AGAMA; ANTARA AD-DÎN DAN AL-MILLAH
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Belakangan ini merebak kembali ungkapan “Semua ajaran agama benar“. Pandangan ini pun beranak pinak, melahirkan pandangan-pandangan turunannya; di antaranya ungkapan “Tidak dibenarkan menyalahkan pandangan keagamaan orang lain” atau “Tidak benar menilai salah atau keliru terhadap pandangan agama atau keyakinan orang lain”. Dan paling terbaru, adalah perkataan “Islam itu bukan agama, melainkan ketundukkan, kepasrahan, keadilan dan persamaan; tidak ada istilah kafir, fasiq, munafiq dan musyrik”.
Ungkapan-ungkapan tersebut, tentu sangat ganjil dan rancu, karena tidak ada seorang penganut agama mana pun yang akan membenarkan semua keyakinan, melainkan pasti berpegang pada satu-satunya keyakinan yang dianutnya sebagai credo. Terlebih dalam Islam, seorang Muslim wajib memiliki keyakinan “Hanyalah Islam satu-satunya agama yang benar” sebagai keyakinan iman.
Dalam banyak ayat, Al-Qur’an memaparkan kebenaran itu mutlak. Di antaranya Allah ‘azza wa jalla berfirman:
1) “Sesungguhnya agama di sisi Allah itu adalah al-Islam.” (QS. Ali ‘Imran/ 3: 19).
2) “Siapa cenderung memilih agama selain Islam, maka tidak akan diterima.” (QS. Ali ‘Imran/ 3: 85).
3) “Sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini, maka jangan sekali-kali kamu mati, melainkan dalam keadaan Muslim.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 132).
4) “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu …” (QS. Al-Hajj/ 22: 78).
5) “Hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan nikmatKu untuk kalian, serta Aku ridha untuk kalian Islam sebagai agama.” (QS. Al-Maidah/ 5: 3)
Karenanya, sudah tepat apabila para ahli ilmu mendefinisikan Ad-dîn dengan “Apa-apa yang telah ditetapkan Allah dalam kitab dan sunnah nabi-Nya yang shahih, di dalamnya mengandung perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk bagi kebaikan manusia di dunia dan akhirat”. Al-Jurjani menyebutnya dengan “Ketetapan Ilahy yang mendorong semua yang memiliki akal bisa menerima apa yang terjadi dan dilakukan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.” Intinya, segala yang datang dari Allah dan nabiNya (wahyu) itulah agama yang sebenarnya (ad-dîn). Sedangkan keyakinan yang terlahir bukan dari wahyu (filsafat, ideologi, pemikiran dan lain-lain) disebut al-millah sebagaimana ditunjukkan Ibnu Qayyim dalam kitabnya Hidâyatul Hayârâ fî Ajwibatil Yahûdi wan Nashârâ, As-Syahrastâni dalam kitabnya Al-Milal wan Nihal dan Ibnu Hazm dalam Al-Fishâl fil Milal wal Ahwâ wan Nihal. Makanya Yahudi dan Nashara Allah sebutkan sebagai millah (QS. Al-Baqarah/ 2: 120), disebabkan meninggalkan wahyu dengan melakukan tahrîf, yaitu mengubah Taurat dan Injil dari yang semestinya (QS. AI-Mâidah/ 5: 13).
Apabila ditelisik lebih dalam, makna Ad-Dîn tidak lepas dari akar kata dîn itu sendiri; bisa berarti utang (dain), balasan (jazâ), juga ada padanannya dengan kata madînah yang artinya kota, kemajuan dan peradaban. Dikatakan utang dan balasan, lebih kepada kaitan seluruh perbuatan manusia laksana utang yang wajib dipertanggung jawabkan di hari pembalasan (yaumud dîn). Adapun dikatakan peradaban, lebih kepada bahwa agama yang benar adalah agama yang menjunjung tinggi peradaban. Dengan diawali turunnya surat Al-‘Alaq yang dikenal dengan surat iqra, menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat menempatkan peradaban di atas segalanya. Karenanya, dalam konteks Melayu, tamaddun sering dimaknai dengan peradaban yang mengandung nilai-nilai agama.
Bagaimana dengan Millah Ibrahim?
Millah Ibrahim dalam berbagai ayat, selalu diiringi dengan kata kaitan keterangan (qarînah) yang menjelaskan akan kekhususannya. Di antaranya firman Allah yang berbunyi “Huwa sammâkumul muslimîn; Dialah Allah yang telah memberikan nama kalian al-Muslimin.”, untuk menjelaskan “Millata abîkum Ibrâhîm; ajaran orang tuamu Ibrahim.” (QS. Al-Hajj/ 22: 78).
Kalimat “Hanîfan wa mâ kâna minal musyrikîn; ajaran yang lurus dan sekali-kali tidak termasuk orang-orang musyrik.” untuk menjelaskan Fattabi’û millata Ibraahiima; maka ikutilah ajaran Ibrahim.” (QS. Alu ‘Imran/ 3: 95).
Demikian pula kalimat “Wa lâkin kâna hanîfan musliman wa mâ kâna minal musyrikîn; akan tetapi ia seorang yang lurus dan sekali-kali tidak termasuk orang- orang musyrik” untuk menjelaskan “Mâ kâna Ibrâhîmu yahûdiyyan wa lâ nashrâniyyan; bukanlah Ibrahim itu seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nashrani.” (QS. Alu ‘Imran/ 3: 67). Semua ini menunjukkan, bahwa kata millah yang disandarkan pada Nabiyullah Ibrahim ‘alaihi salâm berbeda dengan millah-millah sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Demikian pula, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menggunakan kata millah ketika disandarkan pada kakeknya Ibrahim yang sudah dikenal ketauhidannya. Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim dan Ibnul Mundzir dari Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ disebutkan bahwa “Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi kumpulan para pendeta senior Yahudi (yaitu Nu’aim bin ‘Amr dan Harits bin Zaid), sontak keduanya bertanya: “Atas dasar apa Tuan datang ke sini?” Spontan Nabi pun menjawab: “alâ millati Ibrahîma wa dînih; atas dasar ajaran Ibrahim dan agamanya.” Kedua pendeta itu pun terkaget seraya mengatakan: “Ibrahim itu nenek moyang kami”. Nabi pun menjawabnya dengan cerdas dan cekatan: “(kalau begitu) Mari kita kembali ke ajaran Taurat, karena antara kami dengan kalian tidak jauh berbeda”. Namun keduanya menolak ajakan Nabi, lalu turun ayat yang menyindir sikap mereka dengan sebutan “mu’ridhûn; orang-orang yang membelot dari ajaran kitab suci dan ajaran nabiNya.” (QS. Alu ‘Imran/ 3: 23).
Dengan jargon “Banyak agama satu kenabian”, muncullah pandangan-pandangan yang menyimpulkan bahwa “Yahudi, Nashrani dan Islam” merupakan satu keyakinan di bawah agama serumpun, yaitu Millah Ibrahim. Di Barat muncul “Abrahamic Faith; agama Ibrahim”, di Timur Tengah muncul “Wihdatul Adyân; kesatuan agama-agama”, di tanah air pun muncul “Komunitas Millah Abraham” disingkat KOMAR, bahkan sebelumnya sudah lazim di kalangan akademik (terkait studi Islam) dengan istilah “Titik temu agama-agama” sebagai tafsiran mereka terhadap “Kalimatun sawâ; kalimat yang sama.”
Tanpa menegasikan kaitan Nabi akhir zaman dengan para nabi sebelumnya, justeru harus dipahami bahwa apa yang dilakukan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam merupakan estafeta tauhîd yang diumpamakan dengan bangunan indah yang satu sama lain saling melengkapi dan menguatkan, bukan seperti tafsiran-tafsiran semu mereka yang penuh perubahan (tahrîf) dan membiaskan tauhîd. Bukankah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bertutur, “Para Nabi itu bersaudara satu sama lain sebagai keluarga (dari bapak yang satu dan ibu yang berbeda), namun agama mereka satu (yakni Tauhid).” (HR. Bukhari dalam Al-Ahâdîtsul Anbiyâ dan Muslim dalam Al-Fadhâil). Wallâhu a’lam bis shawwâb.
____
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqîdah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Wakil Sekretaris KDK MUI Pusat, Ketua Bidang Kajian Dewan Da’wah dan Ketua Prodi KPI STAIPI Jakarta