ASHAALAH, SIKAP GHULUW DAN WASATHIYYAH DALAM ISLAM
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
Puritanisme, sering dimaknai dengan gerakan yang melakukan pemurnian ajaran agama (ashaalah, purifikasi). Sebahagian lain menyebutnya dengan revivalisme, yaitu gerakan yang kembali kepada pemahaman generasi awwal secara komprehensif dan total (muhyi atsaris salaf, revivalisasi). Apabila ditambah dengan semangat pembaharuan (ishlaah, reformasi), maka itulah yang disebut sejatinya dengan tajdied.
Walau berbeda sejarah, namun ada kesamaan secara esensinya, pemikiran Barat pun mengalami pergolakan, di mana kalangan Protestan yang mempertahankan injil secara literal menolak berbagai penakwilan. Menurut Dr. Muhammad ‘Imarah dalam Al-Ushuuliyyah Bainal Gharbi wal Islaam, mereka menyebut diri sebagai “kaum fundamentalis”. Hal ini dikuatkan Dr. Rifyal Ka’bah dalam bukunya Islam dan Fundamentalisme yang menyebutkan, bahwa mereka menekankan kebenaran Bible bukan hanya dalam masalah kepercayaan dan moral saja, tetapi juga sebagai catatan sejarah tertulis dan kenabian.
Sikap berpegang pada pokok (asaas, ushuul, fundamentum) itulah yang menyebabkan mereka disebut “fundamentalisme”. Atau karena berpegang pada akar (radix, radicis, radicula, radiculae) itulah mereka disebut “radikalisme”. Kedua sikap ini terjadi pada seluruh agama dunia, karena itu tidak tepat jika ini hanya dilakukan untuk stigmatisasi kelompok tertentu. Meminjam bahasa Adian Husaini, Ph.D., “Akan sangat problematis; lebih banyak bernuansa politis ketimbang akademis”. Atas dasar inilah para ulama lebih mempopulerkan istilah Islamis (Islaamiy) ketimbang fundamentalis atau radikalis (ushuuliy).
Adapun sikap keras (tasyaddud), membabi buta (tanaththu’), berlebihan (tatharruf, tafrith), melampaui batas (i’tidaa) dan memaksakan kehendak (takalluf), Semua itu, menurut Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh ‘Abdurrahman al-Luwaihiq merupakan sikap ghuluw yang bisa melahirkan sikap-sikap turunannya; pengharaman yang halal, pengakuan zuhud yang meremehkan dunia, pengharusan ijtihaad tanpa piranti ilmu, pengkafiran sesama Muslim, pensucian kelompok dan pemimpinnya, serta lain-lain. Dan itu semua merupakan tanda-tanda “ekstrimisme” bukan tanda-tanda “puritanisme”.
Di samping Al-Qur’an mencela sikap berlebihan dalam memahami agama (QS. Al-Maidah/ 5: 77, An-Nisa/ 4: 171, Al- Baqarah/ 2: 190 dan Shad/ 38: 86), Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam pun menasihatkan dalam sabdanya: “Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap melampaui batas dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan ummat sebelum kalian adalah sikap seperti itu.” (HR. An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu anh).
Bagaimana dengan Wasathiyyah dalam Islam?
Wasath, artinya tengah-tengah, i’tidaal/adil, atau tawaazun/seimbang. Dari segi zaman, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada pada posisi tengah antara Nabi-nabi terdahulu dan ummat setelahnya.
Al-Qur’an dan As-Sunnah mengajarkan keseimbangan kebaikan dunia dan akhirat sebagai inti keselamatan dan kebahagiaan dalam Islam (sa’aadatud daarain). Maka sudah seharusnya keteladanan hidup diambil secara seimbang: antara sikap bijak mengambil kebaikan masa lalu, namun tidak menghilangkan semangat masa depan. Artinya, bagaimana kita menimba keelokkan generasi masa lalu yang shalih (as-salafus shaalih) untuk dijalankan dalam kehidupan kekinian yang dihiasi dengan keshalihan, sehingga lahirnya manusia-manusia zaman kini yang shalih pula (al-khalafus shaalih).
Karenanya, Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrahman as-Sudais menuturkan, di antara makna wasathiyyah adalah “Seimbang dalam mengambil hikmah kebaikan antara generasi salaf dan generasi khalaf sekaligus.” Demikian dituturkan dalam risalahnya Al-Wasathiyyah; Ahammiyyatan wa Manhajiyyatan.
Ini sejalan dengan pandangan para ulama al-fudhala sebelumnya, seperti halnya Imam Ibnu Qayyim yang menuturkan: “Tidaklah suatu urusan yang dihadapi, melainkan padanya ada godaan dari syaithan yang melahirkan dua tarikan; baik menarik-narik pada sesuatu yang lebih keras atau menarik-narik pada sesuatu yang lebih lembut. Yang terbaik adalah tengah-tengah di antara keduanya.”
Maka qaidah bermanhaj pada hari ini, dapat kita ringkaskan sebagai berikut, yakni: “Kembali kepada manhaj generasi terdahulu/ salaf, tidak berarti harus rigid/ kaku. Sedangkan berpegang pada manhaj kontemporer/ khalaf tidak berarti harus bebas.” Dalam kata lain adalah: “Untuk menjadi puritan dan fundamental tidak harus ekstrim, karena puritanisme bukan ekstrimisme.” Sebagaimana halnya “Bolehnya toleran/tasaamuh, tidak berarti harus liberal dan mengumbar kebebasan.”
Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam) ummat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu …” (QS. Al-Baqarah/ 2: 143).
Semoga Allah ‘azza wa jalla menjadikan kita termasuk ummat yang adil itu. Wallaahu a’lam bis shawwaab.
________________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta