MENCARI ULAMA’ PEWARIS NABI
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.
“Seluruh manusia laksana orang-orang mabuk, kecuali orang-orang yang berilmu (ulama’). Dan orang-orang berilmu pun laksana orang-orang bingung, kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya.”
Itulah salah satu untaian hikmah yang dialunkan Sahl bin Abdillah at-Tusturi, seakan mengingatkan kita hari ini atau para penuntut ilmu hari ini agar lebih mawas diri dan kembali menimbang-nimbang sejauhmana ilmu yang sudah diperoleh dapat mewujudkan amal perbuatan, karena pertautan ilmu dan amal merupakan satu ikatan yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, apakah ilmu yang didapat sudah sesuai dengan amal?. Tentu saja, jawabannya bukanlah harus dijawab dengan “sudah” atau “belum”, melainkan untuk direnungkan dan akhirnya dapat menggerakkan amal nyata. (Lihat: Al-Khaatib al-Baghdaady dalam bukunya Iqtidhaaul ‘Ilmil ‘Amala: 1423).
Adapun yang dapat menggerakkan amal, adalah keilmuan seseorang dalam memahami Dzat pemberi ilmu itu sendiri, sehingga melahirkan khasyyah, yaitu rasa takut yang sangat dalam kepada Allah ‘azza wa jallaa. Semakin orang itu berilmu, semakin bertambah pula rasa takut kepadaNya.
Karenanya, para shahabat dan para taabi’in ridhwaanullaah ‘alaihim ajma’ien, dengan menyandarkan kepada QS. Faathir/ 35: 28 yang berbunyi:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Bahwasanya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepadaNya itu, adalah orang-orang yang berilmu (ulama’).”
Mereka memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anh menyatakan, bahwa yang disebut orang ‘Aalim adalah orang yang mengetahui sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla Maha Kuasa atas segala sesuatu, dia tidak berbuat syirik, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, memelihara washiyatNya dan meyakini sesungguhnya semua amal perbuatannya akan dipertanggung jawabkan.
2. Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anh mengatakan, bukanlah orang ‘Aalim itu yang banyak periwayatan haditsnya saja, melainkan orang yang lebih banyak takutnya kepada Allah ‘azza wa jalla.
3. Hassan al-Bashri rahimahullaah menyebutkan bahwa orang ‘Aalim itu adalah orang yang takut pada yang Maha Rahmaan dengan perkara ghaibNya, dia cinta terhadap yang Allah ‘azza wa jalla cinta dan dia pun benci terhadap apa yang Allah ‘azza wa jalla benci.
4. Imam Malik rahimahullaah menuturkan, bukanlah orang ‘Aalim itu ahlur riwaayah semata, melainkan orang yang tertanam cahaya Allah ‘azza wa jalla di hatinya. Ahmad bin Sholeh al-Mishri menambahkan, bahwa takutnya seseorang kepada Allah ‘azza wa jalla tidak dapat diketahui dari banyaknya riwayat yang disampaikan, melainkan sejauhmana orang tersebut dapat menunaikan kewajibannya dengan mengikuti kitaabullah dan sunnah rasulNya serta mampu napak tilas perjalanan para shahabat ridhwaanullaah ‘alaimim ajma’ien dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para imam kaum muslimin.
5. Sofyan as-Tsauri rahimahullaah, meriwayatkan dari Abi Hayyan at-Taimi, dari seorang yang mengatakan bahwa orang-orang berilmu (yakni para ulama’) terdiri dari tiga golongan:
Pertama, ulama’ yang mengetahui siapa Allah dan mengetahui perintahNya.
Kedua, ulama’ yang mengetahui siapa Allah, namun tidak mengetahui perintahNya.
Ketiga, ulama’ yang mengetahui perintah Allah, namun tidak mengetahui siapa Allah.
Menurutnya, golongan pertama adalah golongan yang takut pada Allah ‘azza wa jalla dan mengetahui aturan-aturan, serta kewajiban-kewajibanNya. Golongan yang kedua adalah golongan yang takut pada Allah ‘azza wa jalla, namun tidak mengetahui aturan-aturan dan kewajibanNya. Dan golongan yang ketiga adalah golongan yang mengetahui aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban Allah ‘azza wa jalla, namun tidak memiliki rasa takut kepadaNya.
Dengan demikian, Al-Haafizh Ibnu Katsîr menerangkan semuanya dengan menyimpulkan bahwa hanya para ulama’ yang mengetahui Allah secara sempurna dengan segala sifat dan nama-namaNya yang baik (al-asmaa’ul husnaa) itulah yang paling besar dan paling banyak rasa takutnya di hadapan Allah dengan sebenar-benarnya. (Lihat: Ibnu Katsier, 1421: 3/ 2339).
Hal ini pun ditegaskan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy dalam Taiysier Kariemir Rahmaan min Kalaamil Mannaan berikut ini: “Setiap orang yang lebih banyak pengetahuannya tentang Allah ‘azza wa jalla, maka lebih besar pula rasa takutnya kepada Allah dan dia lebih berhak mendapatkan nikmat khasyyah tersebut, di mana rasa khasyyah itu dapat menolak berbagai bentuk kemaksiatan dan lebih siap untuk dapat berjumpa dengan yang ditakutinya yaitu Allah ‘azza wa jalla. Semua itu menunjukkan akan keutamaan ilmu yang lebih banyak dimiliki oleh orang-orang yang takut kepada Allah dan memiliki banyak kemuliaan. Mereka itu pula yang dimaksud ayat Allah QS. Al-Bayyinah/ 98: 8, “Mereka adalah orang-orang yang Allah ridhai, dan Allah pun ridha atas mereka”. Yang demikian itu Allah berikan kepada orang-orang yang takut kepada Tuhannya.” (Lihat: As-Sa’dy, 1423: hlm. 689).
Demikianlah hakikat orang-orang yang berilmu; di mana mereka telah membuktikan dengan ketinggian ilmunya, di samping berhasil mengantarkan dirinya sebagai ahlul khasyyah, yaitu orang yang paling takut kepada Allah karena keimanannya dan juga sebagai ahlul karaamah, yaitu orang yang banyak mendapatkan kemuliaan karena ilmunya. Mereka itulah sejatinya yang disebut sebagai waratsatul Anbiyaa’, yakni ahli waris para Nabi.
Demikianlah Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
<< مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَبْتَغِي فِيْهِ عِلْمًا، سَلَكَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلىَ الْجَنَّةِ، وَ إِنَّ اْلمَلآئِكَةَ لَتَضَعُ اَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ اْلعِلْمِ، وَ إِنَّ اْلعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ حَتَّى الْحِيْتَانُ فِي اْلمَاءِ، وَ فَضْلُ اْلعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ، كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَ لاَ دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرِّثُوْا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ، أَخَذَ ِبحَظٍّ وَافِرٍ >>
“Siapa yang menempuh suatu jalan karena mengharapkan ilmu, Allah tunjukkan baginya jalan ke surga. Sesungguhnya malaikat akan meletakkan sayapnya, sebagai tanda ridha bagi para pencari ilmu. Sesungguhnya orang berilmu akan mendapatkan permohonan ampun seluruh makhluq langit dan bumi, hingga makhluq hidup yang ada di air. Dan keutamaan orang berilmu dari pada hamba lainnya, bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang. Sesunguhnya para ulama’ adalah ahli waris para Nabi, karena para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mereka mewariskan ilmu. Siapa yang mengambil ilmunya, dia akan mendapatkannya dengan melimpah.” (HR. Abu Daawud 5/ 47 no. 2682, At-Tirmidzi 3/ 313 no. 3641, Ahmad 5/ 196, Ibnu Maajah no. 223, seluruhnya riwayat ini dari shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anh).
Wallaahu a’lam bish shawwaab … Allaahumma faqqihnaa fied dien.
_______
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI-UBA Jakarta