SEKULARISASI PENDIDIKAN (Sebuah Catatan Kritik)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Di antara tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan Islam itu adalah agar manusia menggapai “kebahagiaan dunia” dan “kebahagiaan akhirat.” Kedua-duanya bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan satu sama lainnya (antagonis), melainkan harus diseimbangkan dan diselaraskan, serta disikapi dengan adil. Baik kebahagiaan dunia maupun kebahagiaan akhirat (sa’âdatud dârain), keduanya harus ditempuh dengan ilmu. Maka lahirlah apa yang disebut “ilmu dunia” dan “ilmu akhirat.” Dengan ilmu dunia manusia dapat mengelola dan memelihara bumi dengan segala isinya, juga dengan ilmu akhirat manusia dapat mengetahui tujuan akhir hidupnya. Meminjam istilah Syaikh Abdurrahman Nâshir Sa’di, ilmu syar’i bersifat langsung tujuannya kepada Rabbul ‘âlamîn (maqâshid) dan ilmu dunia bersifat perantara manusia selama di bumi (wasâil).
Berlebihan dalam mementingkan ilmu dunia dengan menanggalkan ilmu akhirat sama rusaknya dengan lebih mementingkan ilmu akhirat dengan menanggalkan ilmu dunia. Oleh sebab itu bagi seorang hamba Allah, dunia dan akhirat bukanlah dua perkara yang harus dipisahkan, melainkan dua serangkai yang harus saling melengkapi dan lebur menjadi satu dengan susunan yang harmonis. Bukankah Allah ‘azza wa jalla (Dzat yang Maha memiliki dunia dan akhirat) berfirman dalam ayatNya: “Dan demikianlah Kami jadikan kamu suatu ummat yang seimbang, adil dan harmonis supaya kamu jadi pengawas bagi manusia dan Rasul jadi pengawas atas kamu.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 143)
Sekularisme; Upaya Memisahkan Agama dari Kehidupan Dunia
Secara historis, sekularisme merupakan paham atau aliran yang lahir di Barat, sebagai realisasi terhadap Kristianisme pada akhir abad pertengahan.
Ismail al-Kilany dalam bukunya Fashlud Dîn ‘anid Daulah menuturkan: “Sekularisme lahir dari pemikiran Barat, sebab di masyarakat mereka ada istilah negara dan gereja, sipil dan agama, ruh dan materi, kekuasaan gereja dan kekuasaan sipil atau duniawi, sekolah gereja atau agama dan sekolah umum atau dunia. Sekularisme merupakan kata-kata yang selalu dikaitkan dengan kehidupan duniawi, kata-kata itu tidak mempunyai kesucian bila disejajarkan dengan urusan gereja. Sedangkan dalam masyarakat Islam, tidak mengenal istilah tersebut. Sebab Islam mengatur semua sisi kehidupan, baik individu maupun sosial. Islam tidak mengenal pertentangan seperti dalam kehidupan masyarakat Barat dan memang tidak ada tempat bagi sekuralisme.” (Lihat: Sekularisme; Upaya Memisahkan Agama dari Negara, 1992: hlm. 209)
Di antara tandanya adalah, secara sadar memusatkan perhatian kepada masalah dunia serta mengasingkan dan menyisihkan peranan agama/wahyu dari berbagai kehidupan dan penghidupan manusia di dunia. Menurut Endang Saifuddin Anshari dalam kritiknya terhadap Nurchalis Madjid (1973), “tegasnya nilai-nilai Ilahi (agama wahyu) jangan dibawa-bawa menyelesaikan masalah dunia, negara dan masyarakat.”
Maka, sebagian peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Sekularisme merupakan ideologi yang ingin mewujudkan dominasi dunia pada semua sisi kehidupan (baik politik, ekonomi, sosial, moral, konstitusi dan lain-lain) jauh dari perintah-perintah agama serta larangan-larangannya. (Muhammad Syakir as-Syarîf, Al-‘Ilmâniyyât wa Tsamâruhal Khabîsat, tp. tahun: hlm. 8)
2. Sekularisme merupakan pandangan hidup (way of life) yang menyingkirkan nilai-nilai agama (salah satunya Islam) dari perikehidupan dan penghidupan manusia di dunia. (Abdul Qadir Djailani, Sekularisme Versus Islam, 1999: hlm. 2)
Sebagai pandangan hidup, sekularisme memiliki sistem keyakinan (kepercayaan), sistem pemikiran, sistem filsafat, sistem sains dan teknologi serta sistem ideologi.
Sekularisasi Pendidikan
Sebagian kalangan ada yang mengkaitkan sekularisasi dengan ilmu, di mana ‘ilmâniyyat diterjemahkan secara umum dalam bahasa Arab dengan “sekularisme.” Terjemahan sekularisme sebagai paham keilmuan (al-Madzhab al-‘Ilmi) menurut para ahli ilmu jelas keliru, karena al-‘ilmu diterjemahkan dalam bahasa Inggris atau pun Prancis dengan science. Maka seorang yang berilmu, tidak dikatakan sebagai secularism melainkan scientism. (Muhammad Abdul Hadi al-Mishri, Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah minal ‘Ilmâniyyat, 1412: hlm. 11)
Dengan demikian, tidak ada kaitan antara ilmu dengan ‘ilmâniyyat. Karena itu, yang lebih tepat untuk terjemahan sekularisme adalah “dunyâwiyyat” (faham keduniawian) atau “al-lâdîniyyat” (faham yang mengabaikan agama, bahkan tidak beragama). Di antara tokoh yang mempopulerkan dan menegaskan bahwa sekularisme itu adalah “Al-Lâdîniyyat” adalah Dr. Mohammad Natsir dalam bukunya Ikhtârû Ihdas Sabîlain; ad-Dîn auw al-Lâdîniyyat (1972)
Terkait dengan pendidikan, bahwa dalam sekularisme antara moral dan pendidikan seharusnya tidak berlandaskan pokok-pokok ajaran agama. Hal ini sangat jelas bertentangan dengan target dan tujuan pendidikan dalam Islam, di mana dunia dipandang sebagai ladang untuk bercocok tanam. Bukan hanya dapat dinikmati hasilnya di dunia, melainkan dipetik pula di negeri akhirat.
Semua itu menunjukkan, dalam Islam tidak ada dikotomi antara ilmu dunia dan ilmu akhirat, tidak ada pemisahan antara moral agama dan pendidikan. Melainkan keduanya saling berpadu, bersinergi membangun keserasian. Di antara contoh konkrit yang dapat dijadikan pelajaran dari kegagalan sekularisasi pendidikan dan pengaruhnya terhadap moral dan mental manusia di Barat. Sebagaimana dikutip Mohammad Natsir, dapat diperhatikan dari peristiwa tragis yang dialami oleh Prof. Paul Ehrenfest (Fisikawan Barat) yang menulis surat (sebelum bunuh diri dan membunuh anak semata wayangnya) kepada teman sejawatnya Prof. Kohnstamm dengan mengatakan: “Mir fehlt das Gott vertrauen. Religion is noeting. Aber wem sie nicht moeglich ist, der kann eben zugrunde gehen.” Artinya: “Yang tak ada pada saya ialah kepercayaan kepada Tuhan. Agama adalah perlu, tapi barang siapa yang tak mampu memiliki agama, ia mungkin binasa kerana itu.” (Lihat: Capita Selecta, 1973: hlm. 141-142)
Peristiwa ini membuktikan kegagalan sistem pendidikan liberal dan sekular yang hanya menekankan kepada kepentingan intelektualisme dan individualisme semata. Dalam pendidikan liberal sekular, keindividuan begitu ditekankan dan pendidikan juga dipisahkan dari nilai-nilai keagamaan. Tentang kegagalan pendidikan liberal dan sekular ini, Khursid Ahmad mengatakan bahwa: “Pendidikan dipisahkan dari agama dan nilai-nilai akhlaq. Kebebasan menjadi buah mulut. Sistem pilihan diperkenalkan supaya sesuai dengan mata pelajaran dan sukatan pelajaran. Ditegaskan bahawa seseorang pelajar harus diberi kebebasan yang cukup untuk membesar dan membangun menurut bakat dan kemampuannya tanpa membiarkan sebarang pengaruh luar membentuk pemikiran atau wataknya dalam acuan yang sudah disediakan. Pendidikan seumpama ini berleluasa di Amerika Syarikat dan beransur-ansur diterima oleh negara-negara Eropa juga.” (Lihat: Mohammad Noer, Jurnal Pendidikan Islam [dalam Bahasa Melayu], jilid 8, 1999: hlm. 13-14)
Sebagai agama yang komprehensif dan integral (syâmil-mutakâmil), Islam hanya mengenal pemisahan itu pemisahan antara al-haq dan al-bâthil tanpa memandang teritorial tertentu. Karena itu, yang menjadi persoalan bukan terletak pada pendidikan Arab-Non Arab maupun pendidikan Barat dan Timur-nya, melainkan pendidikan integral yang mampu memadukan wahyu dan akal, jasmani dan rohani dalam menuju kesempurnaan sifat-sifat manusia yang sesungguhnya dengan berbasiskan tauhîd. Allâhumma faqqihnâ fid dîn … Rabbanâ zidnâ ‘ilman warzuqnâ fahman
_____
*) Makalah ini disampaikan pada Halaqah Mudarrisîn di Pesantren Persatuan Islam Cibatu Garut dan Guru-guru di Lingkungan Pendidikan Terpadu Pusdiklat Dewan Da’wah Bekasi Jawa
Barat