LELAH ITU WAJAR NAMUN JANGAN SAMPAI FUTUR (Fiqih Menghadapi Kejenuhan)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Semua kita pasti mengalami yang namanya jenuh, bosan, bete anak sekarang menyebutnya. Tak sekedar itu, bahkan bisa jadi putus asa dan menuduh “Tuhan ngak adil” pada dirinya. Terlebih bagi mereka yang merasa hidupnya selalu dirundung malang, atau terdampar di lautan kekecewaan yang tak bertepi.
Menikmati kemacetan rutin ibu kota, perjalanan sore menuju tempat kediaman, rasanya kondisi pun mendukung untuk menulis, sekalipun sekedar ulasan buku yang sudah lama dibolak balik dibaca. Bukan karena besok mau ujian di sekolah atau kampus, melainkan buku ini tepat untuk menemani karena bisa menjadi terapi bagi para pegiat atau aktivis lapangan yang terkadang terganggu ghairah hidupnya. Itulah buku “Awas Futur” (Pustaka Ad-Dzahabi, 2013) karya penulis sejoli Ummu Ihsan dan Abu Ihsan Al-Atsari.
Mutiara berharga yang dapat diambil dari khazanah yang terserak itu, memulai bahasannya dengan pentingnya mensyukuri nikmat iman dan memahami sunnah. Lalu berlanjut dengan wajibnya hidup istiqamah dan mewaspadai gejala-gejala yang bisa merusak keistiqamahan seseorang, sekalipun orang beriman.
Pada paparan berikutnya, mulai masuk pada pengertian dan kekhawatiran akan munculnya mushibah besar yang disebut futur. Siapa pun bisa mengalami gejala psikis yang buruk ini. Di samping bahaya buat diri pelakunya, juga bisa menularkan keburukan bagi yang lain.
Kejenuhan iman, kemalasan berbuat yang baik, dan keluar dari kebiasaan yang baik. Semua ini merupakan makna sederhana dari futur. Adapun kata kunci yang penting disuguhkan dalam tulisan ini, adalah betapa istiqamah dalam kebaikan merupakan solusi terbaik menghadapinya. Namun lebih penting dari itu, mengetahui sebab-sebab mengapa orang bisa menjadi futur sangat layak digaris bawahi.
Agar komitmen dalam kebaikan dapat terpelihara, dan “jenuh akut” dapat dicegah, maka rincian praktis jalan menuju istiqamah ini dapat menjadi pilihan:
- Senantiasa berdo’a.
- Berpegang pada agama Allah ‘azza wa jalla dan bersegera mentaatiNya.
- Ikhlas dan bersungguh-sungguh dalam taat sebagai hiasan hidupnya.
- Menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
- Senantiasa mencari ilmu dan menghidupkan dakwah.
- Berusaha berteman dengan orang-orang baik.
Sementara faktor-faktor internal yang dapat merusak komitmen dalam kebaikan; kejahilan terhadap ilmu, kelalaian, kelengahan, dan berpaling dari kebenaran, serta mengikuti hawa nafsu yang selalu mendorong berbuat nista. Sedangkan godaan syaitan, terpedaya dunia dengan segala efeknya, dan dikelilingi teman-teman berperangai buruk merupakan faktor eksternal yang telah banyak diketahui.
Hal penting lainnya, adalah mengetahui sebab-sebab mengapa bisa terjadi futur. Ini tidak dapat dlepaskan dari alasan berikut ini:
- Dikarenakan tidak memahami Islam dengan pemahaman yang benar.
- Mengikuti sifat tergesa-gesa dan berlebihan.
- Kondisi keilmuan yang statis, dan tidak berusaha menambah pengetahuannya.
- Sering takjub pada diri sendiri, namun dalam waktu sama bersikap masa bodoh dan menghinakan dirinya sendiri.
- Senang melemparkan kesalahan pada orang lain.
- Terbiasa lalai dalam perkara sunnat (nawaafil) dan suka meremehkan perkara yang dimakruhkan.
- Terlampau banyak berkumpul dengan pelaku maksiat dan melibatkan diri dalam bahaya itu.
- Senang mempertahankan dosa kecil, dan terbiasa meninggalkan keutamaan.
- Tidak memiliki tujuan yang jelas.
- Adanya tekanan hidup dari luar.
- Senantiasa menjauh dari lingkungan keimanan yang teramat panjang.
- Tenggelam dalam kesibukan dunia yang memenjarakannya.
- Terperangkap dalam kubangan syahwat yang telah menjadi kebiasaan.
Terakhir, hikmah dibalik mushibah futur ini, senantiasa ada pelajaran yang bisa direnungkan dan peringatan yang dapat diwaspadakan. Meminjam nasihat emas Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, beliau bertutur: “Dalam masa-masa futur, gelap dan tertutup menghalangi jalan orang yang tengah menuju Allah. Terdapat hikmah, di mana tidak ada yang tahu perinciannya melainkan Allah sendiri. Semua orang pasti mengalaminya; orang yang dusta akan berbalik dan kembali ke tabi’at aslinya, yakni mengikuti hawa nafsu dan kesenangannya. Sedangkan orang yang jujur akan memperbaiki diri, berjuang, bersabar, dan bertahan serta bersikap tidak putus asa.” (Ibnu Qayyim dalam Madaarijus Saalikiin)
Adapun pengobatannya yang paling mujarrab adalah; Sering-seringlah mengingat kematian, bersegeralah beramal shalih selagi ada kesempatan, dan jalinlah keharmonisan bersama Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena hal itu akan lebih melembutkan hati dan menciptakan iklim kedamaian.
Selain itu, perlu memelihara keseimbangan dalam bersungguh-sungguh bertaqarrub pada Allah ‘azza wa jalla (agar tidak mudah jenuh). Bukankah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengisyaratkan, ketika shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anh menceritakan padanya tentang seorang laki-laki yang “sangat sungguh-sungguh” ibadahnya? Maka Rasulpun bersabda:
تلك ضراوة الإسلام وشرته، ولكل ضراوة شرة، ولكل شرة فترة، فمن كانت فترته إلى اقتصاد وسنة فنعما هو، ومن كانت فترته إلى المعاصي فقد هلك
“Itulah pasang dan surutnya nilai-nilai Islam, setiap pasang pasti ada surutnya, setiap surut pasti ada masa futurnya. Siapa yang dalam masa futurnya lebih banyak merapat pada Sunnah [riwayat lain: Kitab dan Sunnah], maka berbahagialah. Siapa yang dalam masa futurnya lebih mendekat pada kemaksiatan, maka binasalah.” (HR. Ahmad dalam Musnad, menurut Syaikh Syu’aib al-Arnauth hadits ini shahih lighairihi).
✍️ Ulasan dan goresan jemari ini, Al-faqir tuangkan dalam perjalanan Kramat Raya 45 Jakarta Pusat menuju Bekasi dalam bis Mayasari Bhakti 9A dengan cuaca Jakarta cerah berawan (Rabu, 03 Maret 2021)