FIQIH KENORMALAN BARU (Menafsir Arti Memakna Kata)
Diadaptasi dari Diskusi Virtual bersama Bapak H. Edi Setiawan, SE, MM. (Pengurus Badan Waqaf Dewan Da’wah)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Menyelaraskan “Hidup bersama Covid-19”, itulah kata kunci diskusi kita kali ini. Senang atau tidak senang, suka atau tidak suka semua kita masih berada di tengah-tengah kondisi pandemi tersebut. Sekalipun perkembangan di beberapa negara mengalami perubahan, namun hampir seluruh dunia merasakannya. Tidak terkecuali di Indonesia, yang sampai hari ini belum bisa dinyatakan sirna 100%. Artinya, kita dituntut selalu waspada karena di sekitar
kita bahaya virus tersebut bisa mengancam kapan saja dan menyebabkan penularan yang masif. Untuk itulah, pemerintah mencanangkan gerakan hidup kenormalan baru yang populer disebut dengan New Normal.
Untuk mengawal kondisi ini, protokoler kesehatan dan kesiagaan sosial pun diberlakukan, di mana seluruh lapisan masyarakat dihimbau untuk memperhatikan langkah-langkah berikut:
1. Menjaga kebersihan dengan senantiasa mencuci telapak tangan dengan sabun pembersih.
2. Selalu memakai hand sanitizer setelah melakukan aktivitas.
3. Senantiasa memakai masker.
4. Menjaga phisical distancing dan social distancing dengan menghindari kerumuman dan menjaga jarak.
5. Menjaga suasana kejiwaan untuk tidak mengalami stress.
Sebagai upaya pencegahan dari penularan, kiat-kiat tersebut cukup membantu. Namun, bagi seorang Muslim tidaklah cukup berhenti sampai di situ. Melainkan pola-pola holistic yang berpijak pada aturan atau adab yang ditentukan agama hendaknya menjadi perhatian, di mana pola hidup “Islami” yang ditunjukkan Allah ‘azza wa jalla dan rasulNya menjadi pilihan yang dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya wabah, lalu diiringi dengan upaya new normal, dapat menjadi momentum tepat untuk berikhtiar memulai pola hidup baru yang terbimbing dengan tauhîdullâh itu. Dikatakan kenormalan baru, bagi kaum Muslimin berarti “menuju pola hidup Islami”.
Pengertian “pola hidup”, adalah suatu bentuk atau model kehidupan/ kerangka kehidupan yang memiliki keteraturan. Dengan kesuciannya (bukan sekedar bersih), maka “Pola kehidupan Islami” akan menjadi dasar manusia dalam menjalankan kehidupan sehari harinya
di segala bidang. Di samping dicintai Allah (Lihat QS. 2/ 222), kehidupan yang suci bersih itu pun merupakan fithrah yang diturunkanNya untuk seluruh manusia. Ayat serupa, Allah ‘azza wa jalla menuturkan pula pada QS. At-Taubah/ 9 : 108.
Selain itu, banyak hadits Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang menguatkan pola hidup yang baik ini, di antaranya:
الطهور شطر الإيمان
“Bersuci itu separuh keimanan.” (HR. Muslim)
إن الله جميل يحب الجمال
“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.” (HR. Muslim, Ahmad dan Al-Hakim)
Bahkan begitu sangat familiarnya hadits-hadits terkait pola hidup bersih, melahirkan mahfûzhat yang telah tertanam sejak usia dini النظافة من لإيمان “Kebersihan itu bagian dari iman”. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Bazz rahimahullâh mengomentari kalimat ini: “Diriwayatkan Imam Tirmidzi dengan sanad yang dhaif, namun maknanya shahih (benar)”. Menurutnya, makna At-Tathhîr (bersuci), menunjukkan perintah menjaga kebersihan dari kotoran. Bahwa seorang mukmin tidak meninggalkan kotoran pada pakaian dan badannya. Tetapi hendaknya ia menghilangkan kotoran itu, begitu juga saat ia di jalan, ia menyingkirkan gangguan yang membahayakan dari jalan agar kaum Muslimin tidak celaka dengan sebab itu. Bahkan Syaikh Yusuf Qaradhawi menuturkan, kebersihan adalah salah satu unsur penting dalam perilaku beradab. Tegasnya, Islam menganggap kebersihan sebagai suatu sistem peradaban di samping bernilai ibadah.
Seorang ulama klasik Imam Abu Hamid Al-Ghazali, membagi suci itu menjadi empat tahapan; Bersuci dari hadats dan najis secara lahiriah, bersuci dari segala jenis kejahatan dan dosa agar dapat berakhlaq yang terpuji, menyucikan hati dari Akhlaq yang tercela, dan menyucikan jiwa dari sesuatu selain Allah.
Demikianlah ajaran Islam yang mulia, sejak lima belas abad silam, Rasûlullâh telah memberikan bimbingan “budaya hidup bersih”.
Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anh memberikan kesaksiannya dengan kalam Nabi yang mulia: “Bersihkanlah segala sesuatu semampu kamu, sesungguhnya Allah Ta’ala membangun Islam ini atas dasar kebersihan. Dan tidak akan masuk surga, kecuali setiap mereka yang bersih.” (HR. Ath-Thabarani).
Imam Ibnu Qayyim rahimahullâh memberikan ulasan penjelasan: “Untuk membersihkan kotoran-kotoran dosanya, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka sebagai kasih sayang Allah Ta’ala terhadap hak orang tersebut untuk dibersihkan di dalam neraka. Api neraka akan menjadi pembersih dosa baginya dan menghilangkan kotoran dosa-dosanya. Dia akan tinggal di dalam neraka sesuai dengan banyak sedikitnya kotoran dosanya. Sesuai dengan tingkat kesusahan dan mudahnya kotoran dosa benar-benar terlepas darinya. Apabila telah keluar dan bersih dosanya, maka jadilah dia orang yang bersih dari dosa dan menjadi orang yang baik (suci), Allah pun akan mengeluarkan dia dari neraka dan memasukkan ke dalam surga.” (Lihat: Madârijus Sâlikîn 1/ 463-468).
Hidup sehat lahir dan batin merupakan satu cara untuk menjaga kesehatan prima, selain itu merupakan nikmat
Allah yang patut disyukuri oleh manusia.
Mulai dari kebersihan material seperti halnya berwudhu dan mandi, agama pun menegaskan pentingnya kebersihan jiwa. Wudhu dengan berbagai rukunnya, juga beragam sunnah berwudhu selain hendak menunaikan shalat (di antaranya berwudhu sebelum tidur, lekas berwudhu ketika marah). Mandi dengan segala rukun dan varian mandi; mandi janabat,
mandi haidh,
mandi nifas, mandi janazah, mandi jum’ah, mandi hari raya, mandi sebelum ihram umrah dan haji, mandi bagi orang kafir yang masuk Islam dan mandi bagi orang yang baru sembuh dari penyakit gila. Juga sunnahnya membersihkan tangan dengan menyelahinya, membersihkannya sebelum dan sesudah makan.
Lebih lengkapnya ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha memaparkan sabda rasulNya: “Ada sepuluh macam fithrah yaitu; memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air ke hidung (istinsyâq), memotong kuku, membasuh persendian/ menyelahinya, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, membersihkan dari najis (istinja’) dengan air. Dan riwayat lain menambahkan berkumur (madhmadhah).” (HR. Muslim, Abu Dâwud, At Tirmidzi, An-Nasâi dan Ibnu Majah)
Dalam riwayat yang berbeda lebih ringkas lagi, Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anh menuturkan sabdanya: “Ada lima macam fithrah, yaitu: berkhitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain itu, Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan terkait kebersihan pakaian dan keasrian lingkungannya. Jabir bin Abdullah radhiyallâhu ‘anh menceritakan: “Rasûlullâh mendatangi kami dan beliau melihat seorang berdebu dan rambutnya terburai. Maka beliau mengatakan: Apakah dia tidak mendapatkan sesuatu yang dapat merapikan rambutnya? Beliau pun melihat orang lain memakai baju kotor, maka beliau pun bertutur: Apakah dia tidak mendapatkan apa yang dapat mencuci bajunya?”
Dalam hal menjaga lingkungan dan tempat tinggal, Rasûlullâh pun pernah mengisyaratkan himbauannya: “Takutlah kamu dengan tiga hal terkutuk, yaitu: buang hajat pada sumber air, tempat berlalunya manusia dan pada tempat berteduh.“ (HR. Abu Dâwud).
Demikian juga perhatian Rasûlullâh terhadap kebersihan rumah dan halamannya, beliau pun mengingatkan: “Sesungguhnya Allah itu baik, menyukai sesuatu yang baik. Allah itu suci (bersih) dan menyukai sesuatu yang bersih. Allah itu mulia dan menyukai kemuliaan. Allah itu penderma dan menyukai kedermawanan. Maka bersihkanlah teras rumahmu dan janganlah menyerupai kaum Yahudi.“ (HR. Tirmidzi)
Dengan beragam teks wahyu dan riwayat yang ada, menunjukkan betapa Islam senantiasa menyiapkan segala solusi (makhrajan) kehidupan pada kondisi zaman bagaimana pun. Kalaulah selama ini banyak kalangan yang memojokkan Islam sebagai agama terbelakang dan tidak solutif, justeru di masa pandemi global dengan segala proses yang dilaluinya (termasuk memasuki era kenormalan baru), dunia mengakui hanya Islamlah yang benar-benar memiliki konsep pemulihan “pola hidup baru” di tengah-tengah wabah yang belum jelas kapan berakhirnya. Hanya manusia yang memiliki nurani yang tinggi dengan kesadaran penuh bahwa agama Allah ini ya’lû wa lâ yu’lâ ‘alaih.
____
*) Ditulis oleh Alfaqîr fillâh pada hari Kamis, 02 Juli 2020 di kediaman Pusdiklat Dewan Da’wah Setiamekar Tambun Selatan Jawa Barat sebagai bahan diskusi berikutnya di Madrasah Ghazwul Fikri Pusat Kajian Dewan Da’wah