FIQIH PRAKTIS ZAKAT FITHRI
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
A. Definisi dan Hukum
Zakat fithri adalah zakat badan yang dikeluarkan pada akhir Ramadhan berupa makanan pokok sebanyak satu sha’ (2,5 kg atau 3,5 liter).
Mulai diperintahkan kepada Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke-2 H. Hukumnya wajib berdasarkan keterangan banyak hadits, di antaranya:
“Rasûlullah shalallâhu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri satu sha’ kurma atau gandum atas hamba sahaya maupun orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang dewasa dari orang Islam.” (HR. Al-Bukhâri 3/ 473 No. 1511 dan Muslim 2/ 677 No. 984 dari ‘Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anh)
Adapun penyebutannya, para ulama lebih condong dengan sebutan zakat fithri, karena dikaitkan dengan misi pokoknya zakat fithri adalah agar pada hari kemenangan saat 1 syawwal tiba semua orang merasakan kebahagiannya. Sekalipun demikian, sebagian menyebutnya dengan zakat fithrah, lebih kepada harapan. Dengan selesainya ibadah shaum ramadhan sebulan lamanya, diharapkan para pelaku shaum kembali kepada kebersihan fithrahnya.
B. Siapakah Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fithri?
Sebagaimana dijelaskan hadits di atas, semua yang disebutkan di dalamnya memiliki kewajiban mengeluarkan selama memiliki kelebihan makanan sekeluarga pada hari itu (hari ‘iedul fithri), termasuk di dalamnya bayi yang masih dalam kandungan yang menjadi tanggungan orang tuanya, karena kalimat as-shagîr dalam hadits ini di dalamnya mengandung arti al-haml (bayi dalam kandungan).
Hal ini disandarkan kepada Amîrul Mu’minîn Utsman bin ‘Affân radhiyallâhu ‘anh yang melakukan untuk dirinya. Demikian pula Abu Qilâbah menuturkan, adalah menjadi perhatian mereka (para shahabat) untuk mengeluarkan zakat fithri dari anak kecil, dewasa bahkan yang masih dalam kandungan.
Pendapat senada muncul dari Sulaiman bin Yassâr, ketika beliau ditanya tentang hal itu, anak yang masih dalam kandungan, haruskah dikeluarkan zakatnya? Beliau menjawab: “na’am”, ya, dikeluarkan. (Lihat: Al-Muhalla 6/ 132 dalam Al- Hidâyah fî Masâila Fiqhiyyah Muta’âridhah oleh Zakaria al-Kurkhi). Fadhîlatus Syaikh Muhammad Shâlih al-‘Utsaimin, tidak memasukannya hukum wajib melainkan tathawwu‘ (sunnah) saja. (Lihat: Majâlis Syahri Ramadhân, hlm. 160)
C. Barang dan Ukuran yang Dizakatkan
Di samping kurma (tamar) dan kacang atau gandum (sya’ir), para shahabat Rasûlullâh pun mengeluarkan kismis (zabîb) dan susu kering atau keju (aqith), Hal ini dijelaskan Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallâhu ‘anh:
“Kami (para shahabat) mengeluarkan zakat fithri di zaman Nabi dengan satu sha’ makanan, dan makanan kami adalah sya’ir, zabîb, aqith dan tamar.”
Dengan melihat hadits ini, para ulama lebih menitikberatkan agar barang yang dijadikan zakat fithri itu terdiri dari jenis makan pokok bani Adam (tha’amul adamiyyin), bukan makanan hewan ternak dan juga tidak boleh diganti dengan barang lainnya (semisal kain, permadani atau yang lainnya).
Adapun digantikannya dengan nilai nominal (qiymah), para ulama berbeda pendapat. Imam Atha’, Imam Syâfi’i dan Imam lbnu Hazm menolaknya, sedangkan Imam Ibnu Hanîfah dan Imam Tsauri membolehkannya dengan alasan ‘Umar bin Abdil Azîz menyuruh gubernurnya untuk memotong gaji pegawai kantor masing-masing 1/2 dirham untuk zakat fithri.
Sementara itu, madzhab Hanbali dalam kitab Al-Mughni menyebutkan, pada dasarnya tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilai nominal (baik zakat fithri maupun zakat mâl) sebab bertentangan dengan sunnah.
Namun, dalam riwayat lain Imam Ahmad membolehkan
mengeluarkan nilai zakat selain zakat fithri. (Lihat: Al-Qaradhawi, Kiat Sukses Mengelola Zakat, hlm. 52)
Sedangkan Syaikh ‘Abdul Azîz bin Abdullah bin Bâz menuturkan: “Telah dimaklumi bahwa pada waktu penetapan syari’at ini dan pengeluaran zakat ini, di tengah-tengah ummat Islam terutama penduduk Madinah sudah ada dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) yang merupakan mata uang yang berlaku pada waktu itu, tetapi beliau tidak menyebut keduanya dalam zakat fithri.”
Seandainya keduanya bisa dipakai untuk membayar zakat fithri, niscaya beliau menjelaskannya. Sekiranya itu boleh, niscaya para shahabat melakukannya. (Lihat: Fatawa az-Zakât: Fatwa Seputar Zakat, hlm. 82)
Adapun yang disebut satu sha’ itu adalah sha-nya Rasûlullah shalallâhu ‘alaihi wa sallam, yaitu sebanding dengan 480 mitsqal atau 2,42 kg. (Lihat: Ad-Durûs al-Ramadhâniyyah, hlm. 183)
D. Waktu Menyalurkan Zakat
Waktu mengeluarkan zakat fithri kepada mustahiknya adalah waktu shubuh sebelum shalat ‘iedul fithri berlangsung, dan ini dinamakan waktu afdhal (yakni waktu yang utama).
Hal ini sesuai dengan hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anh yang meriwayatkan: “Bahwa Nabi shalallâhu ‘alaihi wa sallam menyuruh zakat fithri ditunaikan sebelum manusia keluar menuju shalat ‘ied.” (HR. Al-Bukhâri 3/ 463 no. 1503)
Sebahagian kaum muslimin menyalurkannya satu atau dua hari sebelum Ramadhan berakhir. Hal ini berdasarkan amalan lbnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anh yang menyerahkan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya. Mereka adalah para petugas yang diangkat oleh Imam untuk mengumpulkannya. Demikian itu terjadi sebelum ‘iedul fithri satu atau dua hari. (HR. Ibnu Huzaimah)
Memperhatikan atsar ini, sungguh jelas bahwa lbnu ‘Umar melakukannya bukanlah beliau menyerahkan langsung kepada fuqara, melainkan Ibnu ‘Umar menyerahkannya kepada petugas zakat (panitia) bukan mustahiq.
Namun demikian, banyak pula yang menafsirkan atsar tersebut bolehnya mengeluarkan zakat fithri sehari atau dua hari sebelum ‘iedul fithri, termasuk Syaikh Muhammad Shâlih al-Utsaimin yang menyebutnya waktu jawâz (boleh). (Lihat: Majâlis Syahri Ramadhân, hlm. 163)
Tentu saja kebolehan itu tidak mengurangi hukum ashal mengenai waktu yang lebih utama yaitu setelah shalat shubuh hingga shalat ‘ied berlangsung.
E. Mustahiq Zakat Fithri
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anh: “Rasulullah shalallâhu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang shaum dari perbuatan yang sia-sia dan kotor, juga sebagai pemberian makan bagi kaum miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘ied, maka itulah zakat yang diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat ‘ied maka itu termasuk shodaqah biasa.” (HR. Abu Dawud 1/ 111 no. 1609, lbnu Mâjah no. 1827, Syaikh Al-Albâni menghasankan dalam kitabnya Al-Irwa’)
Berdasarkan pada hadits ini, sebahagian ulama berpendapat bahwa mustahiq zakat fithri adalah fuqarâ dan masâkin saja, sedangkan ulama fiqih lainnya berpendapat fuqara dan masakin merupakan prioritas yang ditekankan secara nash (tanshish) bukan pengkhususan (takhsîsh).
Oleh karenanya, kembali kepada keumuman ashnâf yang delapan sebagaimana tercantum dalam QS. At-Taubah/ 9: 60 yang menuturkan: Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi: 1) Orang-orang faqir (tidak memiliki pencaharian), 2) Orang-orang miskin (tidak mencukupi kebutuhan pokok), 3) Âmilîn (petugas zakat), 4) Para mu’allaf (orang orang yang telah dijinaki hatinya), 5) Untuk memerdekakan hamba sahaya (riqâb), 6) Orang-orang yang memiliki hutang (ghârimîn), 7) Orang-orang yang berjuang di jalan Allah (sabilillâh), dan 8) Orang-orang yang sedang dalam perjalanan namun tidak memiliki atau kehabisan bekal (Ibnus Sabîl).”
Adapun teknis pembagian zakat, diserahkan prosentasenya kepada pertimbangan petugas zakat. Demikian dikatakan Imam Mâlik dalam Muwattha‘- nya.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk diketahui adalah larangan untuk memberikan zakat itu kepada orang faqir yang kafir, karena diambilnya zakat itu dari orang Muslim dan harus dikembalikan kepada orang- orang Muslim lagi. Pemilik kitab Al-Manâr, Syaikh Muhammad Rasyîd Ridha, menuturkan: “Zakat itu diberikan secara khusus untuk orang Muslim, berbeda halnya dengan shadaqah sunnah, boleh untuk orang kafir selama mereka dianggap mu’allaf (baik dia belum Islam, namun cenderung untuk masuk Islam atau dia belum Islam, namun diharapkan masuk Islam) seperti Sofyan bin Umayyah. Bahkan shadaqah ini pun boleh diberikan kepada orang kafir yang ditakuti akan kejahatannya, dengan diberikannya zakat diharapkan dapat mencegah kejahatannya itu.”
F. Do’a Menerima Shadaqah dan Zakat
Dari ‘Abdullah bin Abi Aufa radhiyallâhu ‘anh, ia berkata: “Apabila Nabi shalallâhu ‘alaihi wa sallam diamanahi shadaqah, maka beliau mendo’akannya. Lalu bapakku menyerahkan shadaqahnya kepada beliau, beliau pun mengucapkan do’a: Allâhumma shalli ‘alâ Âli Abî Aufâ.” Dalam riwayat lain, seorang wanita datang kepada Nabi seraya berkata: “Yâ Rasûlallâh … do’akan aku dan suamiku juga! Lalu beliau pun berdo’a: Shalallâhu ‘alaiki wa ‘alâ zaujiki; Semoga Allah memberkatimu dan memberkati suamimu juga.”
Wallâhu a’lam bis shawwâb
____________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.