MENJEMPUT KEMENANGAN DAKWAH; HAKIKAT DAN KIAT-KIATNYA
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Kemenangan adalah dambaan, kemenangan adalah cita dan asa, kemenangan adalah buah pengorbanan dan perjuangan, kemenangan pun merupakan gerbang masa depan. Kita dikatakan sebagai pemenang, apabila kita berhasil melepaskan berbagai ikatan yang membelenggu jiwa dengan penuh lapang untuk bisa menjalankan aturan-aturan Allah yang Maha Rahmân dan rasulNya sebagai suri tauladan.
Meraih kemenangan tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan perlu dukungan ummat dengan personal-personal militant yang memiliki: keyakinan yang benar (al-‘aqîdah as-shahîhah), pemikiran yang selamat (al-fikrah as-salîmah), amal yang sungguh-sungguh (al-‘amal al-jâhid) dan moralitas yang luhur (al-akhlâq al-karîmah). Terwujudnya masyarakat yang tertib (mujtama’an munazhzhaman), masyarakat yang kuat (mujtama’an qawiyyan) dan masyarakat yang aman, damai, adil, makmur dan sejahtera (mujtama’an salîman) tidak dapat dilepaskan dari karakteristik tadi.
Untuk meraih semua itu, diperlukan tonggak-tonggak penyangga (mu’ayyidât) yang menurut Syaikh Hassan bin Falâh al-Qahthâni dalam bukunya At-Tharîq ilan Nahdhah al-Islâmiyyah adalah sebagai berikut:
1) Kaum Muslimin hendaknya berpegang teguh (tamassuk) pada aqidah yang benar.
2) Kaum Muslimin siap dihukumi dengan hukum yang ditetapkan Allah ‘azza wa jalla.
3) Kaum Muslimin mau menjalankan al-amru bil ma’rûf dan an-nahyu ‘anil munkar.
4) Kaum Muslimin mampu menyelaraskan ilmu dan amalnya.
5) Kaum Muslimin mampu menegakkan jihâd fî sabîlillâh.
6) Kaum Muslimin bersikap antusias dan bersegera (mubâdarah) dalam menyambut perintah-perintahNya.
7) Kaum Muslimin mampu menanamkankan solidaritas sesama Muslim lainnya (takâful, tadhâmun).
8) Kaum Muslimin mampu menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan persamaan (al-‘adlu wa al- musâwât) di tengah-tengah ummat manusia.
Kemenangan demi kemenangan (futuhât) yang terjadi sepanjang sejarah; ditaklukkannya Romawi yang penyembah dewa (watsani, paganis) dan Persia yang penyembah api (majûsi, zoroaster), dibebaskannya Yerussalem dari penjajahan Salibis Eropa dan dibukanya Konstantinopel dari kekuasaan Romawi Timur (Byzantium) menjadi bukti nyata yang tak terbantahkan, bahwa semua itu merupakan kemenangan aqidah yang nyata.
Dalam pengamatan Syaikh Muhammad Jamîl Zînu dalam kitabnya Taujîh al-Muslimîn ilâ Tharîq an-Nashri wa al-Tamkîn, bahwa kegemilangan itu merupakan buah dari terpenuhinya syarat-syarat umum yang melekat pada segenap aktivitas gerakannya dan syarat-syarat khusus yang menghiasi seluruh jiwa aktivisnya.
Adapun yang dimaksud persyaratan umum gerakan adalah: mengokohkan fase Tauhied (marhalah al-tauhîd) mewujudkan fase persaudaraan (marhalah al-ukhuwwah) dan menyusun strategi terhadap berbagai kemungkinan yang terjadi (marhalah al-isti’dâd).
Sedangkan persyaratan khusus terkait dengan individu para aktivisnya, yaitu: senantiasa bertakwa pada Allah (taqwallâh), berupaya meninggalkan kemaksiatan (tarku al-ma’âshi) dan selalu memohon pertolongan pada Allah (al-isti’ânah billâh). Persyaratan khusus inilah yang pernah diwanti-wantikan Khalifah ‘Umar bin Khathab radhiyallâhu ‘anh dalam pidato pelepasan pasukan pimpinan shahabat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallâhu ‘anh sebelum menuju wilayah kekaisaran Persia Raya.
Benar apa yang dipaparkan Syaikh ‘Abdul Mâlik bin Ahmad Ramadhani dalam kitabnya As-Sabîl ilâ al-‘Izz wa al-Tamkîn ketika beliau menjelaskan “ayat-ayat kemenangan” (Lihat: QS. An-Nûr/ 24: 55-56 dan QS. Ar-Rûm/ 30: 47). Menurutnya, kemenangan hanya bisa diraih dengan iman, kekuatan dan ketakwaan yang meliputi di dalamnya bertauhied dan ittiba‘ kepada Rasulullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula pandangan para ulama pendukung gerakan Islam (shahwah Islâmiyyah) abad ini, di antaranya Syaikh Muhammad Shâlih al-‘Utsaimîn dalam kitabnya As-Shahwah al-Islâmiyyah; Dhawâbith wa Taujîhât dan Syaikh Prof. Dr. Yûsuf al-Qaradhâwy dalam kitabnya As-Shahwah al-Islâmiyyah; Bainal Murâhaqah ilâ al-Rusydi yang menukilkan hadits shahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallâhu ‘anh sewaktu ditugaskannya ke negeri Yaman, di mana Nabi bersabda: “Sesungguhnya engkau akan berhadapan dengan kaum ahlul kitâb, maka yang pertama kali engkau serukan kepada mereka, agar mereka bertauhid kepada Allah …” (HR. Al-Bukhari).
Sekalipun pendekatannya berbeda, namun para ulama ini sepakat, bahwa “dakwah Tauhied” merupakan missi pokok para pengemban risalah dakwah yang wajib diprioritaskan.
Apalah artinya sebuah kebangkitan (shahwah), apabila hampa dari bimbingan ilmu (tarbiyah) dan bimbingan kebersihan jiwa (tashfiyah, tazkiyah), juga amal nyata di lapangan (maidân, ma’rakah). Semuanya bisa berjalin berkelindan, seiring dan seirama menapak zaman apabila orkestanya berjalan dengan penuh seimbang (tawâzun). Meminjam bahasa Syaikh Nâshir ‘Abdul Karîm al-‘Aql: “Bermodalkan semangat saja belumlah cukup, apabila tanpa diiringi semangat tafaqquh fid dîn. Karena hakikatnya, yang disebut kebangkitan Islam adalah bangkitnya semangat menuju Islam dan melakukan pembaharuan berdasarkan syari’at yang benar.” Demikian beliau tuturkan dalam kitabnya.
Selama masih ada keinginan untuk melakukan ikhtiar, maka pasti Allah azza wa jalla akan memberikan jalan bimbinganNya.
Walladzîna jâhadû fînâ lanahdiyannahum subulanâ wa innallâha lama’al muhsinîn … “Dan orang-orang yang benar-benar berjuang di jalan Kami, pasti Kami akan benar-benar tunjukkan jalan-jalan Kami, dan Allah bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-‘Ankabût/ 29: 69).
Semoga Rabbul ‘Aalamin memasukkan kita pada barisan orang-orang yang berjuang di dalamnya. Âmîn yâ Mujîba as-sâilîn…
____________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddãmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.