Sabtu, Desember 7MAU INSTITUTE
Shadow

MANUSIA DAN PENDIDIKAN (Menyoal Issue Meluruskan Fungsi)

MANUSIA DAN PENDIDIKAN (Menyoal Issue Meluruskan Fungsi)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien


Membicarakan manusia, berarti berbicara tentang unsur-unsur yang ada pada diri manusia. Mengetahui hal ini menjadi penting, terkait dengan hajat hidup manusia yang mendapatkan kepercayaan Tuhan sebagai makhluq yang harus mengarungi kehidupan di muka bumi. Keberadaannya tidaklah muncul secara tiba-tiba dengan sendirinya, melainkan ada yang mencipta. Karenanya, mengetahui asal kejadian manusia dan bagaimana penciptaannya serta untuk apa manusia dicipta, akan memberikan jawaban mengapa manusia harus ada dan apa hakikat manusia itu?

Hubungannya dengan pendidikan, dikarenakan pendidikan itu hakikatnya kehidupan. Dan setiap kehidupan tidak dapat dilepaskan dari berbagai macam pengaruh yang dapat mempengaruhinya, baik pengaruh bawaan atau pengaruh lingkungan, bahkan pengaruh keduanya. Apabila seseorang mampu mengejawantahkan hidupnya sesuai cara pandang hidupnya itu, berarti itulah falsafah hidupnya.

Hakikat Manusia Menurut Islam

Yang dimaksud hakikat manusia menurut Islam, adalah bagaimana Islam memandang hakikat manusia, bukan bagaimana manusia Islam (baca: seorang Muslim) memandang apa itu manusia. Dengan demikian, untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai manusia, perlu merujuk kepada yang menciptakan manusia, yaitu Tuhan yang mengajarkan Islam kepada manusia dengan segala rinciannya sebagaimana dalam firman-firmanNya. Misalnya dalam Al-Qur`an surat al-‘Alaq/ 96: 2 yang menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan Allah ‘azza wa jalla dari segumpal darah, Al-Qur`an surat at-Thâriq/ 86: 5-7 yang menjelaskan agar manusia memperhatikan dari apa mereka dicipta, lalu dijawab oleh Allah sendiri “dari air yang memancar” yang keluar dari tulang rusuk dan tulang dada. Begitu pula dalam surat ar-Rahmân/ 55: 3-4 yang menjelaskan bahwa Tuhanlah yang menciptakan manusia dan mengajarnya pandai berbicara. Maka dapat disimpulkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan yang Maha pencipta.

Bagaimana proses penciptaannya, maka Allah mengutus nabiNya untuk menjelaskan kepada ummat manusia. Karena Nabi itu diutus atas kehendak Allah, maka apa yang disampaikannya wajib diimani selama yang disampaikannya itu adalah khabar yang shahîh. Sebagaimana diceritakan Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ûd radhiyallâhu ‘anh, bahwa Nabi shalallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya empat puluh hari dalam bentuk mani, kemudian menjadi segumpal daging dalam waktu yang sama. Kemudian diutuslah malaikat kepadanya untuk meniupkan ruhnya …” (Muhyiddîn Abi Zakariya bin Syaraf an-Nawawy, Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah Fil Ahâdîts as-Shahîhah an-Nabawiyyah [Imam Daqîqil ‘Ied], 2001: hlm. 69)

Semua ini, cukup menggambarkan bahwa kemakhluqkan manusia itu benar-benar menunjukkan ciptaan Tuhan yang merupakan salah satu hakikat wujud manusia. Sedangkan hakikat wujud yang lain, berupa perkembangan yang dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan sebagaimana telah disebutkan. Adapula yang menyebutkan bahwa: “Setiap manusia lahir dalam keadaan fithrah” memiliki pengertian bahwa manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan atau potensi, kemampuan itulah yang disebut pembawaan. Maka kata “fa abawâhu; tergantung ayah dan ibunya” itu maksudnya lingkungan. Pengaruh itu terjadi baik pada aspek jasmani, akal dan rohani. Aspek jasmani banyak dipengaruhi alam fisik (selain oleh pembawaan), aspek akal banyak dipengaruhi oleh lingkungan budaya (selain oleh pembawaan) dan aspek rohani banyak dipengaruhi oleh keduanya (selain oleh pembawaan). (Lihat: Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektik Islam, 2007: hlm. 35)

Di samping itu, manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan lainnya, baik kecenderungan menjadi orang baik (taqwâ) atau kecenderungan menjadi orang jahat (fujûr). Namun demikian, Allah memberikan ketegasan bahwa “Alangkah beruntung orang yang membersihkan jiwanya” dan “Alangkah merugi orang yang mengotori jiwanya.” Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sebagaimana dijelaskan Muhammad Uwais an-Nawawi dalam Tafsîr Al-Qayyim menjelaskan: “Sungguh beruntung orang yang mengagungkan dan meninggikan dengan ketaatan kepada Allah. Dan sungguh merugi orang yang melakukan kemaksiatan kepadaNya.” (Lihat: Tafsîr Al-Qayyim, 2007: hlm. 397)

Itu artinya, manusia memiliki kecenderungan beragama. Menurut As-Syaibani, manusia memerlukan keimanan kepada Dzat tertinggi yang Maha unggul di luar dirinya dan di luar dari alam benda yang dihayati olehnya. Dengan mengutip pandangan Hanry Bergson: “Boleh jadi wujud dan dapat diketemukan suatu kelompok manusia yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, kesenian atau falsafah tertentu. Tetapi tidak ada suatu kelompok manusia pun yang tidak punya agama.” Sebab kesadaran dan naluri beragama itu suatu yang thabi’i, baik yang tidak sepakat dengan agama maupun yang tinggi dan kuat pegangan agamanya, agama-agama akan terus wujud selagi tetap ada wujud insan. (Omar Mohammad at-Toumy as-Syaibâni, Falsafah Pendidikan Islam, 1979: hlm. 122)

Tegasnya, sangat mustahil seseorang itu tidak memiliki kecenderungan untuk beragama.

Kaitan Manusia dengan Pendidikan Islam

Terkait dengan pendidikan Islam, yaitu mencari tahu bagaimana Islam mengatur, mengarahkan dan mempraktikkan pola pendidikan yang dapat melahirkan manusia-manusia Muslim yang sempurna. Maka, ketika membicarakan pendidikan Islam yang lebih dalam, yang harus lebih didahulukan itu adalah bagaimana memahami inti manusia itu sendiri. Hal ini diakui oleh hampir seluruh pengkaji masalah pendidikan, di mana pembahasan tentang hakikat manusia selalu didahulukan. Tidak terkecuali tokoh-tokoh Barat seperti halnya Socrates (470-399 SM), Plato (meninggal tahun 347 SM), Rene Descartes (1996-1650 SM), Thomas Hobbes (1588-1629), John Locke (1623-1704) dan Immanuel Kant (1724-1804).

Adapun dalam pandangan Islam, sebagaimana dijelaskan As-Syaibani, Abdul Fattah Jalal, Muhammad Quthb dan pakar Muslim lainnya disebutkan bahwa manusia itu terdiri atas unsur jasmani, akal dan rohani yang ketiganya sama pentingnya untuk dikembangkan. Konsekuensinya, maka pendidikan harus dipola (design) untuk mengembangkan ketiga unsur tersebut. Maka, penting untuk dicermati pemenuhan terhadap kebutuhan geraknya badan/jasmani (riyâdhatul abdân), kerjanya akal (riyâdhatul adzhân) dan olah rasa/ hati/ jiwa (riyâdhatul anfus) sebagaimana dijelaskan Muhammad Sa’ad al-Qazzâz (dalam Al-Ittijâh as-Salafi fit Tarbiyah al-Islâmiyyah ‘inda Syaikhil Islâm Ibni Taimiyyah: 2008), akan memaksimalkan terhadap tujuan pendidikan itu sendiri. Artinya, keberhasilan dalam upaya “memanusiakan manusia” sangat tergantung kepada sejauhmana kemampuan seseorang atau kelompok (pendidik, penyelenggara dan pihak lain yang berwenang terkait pendidikan) mampu memenuhi ketiga unsur tadi. Rabbanâ zidnâ ‘ilman warzuqnâ fahman
____

*) Makalah ini disampaikan pada Halaqah Mudarrisîn di Pesantren Persatuan Islam Cibatu Garut dan Guru-guru di Lingkungan Pendidikan Terpadu Pusdiklat Dewan Da’wah Bekasi Jawa Barat

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!