Jumat, Maret 29MAU INSTITUTE
Shadow

MENANTI GENERASI ULAMA YANG ILMUWAN (Kado Spesial di Hari Santri Nasional)

MENANTI GENERASI ULAMA YANG ILMUWAN (Kado Spesial di Hari Santri Nasional)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

Pada dasarnya, tidak ada alasan untuk membeda-bedakan antara ulama dan ilmuwan. Karena secara substantif, kedua istilah tersebut sama-sama menyebutkan tentang seseorang atau lebih yang menaruh perhatian terhadap dunia ilmu. Kesungguhan keduanya dalam menyingkap tabir ilmu pengetahuan, memiliki nilai yang sama. Adapun yang membedakan keduanya adalah dalam pengambilan sumber ilmu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pandangannya, bahwa sumber ilmu itu dibagi menjadi dua bagian; ilmu yang dibatasi sumber pengambilannya (muhaddad) dan ilmu yang tidak dibatasi sumber pengambilannya (ghairu muhaddad). Yang pertama, hanya bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan yang kedua, di samping dari Al-Qur’an dan as-Sunnah, juga bersumber dari selain keduanya. (‘Abdullah bin Rasyid al-Hausyâni, Manhaj Syaikhul Islâm Ibn Taimiyah Fȋd Da’wah Ilâ Allâh Ta’âla, 1996: 1, hlm. 177).

Dengan demikian, seseorang dikatakan ulama atau ilmuwan (dalam pandangan Islam) adalah mereka yang dengan keilmuannya semakin mendekatkan diri (taqarrub) dan semakin takut (khasyyah) di hadapan Allah ‘azza wa jalla. Pandangan ini disandarkan pada firmanNya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara para hamba-hambaNya adalah orang-orang yang berilmu (‘ulama).” (QS. Fâthir/35: 28).

Di antara ulama abad ini, yang menguatkan narasi tersebut adalah Syaikh Shâlih bin Fauzan al-Fauzan ketika ditanya tentang perbedaan antara ulama dengan ilmuwan. Menurutnya: “Ahli kedokteran, ahli kimia dan ilmu-ilmu modern lainnya, jika orang itu memiliki ilmu syar’i, maka tidak diragukan lagi hal itu memberi tambahan kebaikan kepada mereka karena telah menggabungkan dua kemaslahatan sekaligus; ilmu syari’at dan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat. Adapun yang dimilikinya hanya ilmu dunia saja, maka dia tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu-ilmu tersebut melainkan materi belaka dan tidak pula memberinya rasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Bahkan sebaliknya, dapat melalaikan dirinya dari Allah ‘azza wa jalla. Ilmu dunia harus diarahkan oleh ilmu syar’i agar dapat diambil manfaatnya. Jika tidak, akan berbalik menjadi sesuatu yang bahaya.” (Lihat: Majalah Fatawa, vol. 4 thn. II/ 1425 H., dari Al-Muntaqâ’ min Fatâwa, hlm. 331-332).

Khasyyatullah; Keselarasan Ilmu dengan Amal

Pertautan ilmu dan amal merupakan satu ikatan yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan, apakah ilmu yang didapat sudah sesuai dengan amal? Tentu saja, jawabannya bukanlah harus dijawab dengan “sudah” atau “belum” melainkan untuk direnungkan dan akhirnya dapat menggerakkan amal nyata. (Lihat: Al-Khâtib al-Baghdâdi, Iqtidhâul ‘Ilmȋl ‘Amala, tahqȋq Muhammad Nâshiruddin al-Albani, 1423 H.)

Adapun yang dapat menggerakkan amal, adalah keilmuan seseorang dalam memahami pemberi ilmu itu sendiri, sehingga melahirkan rasa takut yang mendalam (khasyyah). Semakin orang itu berilmu, semakin bertambah pula rasa takutnya. Para mufassir memberikan penjelasan mengenai ayat ini (QS. Fâthir/ 35: 28) sebagai berikut:

1. Ibnu Abbâs radhiyallâhu ‘anh menyatakan, bahwa yang disebut orang ‘âlim adalah orang yang mengetahui sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla Maha Kuasa atas segala sesuatu, dia tidak berbuat syirik, senantiasa menghalalkan yang halal, mengaharamkan yang haram, memelihara wasiatNya dan meyakini sesungguhnya semua amal perbuatannya akan diminta pertanggung jawaban.

2. Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anh mengatakan, bukanlah orang ‘âlim itu yang banyak periwayatan haditsnya saja, melainkan orang yang lebih banyak takutnya kepada Allah ‘azza wa jalla.

3. Imam Hassan al-Bashri rahimahullâh menyebutkan bahwa orang ‘âlim itu adalah orang yang takut pada yang Maha Rahmân dengan segala perkara ghaibNya, dia cinta terhadap apa yang Allah ‘azza wa jalla cinta dan dia pun benci terhadap apa yang dibenciNya.

4. Imam Mâlik rahimahullâh menuturkan, bukanlah orang ‘âlim itu ahlur riwâyah, melainkan orang yang tertanam di hatinya Allah ‘azza wa jalla. Ahmad bin Shalih al-Mishri menambahkan, bahwa takutnya seseorang kepada Allah ‘azza wa jalla tidak dapat diketahui dari banyaknya riwayat yang disampaikan, melainkan sejauhmana orang tersebut dapat menunaikan kewajibannya dengan mengikuti kitâbullah dan sunnah rasulNya, serta mampu melakukan napaktilas perjalanan para shahâbat dan orang-orang yang mengikuti mereka dari para imam kaum Muslimin.

5. Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullâh meriwayatkan dari Abi Hayyan at-Taimi dari seorang yang mengatakan bahwa orang-orang berilmu (yakni para ‘ulama) terdiri dari tiga golongan; Pertama, ulama yang mengetahui siapa Allah dan mengetahui perintahNya. Kedua, ulama yang mengetahui siapa Allah, namun tidak mengetahui perintahNya. Ketiga, ulama yang mengetahui perintah Allah, namun tidak mengetahui siapa Allah. Menurutnya, golongan pertama adalah golongan yang takut pada Allah ‘azza wa jalla dan mengetahui aturan-aturan serta kewajiban-kewajibanNya. Golongan yang kedua adalah golongan yang takut pada Allah ‘azza wa jalla, nemun tidak mengetahui aturan-aturan dan kewajibanNya. Dan golongan yang ketiga adalah golongan yang mengetahui aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban Allah ‘azza wa jalla, namun tidak memiliki rasa takut kepadaNya.

Dengan demikian, Ibnu Katsȋr menerangkan semuanya dengan menyimpulkan bahwa hanya para ulama yang mengetahui Allah secara sempurna dengan segala sifat dan nama-namaNya yang baik (al-asmâ’ul husnâ) itulah yang paling besar dan paling banyak rasa takutnya kepada Allah dengan sebenar-benarnya. (Lihat: Tafsîrul Qur’ânil ‘Azhîm: 3, hlm. 239).

Hal ini ditegaskan Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di sebagai berikut: “Setiap orang yang lebih banyak pengetahuannya tentang Allah ‘azza wa jalla, maka lebih besar pula rasa takutnya kepada Allah dan dia lebih berhak mendapatkan nikmat khasyyah tersebut, di mana rasa khasyyah itu dapat menolak berbagai bentuk kemaksiatan dan lebih siap untuk dapat berjumpa dengan yang ditakutinya, yaitu Allah ‘azza wa jalla. Semua itu menunjukkan akan keutamaan ilmu yang lebih banyak dimiliki oleh orang-orang yang takut kepada Allah dan memiliki banyak kemuliaan. Mereka itu pula yang dimaksud firman Allah QS. Al-Bayyinah/ 98: 8 berikut ini; “Mereka adalah orang-orang yang Allah ridhai, dan Allah pun ridha atas mereka. Yang demikian itu Allah berikan kepada orang-orang yang takut kepada Tuhannya.” (Lihat: Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di, Taisȋrul Karȋmir Rahmân fȋ Tafsȋril Kalâmil Manân, 1423: hlm. 689).

Demikianlah hakikat orang-orang yang berilmu, di mana mereka telah membuktikan dengan ketinggian ilmunya, di samping berhasil mengantarkan dirinya sebagai ahlul khasyyah (orang yang paling takut kepada Allah) dan ahlul karâmah (orang yang banyak mendapatkan kemuliaan), mereka pun mendapatkan predikat sebagai waratsatul anbiyâ’, yakni ahli waris para nabi. Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa saja yang menempuh suatu jalan karena mengharapkan ilmu, maka Allah tunjukkan baginya jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat akan meletakkan sayapnya, sebagai tanda ridha bagi para penuntut ilmu. Sesungguhnya orang berilmu (‘ulama) akan mendapatkan permohonan ampun seluruh makhluk langit dan bumi, hingga makhluk hidup yang ada di dasar air. Dan keutamaan orang berilmu dibanding hamba lainnya, bagaikan keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ‘ulama itu adalah ahli waris para nabi; karena para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mereka mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambil ilmunya, dia akan mendapatkannya dengan melimpah.” (HR. Abu Dâwud 5/ 47 no. 2682, At-Tirmidzi 3/ 313 no. 3641, Ibnu Mâjah no. 223, dari shahabat Abu Dardâ’ radhiyallâhu ‘anh).

Lahirnya Generasi Ulama yang Ilmuwan

Gemilangnya ummat masa lalu sangat ditentukan oleh ilmu dan amal mereka, semuanya sangat tergantung kepada proses pembelajaran yang mampu memadukan potensi dzikir (ketaatan dan keimanan terhadap ayat qauliyyah) dengan potensi fikir (tadabbur terhadap ayat kauniyyah) sehingga memunculkan ilmuwan-ilmuwan ûlul albâb yang bukan hanya sekedar sibuk dengan penemuan ilmiah semata, namun justru keilmuannya itu dapat lebih dapat meningkatkan kemajuan dan mendekatkan dirinya kepada Penciptanya dengan menyimpulkan tidaklah Allah ‘azza wa jalla menciptakan semuanya itu sia-sia. (perhatikan QS. Âli Imrân/ 3: 190-191). Maka tidak ada yang lebih berkuasa di dunia ini, melainkan Allah ‘azza wa jalla.

Dalam rangka mengejawantahkan kembali suasana ilmiah tersebut, sangat diharapkan adanya proses “Islamisasi pendidikan” di mana maraknya lembaga-lembaga pendidikan Islam unggulan saat ini (Pesantren Modern, Sekolah Terpadu, aktivitas Masjid Kampus, Pesantren Kampus atau Pesantren Luhur/ Ma’had ‘Âliy) dapat menjawab harapan itu. Selama kriteria ideal masih menjadi acuan, maka ummat Islam tidak akan pernah kekeringan “generasi unggulan.” Hilangnya kriteria ideal, berarti hilang pula generasi harapan. Fa’tabirû yâ ûlil albâb … Wallâhu a’lam
____________

✍ Disampaikan dalam Liqâ’ Maftûh Rijâlul Ghad dan Ummahâtul Ghad PPI 81 Cibatu Garut Jawa Barat (Hub. ppi81cibatu.sch.id) ***

Print Friendly, PDF & Email

3 Comments

Tinggalkan Balasan ke Fauzan suhada Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!