PENDIDIKAN NILAI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Ketika membicarakan nilai dalam perspektif agama (dalam hal ini Islam), berarti kita sedang mendiskusikan sebuah keyakinan yang menjadi pilihan dalam melakukan tindakan dengan patokan normatif yang telah ditentukan oleh wahyu Allah ‘azza wa jalla dan sabda NabiNya.
Tidak kurang dari 15 definisi terkait nilai, Rohmat Mulyana menariknya menjadi satu kesimpulan definisi yang mewakili, yaitu: “Rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.” (Lihat: Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 2004: hlm. 8 – 11)
Kaitannya dengan pendidikan nilai adalah bagaimana Islam memiliki aturan, norma, keyakinan, pegangan, moral, etika dan lain-lain yang harus diberikan dalam dunia pendidikan berdasarkan paradigma wahyu dan sabda nabiNya itu. Dikarenakan begitu lengkap dan menyeluruhnya apa yang diajarkan Islam, maka bisa dikatakan bahwa Islam merupakan nilai yang universal. Dikatakan pendidikan nilai dalam Islam, berarti nilai pendidikan itu sendiri.
Islam Sebagai Nilai yang Universal
Banyak teks-teks wahyu atau pun sabda Nabi yang menunjukkan bahwa Islam memiliki nilai yang menyeluruh. Di antaranya:
Pertama, Islam mengajarkan nilai-nilai luhur. Semuanya dikaitkan dengan “sosok pilihan” yang ditunjuk Allah ‘azza wa jalla dengan ciri-ciri tertentu yang membawa tugas trifungsi kenabian (tilâwah, tazkiyah dan ta’lîm), di mana ketiganya merupakan unsur-unsur yang dapat merubah alam kegelapan (zhulumâtul jâhiliyyah) menjadi alam terang benderang (nûrul hidâyah) (QS. Al-Jumu’ah/ 62: 2), keperibadian Nabi yang dihiasi akhlak yang agung (khuluqin ‘azhîm) (QS. Al-Qalam/ 68: 4).
Ditambah lagi dengan kesaksian para shahabatnya, terlebih istrinya. Salah satunya ‘Aisyah binti Abu Bakar radhiyallâhu ‘anh yang menyebutkan bahwa “Akhlak Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam itu adalah cerminan al-Qur`an.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anh). Kemudian dikuatkan lagi dengan perkataan Nabi sendiri yang menuturkan bahwa: “Hanya saja aku diutus untuk manusia dalam rangka menyempurnakan akhlak.” (HR. Mâlik dalam Al-Muwaththa’ dan Ahmad dalam Al-Musnad). Hal ini dibuktikan oleh Nabi sendiri yang dalam kehidupan sehari-harinya seperti cinta kejujuran, kasih sayang, gotong royong dan masih banyak lagi. Imam Tirmidzi memaparkan sikap, sifat dan karakteristik Rasûlullâh secara lengkap dalam kitabnya As-Syamâilul Muhammadiyyah yang diringkas Syaikh Muhammad Zamil Zeeno menjadi Al-Mukhtashar minas Syamâilil Muhammadiyyah.
Di samping itu, ibadah-ibadah dalam Islam tidak hanya mengandung unsur ritual belaka, namun memiliki nilai-nilai kemanusian pula. Misalnya shalat, dapat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS. Al-Ankabût/ 29: 45), zakat dapat membersihkan dan mensucikan jiwa (QS. Al-Taubah/ 9: 103), shaum agar manusia bertakwa (QS. Al-Baqarah/2: 183) dan masih banyak yang lainnya.
Kedua, Islam menjadi satu-satunya agama yang menyerukan ajarannya secara universal (QS. Al-Anbiya’/ 21: 107). Ini terbukti, sekalipun ajarannya banyak dianut di berbagai tempat, namun konsepsi ajarannya tetap sama.
Ketiga, secara historis dapat dibuktikan, Madinah al-Munawwarah di samping menjadi kota para shahabat yang memiliki nilai-nilai luhur dan bermoral, juga dapat menampilkan wajah Islam yang sangat menghargai kemajemukan masyarakatnya (sikap ini dapat dibuktikan dalam butir-butir “Piagam Madinah”).
Keempat, Islam memiliki model manusia yang paling bernilai, yaitu Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam sendiri yang menjadi “sumber keteladanan” (uswah hasanah) sebagaimana dijelaskan QS. Al-Ahzâb/ 33: 21, sehingga masyarakatnya pun menjadi masyarakat yang bermartabat dan memiliki nilai terbaik (khairu ummah).
Khairu Ummah; Cerminan Masyarakat Bernilai
Khairu ummah (sebaik-baiknya ummat), sebagaimana termaktub dalam QS. Ali-Imrân/ 3: 110, mengandung beberapa pengertian, di antaranya:
Pertama, mereka yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam yang menuturkan: “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya, kalian membebaskan orang-orang yang dirantai lehernya, lalu mereka masuk Islam.” Demikian pula dikatakan Ibnu ‘Abbâs, Mujâhid, ‘Athiyah al-Aufy, ‘Ikrimah, ‘Athâ` dan Rabî’ bin Anas, sebagaimana riwayat Al-Bukhâri dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anh.
Kedua, mereka yang aqra’ (paling banyak membaca, menghafal, menelaah dan memahami kitâbullâh), atqâ (paling bertakwa), âmuruhum bil ma’rûf wa anhâhum ‘anil munkar (memerintahkan kebaikan sesama mereka dan mereka saling mencegah kemungkaran) dan aushiluhum lir rahmi (paling banyak menyambungkan persaudaraan). (HR. Imâm Ahmad dari Durrah binti Abî Lahab radhiyallâhu ‘anh).
Ketiga, mereka yang ikut hijrah bersama Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah ke Madinah. (HR. An-Nasâ`i dan Al-Hâkim dari Samâk, dari Saîd bin Jubair dan Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ).
Dan masih banyak riwayat lainnya, yang menyebutkan pujian Rasûlullâh kepada ummat pilihannya sebagai “khairu ummah.” Yang jelas, kata Ibnu Katsîr bahwa QS. Ali ‘Imrân/ 3: 110 itu bersifat umum, mencakup ummat seluruh zaman. Namun demikian, sebaik-baiknya generasi adalah generasi di mana Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam ada di tengah-tengah mereka (shahâbat), kemudian generasi yang mengikutinya (tâbi’în) dan generasi berikutnya (tâbi’ut tâbi’în). (Lihat: Tafsîr Al-Qur’ânul ‘Azhîm, 1421: 1, hlm. 536)
Semua itu menunjukkan, bahwa menjadi generasi terbaik ummat, tidak hanya bisa dilakukan tiga zaman yang diutamakan tadi (al-qurûnus tsalâtsah al-mufadhdhalah), melainkan ummat segala zaman selama mereka memiliki nilai-nilai sebagaimana yang dianut oleh generasi sebelumnya yang shalih.
Berikutnya, layak kita renungkan dialog Rasûlullâh shalallâhu ‘alaihi wa sallam dengan para shahâbatnya mengenai standar keimanan seseorang. Rasûlullâh bertanya: “Siapakah orang mukmin yang paling menakjubkan keimanannya?” Para shahâbat menjawab: “Malaikat.” Lalu Nabi mengatakan: “Bagaimana mereka tidak beriman, sementara mereka ada di sisi TuhanNya.” Kemudian shahâbat menjawab lagi: “Kalau demikian, mungkin kami (para shahâbat).” Lalu Nabi mengatakan: “Bagaimana kalian tidak beriman, sementara aku (Rasûlullâh) ada di tengah-tengah kalian.” Kemudian para shahâbat balik bertanya: “Kalau demikian, manusia mana yang paling menakjubkan keimanannya?” Nabi menjawab: “Suatu kaum yang datang setelah kalian, di mana mereka mendapatkan shuhuf (lembaran-lembaran kitâbullâh), lalu mereka beriman kepada isinya.” (Lihat: Tafsîr Al-Qur’ânul ‘Azhîm, 1421: 1, hlm. 531)
Lebih tegas, As-Syaukâni menukil kesimpulan Mujâhid, bahwa ummat Muhammad shalallâhu ‘alaihi wa sallam disebut khairu ummah, manakala mereka menunaikan nilai-nilai yang menjadi syarat sebagaimana yang ditunjukkan ayat itu. Tidak ditunaikannya syarat-syarat tersebut, hilang pula predikat khairu ummahnya. (Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad as-Syaukâni, Fathul Qadîr, 1417: 1, hlm. 472)
Dengan demikian, baik buruknya suatu ummat, bernilai dan tidaknya sangat tergantung kepada acuan, pegangan, keyakinan, norma, tindakan dan moral mereka.
Husnul Khalq wa Husnul Khuluq; Standar Nilai Islami
Untuk menyebut unsur jasad, beberapa keterangan teks wahyu menyebutnya dengan kata al-khalq, sedangkan untuk unsur jiwa dengan kata al-khuluq. Menurut Ibnu Manzhûr, yang disebut dengan al-khuluq adalah wujud manusia yang tersembunyi yaitu jiwa, baik sifat-sifatnya atau pun karakteristiknya yang khusus. Berbeda dengan al-khalq, yaitu wujud manusia yang tampak, baik sifat-sifatnya atau pun karakteristiknya. Masing-masing keduanya memiliki nilai baik dan nilai buruk. (Lihat: Lisânul ‘Arab, 1990: 10, hlm. 86)
Yang membedakan keduanya, menurut Al-Ashbahani sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al-Asqalani, al-khalq dan al-khuluq pada asalnya satu makna. Al-khalq dikhususkan bagi setiap yang wujud, bentuk dan rupanya dapat dijangkau oleh pandangan mata (al-bashar), sedangkan al-khuluq dikhususkan bagi setiap tabi’at dan karakter yang hanya dapat dijangkau oleh pandangan hati (al-bashîrah). (Lihat: Mu’jam Mufradât Li Alfâzhil Qur’ân, tp. tahun: hlm. 159 dan Fathul Bâri, 1412: 10, hlm. 457)
Maka secara ringkas, dapat dikatakan al-khalq bersifat fisik, sedangkan al-khuluq bersifat psikis. Agar keduanya memiliki nilai yang baik, maka Islam mengajarkan manusia yang beriman senantiasa memohon kepada yang menciptakan keduanya (Rabbul khalq wal khuluq) untuk mengikuti sunnah nabi-Nya setiap kali melihat wujud dirinya dengan tuntunan do’a Allâhumma kamâ hassanta khalqî fa hassin khuluqî; “Ya Allah sebagaimana Engkau telah membaguskan ragaku maka baguskanlah akhlakku.” (HR. Ahmad dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ).
Terkait dengan pendidikan nilai yang sedang kita diskusikan, maka yang disebut nilai baik dan buruk menurut Islam adalah apabila suatu acuan, pegangan, keyakinan, norma, tindakan dan moral ditakar menurut timbangan wahyu Allah ‘azza wa jalla dan sabda nabiNya. Allâhumma âti taqwâhâ wa zakkâhâ Anta khairun man zakkâhâ.
_____
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqîdah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Haddâmah Pusat Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAI Persatuan Islam Jakarta.