MENGGAPAI ISTIJÂBAH DI HARI ‘ARAFAH (Memelihara Kekhusyuan Mengedepankan Kelapangan)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Jabal ‘Arafah
Itulah nama sebuah bukit sekitar 25 km dari Mekkah. Tempat ini menjadi sangat penting bila dikaitkan dengan ibadah haji, sehubungan dengan wukuf di tempat itu. Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Al-hajju ‘arafah,” Artinya: “Haji adalah ‘Arafah.” (HR. Ahmad dan Ashhâbus Sunnan).
Dalam riwayat yang lain disebutkan, Rasûlullâh bersabda: “Tidak ada hari yang ketika itu Allah lebih banyak membebaskan hamba dari siksa neraka selain hari ‘arafah, dan sungguh ia telah dekat, kemudian Allah membanggakan mereka di hadapan para malaikat, seraya berfirman: Mâ arâda hâulâi (apa yang mereka kehendaki?)” (HR. Muslim).
Bukit ‘arafah, berada pada ketinggian 750 kaki di atas permukaan laut, ia merupakan padang pasir gersang tanpa tumbuhan selama berabad-abad. Sekarang, pemerintah Arab Saudi berusaha menghijaukan agar suasana terik panas mentari tidak terlalu menyengat. Di tengah padang pasir itu terlihat bukit-bukit kecil yang dinamakan jabal Rahmah. Setiap tahun, para jama’ah haji melakukan wuquf di ‘arafah untuk memenuhi rukun haji. Mereka datang dari berbagai penjuru negeri dengan berbagai warna kulit, bahasa, ras, dan usia, serta bentuk dan kondisi masing-masing yang beragam pula. Di hari itu mereka berkumpul sebagai “satu ummah” yang tidak mengenal batas, baik pangkat dan kedudukan serta pengaruh. Kaum bangsawan maupun orang biasa dipandang sama dan sederajat. Semuanya terbungkus kain ihram berwarna putih. Mereka berbeda, namun satu keyakinan yakni Islam, agama yang menjamin keselamatan dunia dan akhirat apabila manusia mengikuti ajaran (syir’ah) dan aturannya (minhâj).
Keistimewaan Hari ‘Arafah
Seperti halnya ibadah lain, ibadah di hari ‘arafah memiliki sejumlah keistimewaan amal (fadhîlah ‘amal) yang tidak ternilai harganya. Hal ini telah banyak diterangkan dalam kitab para ulama, misalnya kitab Bayânul Mahajjah Fî Wadhâifa Syahri Dzilhijjah; “Penjelasan Argumentatif dalam Permasalahan Bulan Dzulhijjah” karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
Di antara keutamaan yang dimaksud adalah:
Pertama; Bagi para jama’ah haji, wuquf di ‘arafah merupakan rukun yang tidak boleh terlewatkan. Jama’ah haji dipersilahkan mengambil posisi di seluruh kawasan ‘arafah, karena bukit ‘arafah seluruhnya tempat wuquf. Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Waqaftu hâ hunâ, wa ‘arafatu kulluhâ mauqifun,” Artinya: “Aku wuquf di sini, dan ‘arafah seluruhnya adalah tempat wuquf.” Karena itu para jama’ah haji harus memperhatikan betul batas-batas ‘arafah yang sudah ditentukan. Sambil menghadap qiblat, mengangkat kedua tangan, berdzikir dan berdo’a kepada Allah ‘azza wa jalla sampai matahari terbenam dan hilang bulatannya, lalu berangkat menuju Muzdalifah. Alangkah sayangnya, bila sebagian jama’ah kurang memperhatikan batas-batas serta rambu-rambu tersebut yang telah ditetapkan syari’ah, di mana masih banyak para jama’ah yang melaksanakan wuquf di luar area ‘arafah, meninggalkan ‘rafah sebelum matahari terbenam dan berdo’a bukan menghadap qiblat. Demikian Syaikh Muhammad Shâlih al-Utsaimin menuturkan dalam kutaibatnya Manâsikul Hajji Wal ‘Umrah, hlm. 30 – 32).
Bahkan banyak pula kaum Muslimin lebih sibuk berkumpul di jabal Rahmah ketimbang berdiam diri _(wuquf)_ di ‘arafah dengan keyakinan akan mendapatkan banyak keutamaan. Tentu saja pendapat itu tidak benar, mengingat tidak memiliki landasan. (Lihat: Yûsuf bin Abdillah bin Ahmad al-Ahmad, Shifatul Hajji wal ‘Umrah wa Ahkâmus Shalâti Fie Masjidin Nabawi, hlm. 30 – 31).
Terlepas dari keyakinan mereka (semoga Allah memaafkannya), sudah semestinya kaum Muslimin membenahi amalannya ketika berada di sana, mengingat ‘arafah termasuk tempat yang sudah ditentukan dan saat yang tepat dikabulkannya do’a seseorang (sâ’atul ijâbah). Banyak waktu yang dimasukkan sebagai _sâ’atul ijâbah_, hari ‘arafah merupakan satu di antara waktu-waktu itu. (Lihat: Jawâmî’ud Du’â Minal Qur’âni wa Shahîhis Sunnah, Dâr Ibnul Mubârak, hlm. 26 – 27).
Kedua; Bagi kaum Muslimin yang tidak menunaikan ibadah haji, disunnahkan “shaum ‘arafah” karena bertepatan dengan pelaksanaan wuqufnya jama’ah haji di ‘arafah. Mengenai keistimewaan shaum di hari ini bagi kaum Muslimin yang tidak menunaikan ibadah haji adalah: “Yukaffirus sanataini mâdhiyatan wa mustaqbalatan,” Artinya: “Dapat menghapus dosa satu tahun yang telah berlalu dan satu tahun yang akan datang.” (HR. Jama’ah, kecuali Al-Bukhari dan Tirmidzi, Imam Thabarani meriwayatkan dari shahabat Zaid bin Arqam, Sahl bin Sa’ad, Qatâdah bin Nu’man, Ibnu Umar dan Abi Sa’id al-Khudriy radhiyallâhu ‘anhum).
Adapun bagi yang menunaikan wuquf (jama’ah haji), Nabi melarang shaum tersebut sebagaimana dituturkan seorang shahabat: “Nahâ ‘an shaumi yaumi ‘arafata bi arafâtin.” Artinya: “Beliau melarang shaum ‘arafah di ‘arafah.” (HR. Ahmad, Abu Dâwud dan Ibnu Mâjah dari Abi Hurairah radhiyallâhu ‘anh).
Menentukan Hari ‘Arafah
Telah diketahui, bahwa dalam menjalankan ibadah itu ada beragam cara penentuannya; Ada ibadah yang ditentukan oleh hari, berapa pun tanggalnya, yang penting harinya sesuai (seperti halnya shalat Jum’at, shaum Senin dan shaum Kamis). Ada pula yang ditentukan dengan tanggal, apa pun harinya, asalkan tanggalnya sesuai (seperti hari ketujuh dari kelahiran (‘aqîqah), shaum ayyâmul baidh pada 13, 14 dan 15 pertengahan bulan qamariyah dan penentuan yaum ‘arafah).
Secara umum, sama seperti halnya pembahasan penentuan hilal Ramadhan dan hilal Syawwal, bahwa ibadah shaum dan haji ditentukan dengan munculnya hilal sebagai pijakan dalam menentukan ibadah-ibadah lainnya yang berkaitan dengan keduanya. Maka Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat-Nya: “Orang-orang bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hilal-hilal itu. Katakanlah ia (hilal) itu pertanda waktu (mawâqit) untuk manusia dan pelaksanaan ibadah haji.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 189).
Dengan demikian, penentuan ibadah di bulan Dzulhijjah ini sangat tergantung kepada kapan bulan ini pertama kali muncul, dan kapan bulan sebelumnya (Dzulqa’dah) berakhir. Hal ini senada dengan Imam Asy-Syaukâni, bahwa hilal itu Ismun limâ yabdû fî awwalis syahri wa fî âkhirihi, artinya: “Nama bulan ketika baru muncul dan ketika berakhir.” (Lihat: As-Syaukâni dalam Fathul Qadîr, 1, hlm. 240).
Dalam prakteknya, untuk menentukan ketetapan waktunya, kaum Muslimin masih dihadapkan kepada perbedaan, antara yang berpegang kepada hisâb haqîqî dan yang berpegang kepada ru’yatul hilâl (melihat hilal secara langsung). Untuk kasus penentuan hilal Ramadhan, kapan mulai shaum dan kapan mulai berbuka (‘iedul fithri) sudah sama-sama dimaklumi bahwa qaidah “Anna likulli baladin ru’yatuhum”, artinya: “Bahwa bagi tiap-tiap negeri sesuai dengan ru’yatnya” dapat dijadikan pegangan yang cukup menenangkan. Demikian pula dengan qaidah “Itsbâtul hâkim fî masâilil ijtihâdi yarfa’ul khilâf,” artinya: “Penetapan seorang hakim atau waliyyul amri dalam masalah ijtihad dapat menghilangkan perbedaan.” Bagaimana dengan perbedaan shaum ‘arafah dan ‘iedul adhha?, masihkah qaidah-qaidah tadi dapat dijadikan pegangan? Mengingat penentuan jatuhnya wuquf ‘arafah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah Saudi Arabia, karena tempatnya ada di sana. Dalam hal ini, kaum Muslimin, terutama para pemimpinnya masih belum ada kesepakatan, sehingga perbedaan ini nampaknya masih akan sering terjadi di setiap tahunnya seperti halnya tahun-tahun lalu.
Tidak terkecuali tahun ini (1440 H.), di mana PP. Muhammadiyah melalui Majlis Tarjih dan Tajdidnya dengan Maklumat No. 1/ MLM/ 1.0/ E/ 2019 sudah menetapkan 10 Dzulhijjah 1440 bertepatan dengan hari Ahad, 11 Agustus 2019. Sama halnya dengan PP. Persatuan Islam dalam Surat Edarannya No. 1379/ JJ-C.3/ PP/ 2019 menetapkan waktu yang sama, yaitu Ahad, 11 Agustus 2019. Adapun dalam Kalender Falakiyah NU Jawa Timur, tercantum bahwa Iedul Adhha 1440 jatuh pada tanggal 12 Agustus 2019. Namun tentu saja, dalam prakteknya pemerintah Indonesia melalui Badan Hisab dan Ru’yat Kementrian Agama RI akan menetapkannya melalui Sidang Itsbat yang telah rutin digelar bersama ormas-ormas Islam dan lembaga-lembaga riset lainnya.
Bahan Pertimbangan
Terjadinya perbedaan pelaksanaan ‘Iedul Adhha, sudah lama terjadi. Tentunya sangat mempengaruhi kekhusyuan kaum Muslimin dalam menjalankan ibadah tersebut (khususnya shaum ‘arafah dan shalat ‘iedul adhha serta hari-hari tasyrîq bagi negara-negara di luar Saudi Arabia). Hal inilah yang membuat Allah Yarhamh, Dr. Mohammad Natsir sebagai anggota Majelis Ta’sîsî, Mudîr Maktab dan Penasehat Umum Râbithah al-‘Âlam al-Islâmy melayangkan suratnya tertanggal 23 Shafar 1396 H. dengan No. 109/ 2/ 76 kepada Sekjen Râbithah al-‘Âlam al-Islâmy, Syaikh M. Shaleh Qazzaz untuk mengeluarkan suatu penjelasan sehubungan masalah tersebut. Maka Sekjen Râbithah al-‘Âlam al-Islâmy menyetujui usulan Syaikhul Azhar Dr. Abdul Halim Mahmud (waktu itu) yang berpendapat, ummat Islam sedunia, sebaiknya mempunyai satu pendapat dalam menentukan hari wuquf di ‘Arafah, sehingga Hari Raya Haji dirayakan pada hari yang sama di seluruh dunia. Beliau menegaskan: “Jadi saya berpendapat, karena Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Tinggi telah memudahkan cara-cara berkomunikasi modern antara masing-masing Negara Islam, maka sebaiknya semua Negara itu berpedoman kepada ru’yah Saudi Arabia dalam menentukan permulaan bulan Dzulhijjah. Inilah pendirian yang dapat mempersatukan pendapat kaum muslimin seluruhnya dalam persoalan wuquf di ‘Arafah” (diterjemahkan dari harian An-Nadwah oleh Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat). Pendapat yang sama, dikemukakan pula oleh Kementrian Agama Kuwait saat ini.
Namun, tentu saja tidaklah cukup sampai di situ, di mana persoalan ini merupakan ranah fiqih yang dinamis dan terbuka untuk berargumen, selama hujjahnya bisa dipertanggung jawabkan. Hal ini perkara yang sudah umum diketahui, termasuk ulama-ulama Kerajaan Saudi Arabia pun memakluminya. Sekali lagi, ini soal fiqih, soal ijtihad, soal hujjah yang harus disikapi secara ‘arif dan bijaksana dengan penuh kelapangan dada. Polemik ilmiah semacam ini bisa dilihat dalam kitab: Nailul Authâr karya ulama klasik As-Syaukani atau pun kitab: Kaifa Nata’âmal Ma’as Sunnah an-Nabawiyyah karya ulama kontemporer Syaikh Prof. Dr. Yûsuf al-Qaradhawy ketika membahas ru’yatul hilâl.
Berikutnya, sikap serupa ditunjukkan Syaikh Muhammad Shaleh al-‘Utsaimin dan Syaikh Prof. Dr. Sulaiman ar-Ruhaily rahimahullâhu ‘anhumâ yang berpendapat: “Tidaklah mengapa bila penentuan penanggalan di tanah air berbeda dengan penentuan penanggalan yang ditetapkan KSA.” Artinya, sangat mungkin ada pandangan lain yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai contoh, penanggalan KSA pernah juga dikoreksi oleh Dewan Hisab dan Ru’yat Persatuan Islam, dan para ahli di KSA pun menerima kritikan itu (ditanda tangani oleh Syaikh Prof. DR. ‘Abdur Razaq ‘Afiefy rahimahullâh) dan beliau pun menghaturkan terima kasih.
Dengan demikian, kontroversi mengenai hal ini semoga tidak menyebabkan kontra produktif yang bisa mengganggu kekhusyuan ibadah dan keutuhan persatuan ummat. Justeru sebaliknya, ikhtilâf mu’tabar ini menjadikan ummat semakin dewasa dalam berfikir dan memacu ummat semakin memiliki keinginan untuk mendalami agamanya (tafaqquh fid dîn).
Semoga Allah ‘azza wa jalla senantiasa mempertautkan hati kaum Muslimin, memberikan ampunan (maghfirah) dan petunjukNya (hidâyah) serta menjadikan do’a-do’a mereka dikabulkan (mustajâbah, maqbûlah) di sisiNya. Allahumma Âmîn …
______________
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqiedah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.