Jumat, September 13MAU INSTITUTE
Shadow

PAKAIAN SEJARAH; DARI JAS MERAH, JAS MEWAH HINGGA JAS HIJAU

PAKAIAN SEJARAH; DARI JAS MERAH, JAS MEWAH HINGGA JAS HIJAU

Oleh:

Teten Romly Qomaruddien

Para cerdik pandai nampaknya sepakat, bahwa “sejarah” itu sangat penting. Ia merupakan pohon (syajarah =  شجرة/ pohon) perjalanan akan realitas kehidupan atau sebab musababnya sebuah keadaan. Demikian sosiolog besar Muslim terkemuka Ibnu Khaldun menyebutkan.

Tidaklah salah, apabila seseorang akan lebih bisa bijak dan sangat menghargai sebuah proses, juga lebih mampu memaklumi keadaan seseorang atau komunitas dan gerakan apabila orang tersebut faham sejarah perjalanannya. Maka sangat wajar, banyak orang percaya bahwa: “Orang bijak adalah orang yang mau menghargai sejarah para pendahulunya atau sejarah orang lain.”

Al-Qur’anul Kariem, bukanlah buku sejarah, namun di dalamnya berisikan banyak ayat-ayat terkait sejarah; kisah perjalanan orang-orang baik hingga orang-orang buruk, kisah perjalanan orang-orang patuh-taat hingga orang-orang ingkar, kisah kejayaan dan kemunduran, bahkan kisah orang-orang bahagia dan orang-orang terhina. Semua itu diceritakan Allah ‘azza wa jalla bukan tanpa alasan, melainkan untuk menjadi pelajaran berharga bagi generasi berikutnya. Itulah yang disebut dalam istilah Al-Qur’an sebagai ‘ibrah. Berfirman Allah ‘azza wa jalla:

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, juga sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS. Yûsuf/ 12: 111).

Bersandar pada akar kata ‘ibrah, ditemukan bahwa kata ‘ibrah (عبرة) berasal dari ‘abara – ya’buru – ‘abratan wa ‘ibratan  yang pada asalnya bermakna “menyeberang” dari satu tepi sungai ke tepi yang lain yang ada di seberangnya. Karenanya, sampan penyeberangan dalam bahasa Arab disebut ‘abbârah. Sama halnya, mengapa nenek moyang bangsa Babilonia yang melintas sungai Eufrat dan melahirkan keturunan Nabiyullah Ibrahim ‘alaihis salâm disebut bangsa  ‘ibrâni, sekalipun di kemudian hari lebih dikenal dengan komunitas pengguna bahasa, yakni bahasa ibrani.

Dalam hal ini, Hujjatul Islâm Abu Hâmid Al-Ghazali (450 – 505 H. = 1058 – 1111 M.) menuturkan:

《مَعْنَىالاِعْتِبَارِأَنْيَعْبُرَمَاذُكِرَإِلَىغَيْرِهِفَلَايَقْتَصِرُعَلَيْهِ》

Makna i’tibar adalah seseorang yang menyeberang dari apa yang disebutkan kepada apa yang tidak disebutkan, karenanya ia tidak membatasi diri pada apa yang disebutkannya saja.” (Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulûmid Dîn, 1/ 62).

Berikutnya, Al-Ghazali memberi contoh sebagai penjelasan seraya mengatakan: “Misalnya, seseorang menyaksikan suatu musibah yang menimpa orang lainnya, maka jadilah musibah itu sebagai ‘ibrah baginya, maksudnya, orang itu “menyeberangkan” apa yang dilihat dan disaksikannya kepada dirinya untuk menggugah kesadarannya bahwa bisa saja dirinya terkena musibah yang mirip dengannya. Jadi, seseorang yang mengambil ‘ibrah artinya ia menyeberangkan suatu peristiwa yang terjadi pada orang lain ke arah dirinya.”

Menarik apa yang pernah disampaikan para tokoh, terkait larangan “sikap abai” terhadap sejarah. Sejarah ibarat pakaian yang melekat pada tubuh, yang salah satu keperibadian seseorang dapat dilihat dari pakaiannya. Rapih, sopan, kusut, mewah atau pun sederhananya. Demikian pula dengan “pakaian sejarah”, kita dituntut untuk merawatnya dengan baik, jangan pernah meremehkannya.

Sekedar untuk mengambil pelajaran, dalam konteks tanah air, dulu dan sekarang ada beberapa frase yang patut jadi renungan:

1. Jas Merah

Sebuah frase yang muncul dalam pidatonya Bung Karno pada peringatan 17 Agustus 1966 dengan menyebutkan: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah …” (terlepas pernyataan tersebut masih mengandung banyak tanya, sejarah gerangan mana yang dimaksud? Apakah sejarah secara umum atau memiliki makna khusus).

2. Jas Mewah

Sebuah frase yang muncul tepat sesuai momentumnya. Sejarawan muda Tiar Anwar Bachtiar menulis buku dengan judul unik itu mengingatkan anak bangsa, khususnya kaum muda Muslim. “Jas Mewah; Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah dan Dakwah.”

3. Jas Hijau

Sebuah frase yang muncul pada saat yang sangat tepat, di mana rekan-rekan muda  Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam  menggelar “Seminar Kebangsaan” di Gedung Nusantara V DPR-MPR RI bertemakan:  “Mengokohkan Spirit NKRI Sebagai Nilai Fundamental Melalui Refleksi dan Deklarasi Bulan NKRI”  dengan menghadirkan Dr. Hidayat Nurwahid, MA. (Wakil Ketua MPR), Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA. (PP. Muhammadiyah), Prof. Dr. Maman Abdurrahman, MA. (Guru Besar Universitas Islam Bandung). Adapun kalangan mudanya diwakili oleh Dr. Pepen Irfan Fauzan (Majelis Tafkir PP. Persatuan Islam) dan H.T. Romly Qomaruddien, MA. (Pusat Kajian Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia).

A.M. Furqan, MA. (Wakil Sekretaris PP. Persatuan Islam) yang mewakili Pimpinan Pusat menyampaikan:  “Ketika Pak Natsir dipanggil Presiden Soekarno terkait urusan terbagi-baginya negara menjadi 16 negara bagian, yang pertama dilakukan Pak Natsir adalah mendialogkannya kepada gurunya Tuan A. Hassan.” Itu artinya, ulama selalu menjadi rujukkan dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, ujarnya.

Sebagai refleksi atas peristiwa pidato “Mosi Integral Mohammad Natsir” pada tanggal 3 April 1950, Wakil Ketua MPR RI menegaskan:  “Dulu, mosi integral disampaikan di tempat ini oleh Allâhu yarham Mohammad Natsir dari Masyumi, hari ini pula penanda tanganan Deklarasi Bulan NKRI oleh anak cucu Masyumi.”

Masih menurutnya, “Kalau di zaman Bapak Soekarno dikenal ada Jas Merah, maka sekarang kita pun wajib mempopulerkan Jas Hijau; Jangan sekali-kali Menghilangkan Jejak Ulama”, tuturnya semangat.

Semoga Rabbul ‘Âlamîn  senantiasa memberikan keberkahan pada negeri ini dan keberkahan pula bagi penduduknya … Âmîn yâ Mujîbas sâilîn

___________

Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddaamah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.

Print Friendly, PDF & Email

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!