lain-lain.
2. Pendapat kedua terlalu melebar, sehingga memungkinkan karya-kaya Orientalis dan penulis Non muslim masuk bagian turats Islamy. Hal ini tentunya kurang tepat.
3. Pendapat ketiga, merupakan pendapat pertengahan yang memasukkan seluruh karya Muslim yang tidak membatasinya dengan ilmu-ilmu agama semata. (An-Najah, Mengenal, 2008: hlm. 06)

C. Sarjana Muslim dan Budaya Literasi

Tidak ada alasan untuk menjauhkan budaya literasi dari kehidupan sarjana Muslim, kaitan keduanya laksana kolam dengan ikannya. Ikan akan mati sia-sia apabila kolam tidak dirawatnya dengan baik. Demikian pula dalam kehidupan pembelajaran; Malasnya para sarjana dalam menghidupkan membaca, menulis, berdiskusi, menganalisa dan aktivitas lainnya dapat menyebabkan kemalasan berfikir yang dapat menjadikan miskinnya gagasan, bahkan matinya gagasan. Apabila iklim seperti ini tidak segera dipulihkan, maka yang terjadi adalah lahirnya sarjana-sarjana yang kehilangan jiwa kemandiriannya; sepi kreatifitasnya, mati inovasinya dan instan cara berfikirnya.

Para salaf terdahulu, sangat menitikberatkan agar menjadi kaum pembelajar:

اغد عالما او متعلما او مستمعا او محبا ولا تكن الخامسة فتهلك

“Jadilah engkau seorang yang mampu mengajar, atau yang belajar, (kalau tidak mampu) jadilah yang mau mendengarkan atau simpati (minimalnya) dan janganlah mau menjadi yang kelimanya, maka engkau akan binasa.”(HR. Al-Bazzar dan At-Thabarani dari shahabat ‘Abdurrahman bin Abi Bakrah radhiyallaahu ‘anh)

Artinya, nasihat ini merupakan dorongan kuat bahwa budaya literasi merupakan “harga mati” dalam kehidupan para sarjana Muslim. Meminjam istilah lain, “Berliterasilah seindah mungkin, hingga kau dapati kenikmatan ilmu tiada akhir.”

Sebagai sarjana Muslim, pastinya harus memiliki perubahan dalam pola pikir, sikap, tanggung jawab, dan kedewasaan. Semua itu perlu dikembangkan secara optimal guna mewujudkan apa yang disebut Tri Dharma Perguruan Tinggi yang meliputi di dalamnya; pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, juga pengabdian kepada masyarakat.

Kedewasaan dalam bersikap dan berfikir pun dibutuhkan untuk menghadapi ragam tugas dan tantangan yang tentu jauh lebih berat. Menjadi mahasiswa yang digadang-gadang sebagai agent of change dan kaum intelektual dipercaya oleh masyarakat untuk melakukan perubahan tatanan kehidupan ke arah yang jauh lebih baik dan beradab. Semua itu memerlukan banyak modal dan persiapan matang untuk menjadi insan yang memiliki kredibilitas tinggi. Hal demikian ini hanya dapat dicapai dengan membudayakan literasi dalam setiap napas kehidupannya.

Pohon dapat tumbuh subur jika diberi pupuk yang cukup sebagai asupan nutrisi terbaik. Pemberian pupuk yang cukup dan rutin mampu menjaga kekuatan pohon hingga ke akarnya. Kekokohan akar pohon dapat mencegah tumbangnya pohon yang diterpa angin. Begitu pula yang terjadi hubungan antara mahasiswa dan dunia literasi. Literasi menjadi suplemen utama bagi para mahasiswa untuk mengembangkan daya nalar, pola pikir, dan kekritisannya. Literasi yang terus dibudayakan mampu membuat produktivitas meningkat. Selain itu, budaya literasi yang telah mendarah daging dapat dijadikan pijakan kuat hingga terhindar dari seleksi kehidupan yang semakin tidak menentu.

Seorang tokoh, Milan Kundera (seorang Novelis asal Ceko), berkata, “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah”. Ini menunjukkan bahwa buku (sebagai unsur literasi) memegang peranan penting dalam memajukan suatu bangsa. Melalui buku, masyarakat terlebih para sarjana akan mampu menerobos batas-batas kehidupan dunia. Selain itu, bahwa sebagai bagian dari masyarakat akademis, para mahasiswa mempunyai kewajiban membaca.

Untuk mengetahui seberapa rendah minat baca para mahasiswa dan sarjana kita, dapat dilihat dari tulisan berikut ini:

Lingkungan pendidikan tinggi merupakan tempat yang strategis untuk mengembangkan tradisi membaca. Pada kenyatannya, harapan tersebut belum bisa terwujud sebab minat baca di kalangan para mahasiswa masih rendah. Realita demikian didukung oleh data yang didapat oleh Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) pada tahun 2013. Data tersebut menunjukkan tingkat membaca masyarakat Indonesia berada pada posisi 41 dari 45 negara dari negara-negara bagian (www.srie.org). Ruang-ruang perpustakaan kampus yang sering kali sepi menjadi bukti bahwa para mahasiswa belum menjadikan buku sebagai bagian penting dalam hidupnya.

Padahal dalam Undang-undang No. 43 Tahun 2007 tentang Pepustakaan pasal 1, disebutkan bahwa perpustakaan sebagai institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan Keputusan Mendikbud Republik Indonesia No. 0696/U/1991 bab II Pasal 11 menetapkan persyaratan minimal koleksi PPT untuk program Diploma dan S1 adalah (1) memiliki satu judul pustaka untuk setiap Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK), (2) memiliki dua judul pustaka untuk tiap Mata Kuliah Keahlian (MKK), (3) melanggan sekurang-kurangnya satu judul jurnal ilmiah untuk setiap program studi (prodi), (4) jumlah pustaka sekurang-kurangnya 10% dari jumlah mahasiswa dengan memperhatikan komposisi subyek pustaka. (Lihat: Annisa Indriyani, Mahasiswa dan Dunia Literasi, UNJ Kita.com, Agustus 2016).

Data berikutnya, tahun 2012, UNICEF merilis data minat baca negara-negara di dunia. Indonesia dengan minat baca hanya 0,001% menunjukkan data yang memprihatinkan. Tahun 2016, studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca, tepat berada di atas Bostwana di urutan ke-61 dan di bawah Thailand yang menempati urutan ke-59. (Lihat: Quratul Ayun, Membangun Budaya Literasi; Sebuah Tugas Bersama Saat Ini, Kumparan.com, 16 April 2018)

D. Kebutuhan Literasi Sarjana Pendidikan dan Dakwah

Sebagaimana Al-Qur’anul Kariem, turunnya QS. Al-‘Alaq/ 96: 1 -5 mengisyaratkan betapa Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan peradaban. Allah ‘azza wa jalla senantiasa menjaga dan memelihara sumber pokok literaturnya, memuliakan siapa pun orang yang menyibukkan diri untuk mengkajinya, orang yang mendalaminya, orang yang menelitinya, orang yang mengamalkannya dan orang yang melakukan pembelaannya dari upaya-upaya yang menistanya.

Para pengawal pendidikan (rijaalut tarbiyah) dan para penyampai pesan Ilahiyah (rijaalud da’wah), adalah sebuah keniscayaan bahwa di tengah-tengah mengemban tugas mulia, di situ ada bekal yang wajib dimiliki. Di samping integritas moral, integritas dalam penguasaan terhadap literatur merupakan jawaban untuk meroketkan kualitas intelektual.

Apabila menoleh pada gugusan sejarah keemasan; baik periode awwal (mutaqaddimien), periode pertengahan (mutawassithien) dan periode kontemporer (mu’aashirien) telah mengantarkan tokoh-tokoh terbaik zamannya dalam menguasai berbagai disiplin keilmuan tanpa kehilangan spesifikasinya. Karenanya sangat wajar apabila Abu Hamid Al-Ghazaly menyandang gelar Hujjatul Islaam, Ibnu Taimiyyah Al-Harraany dipanggil Syaikhul Islaam, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dijuluki Bahrul ‘Uluum, para ulama Tafsier (Al-Qurthuby, At-Thabary, As-Suyuthy dan Ibnu Katsier) dikenal Ummahaatul Mufassiren. Demikian pula dengan para Imam madzhab ahli fiqih dengan panggilannya Fuqahaa, ahli hadits dengan berbagai tingkatannya; Al-Hujjah, Al-Haafizh, Al-Musnid, Al-Muhaddits, Amierul Mu’minien fiel Hadiets, Ashhaabus Sunan dan masih banyak penghargaan lainnya. (Lihat Ad-Dzahabi dalam Siyaru A’laamin Nubalaa dan Muhammad Musa As-Syarief, Nuzhatul Fudhalaa Tahdzieb Siyari A’laamin Nubalaa, Ummul Qura: 2008).

Selain mereka yang mendalami ilmu syar’i (al-‘uluum as-syar’i), masih berderet pula tokoh-tokoh ahli ilmu yang menguasai ilmu-ilmu dunia (al-‘uluum ad-dunyaa); mulai dari ahli matematika, ilmu falak, ilmu biologi, ilmu arsitektur dan lain-lain. Semua itu, membentuk suatu gugusan indah berupa “Peta bumi intelektual Islam.” (Lihat Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, Risalah Gusti: 2003 dan Eugene A. Myers, Zaman Keemasan Islam, Fajar Pustaka Baru: 2003).

Benar apa yang diungkapkan shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anh, beliau menuturkan: “Sesungguhnya kalian hidup di suatu zaman yang fuqahanya lebih banyak ketimbang khuthabanya, yang bisa memberi lebih banyak ketimbang yang memintanya … Dan akan datang pula pada kalian suatu zaman yang khuthabanya lebih banyak ketimbang fuqahanya, yang mampu memberinya lebih sedikit ketimbang yang memintanya. Seseorang yang disebut faqieh itu, adalah mereka yang selalu bertafaqquh dengan hatinya, bukan seorang khatib yang berbicara dengan lisannya.” (HR. At-Thabarany dalam Mujamul Kabier).

E. Menghidupkan Kembali Gerakan Literasi Thawaalib

Agar kita tidak termasuk orang yang kehilangan pelita, atau menjadi orang yang lupa bahwa kita pernah memiliki pelita, dalam suasana hajat ilmiah ini, idzinkan Al-Faqier untuk mengenang walau tidak sezaman, mata air para pendahulu perguruan ini yang tidak dapat dipisahkan dari semangat pembaharuan Harimau Nan Salapan (gerakan sembilan Tuanku di Minangkabau), juga semangat menghidupkan budaya literasi yang unggul di zamannya. Prof. H. Mahmud Yunus memaparkan, bagaimana derap perubahan pendidikan modern yang menjunjung tinggi pembaharuan mulai dirintis; Risalah Tauhied Syaikh Muhammad Abduh dikenalkan, kitab fiqih Bidaayatul Mujtahid diajarkan. (Lihat: Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara Sumber Widya, 1995: hlm. 76 -77 dan Buku Jajat Burhanudin dkk., Mencetak Muslim Modern, RajaGrafindo, 2006: hlm. 26 – 27).

Demikian pula, tampilnya putra-putra Thawalib pewaris yang di kemudian hari menjadi penggerak literasi, di mana karya-karyanya menghiasi perpustakaan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Di antaranya Tuan Mudo Abdul Hamid Hakim penulis kitab-kitab daras di pesantren-pesantren modern, juga H. Zainal Abidin Ahmad penulis berbakat dan berwawasan luas. (Lihat: H. Zainal Abidin Ahmad, Membangun dengan Iman, Ilmu dan Amal, Bulan Bintang: 1975 dan Buku Memperkembang dan Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia, Bulan Bintang: 1976)

Tidak terkecuali Prof. Buya Sidi Ibrahim penulis produktif yang kita kenal pernah menjadi Ketua STAI Publisistik Thawalib Jakarta.

F. Penutup

Terakhir, sebagai bahan muhaasabah, semoga apa yang telah dirintis selama ini dengan bentangan zaman yang cukup panjang tidak sia-sia dan diterima di sisi Allah ‘azza wa jalla. Apa yang telah ditorehkan oleh para perintis, mudah-mudahan kita diberikan kekuatan untuk bisa melanjutkannya. Pepatah Arab menasihatkan:

غرس السابقون فاكلنا …
افلا نغرس لياكل اللا حقون …

“Orang-orang terdahulu telah menanam (banyak kebaikan), lalu kita pun memetiknya hari ini … Apakah kita mampu menanam kebaikan hari ini, untuk bisa dipetik oleh generasi kemudian.”

Allaahumma faqqihnaa fied diin … Aamiin
__________________

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris Komisi Da’wah Khusus (KDK) MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta

Print Friendly, PDF & Email

5 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!