MENYALAKAN SEMANGAT PENGORBANAN DI TAHUN KESEDIHAN (Risalah ‘Iedul Adhha 1442 H.)
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
A. Muqaddimah
حمدا و شكرا لله نحمده ونستعينه و نستغفره، نصلي و نسلم على رسول الكريم، وعلى اله و أصحابه، ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين … أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:
Ma’aasyiral Muslimiin A’azzakumullaah
Atas idzin dan qudrah Allah ‘azza wa jalla. Sekalipun ada di tengah-tengah suasana duka dan keprihatinan yang mendalam, sampai hari ini kita masih bisa menikmati dan merasakan suasana bahagia, di mana alunan takbir, tahlil, dan tahmid masih dapat bergema. Mememecah kesunyian alam, menambah ‘izzah diri, semangat bertahan untuk menjalani kehidupan, dan selalu siap untuk berkorban demi kegemilangan masa depan.
Diiringi mentari pagi yang kian meninggi, cahaya siang yang menyinari, semua kita berkumpul di tempat mulia ini, tiada lain hanya untuk mensucikan diri kepada Dzat Ilahi Rabbi dengan mengakui segala kekurangan dan kerendahan di hadapan yang Maha pencipta.
الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر ألله أكبر ولله الحمد
B. Ujian itu Nyata Adanya
Ma’aasyiral Muslimiin A’azzakumullaah
Terlepas dari perdebatan yang ada; Apakah ujian yang tengah melanda dunia ini murni berupa wabah atau pun dicipta demi kepentingan sebagian manusia? Yang jelas, nyata di hadapan mata, dan dapat dirasakan dampaknya betapa kebinasaan yang terjadi telah meluluh lantahkan hajat hidup manusia dengan tingkat kemadharatan di atas rata-rata. Varian ujian apa pun namanya; baik berupa ujian yang datangnya secara tiba-tiba (mushiibah), ujian karena adanya sebab (fitnah), ujian yang memang sengaja diturunkan (balaa’), atau pun ujian yang bersifat menyeluruh (wabaa’). Semuanya itu, benar-benar nyata adanya, bukan sekedar obrolan pemanis cerita belaka.
Apa yang terjadi saat ini, di mana wabah Covid-19 memasuki tahun kedua, hendaknya benar-benar menjadi catatan bersama. Satu tahun lebih kita diuji, berarti satu tahun lebih pula kita mengarungi pengalaman panjang di dalamnya. Ujian dan bentangan pengalaman itulah, bagi orang-orang beriman dan mereka yang memiliki akal pikiran sudah tentu menjadi pelajaran (‘ibrah, i’tibaar) yang tidak kecil nilainya.
الله اكبر الله اكبر لا إله إلا الله والله اكبر الله اكبر ولله الحمد
C. Antara Mengimani Taqdir dan Kewajiban Ilhtiar
Ma’aasyiral Muslimiin A’azzakumullaah
Sebagai manusia beriman, yang meyakini tidaklah segala sesuatu itu terjadi melainkan atas kehendak Allah ‘azza wa jalla, maka kita pun percaya peristiwa apa pun yang melintas di hadapan kita tidak bisa lepas dari taqdirNya yang sangat rahasia. Namun demikian, menggantungkan sepenuhnya apa yang menjadi keinginan manusia diserahkan sepenuhnya pada kehendak Allah semata, itu pun pandangan keliru yang dapat menyesatkan akal pikiran.
Agar kita tidak terjebak pada keterpelesetan logika neo jabariyyah yang menyerahkan segala urusan tergantung Allah semata, atau pun neo qadariyyah yang meyakini segala sesuatu ditentukan oleh manusia dan terlepas dari keterkaitan Allah. Keduanya merupakan narasi yang mengkhawatirkan, di mana tikungan-tikungan tajam (mun’athafaat) dari logika keduanya bisa melenyapkan keimanan seseorang pada taqdirNya.
Karena itulah, dalam menafsirkan QS. At-Takwir/ 81: 29 yang berbunyi:
وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلْعَٰلَمِينَ
“Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (pakar Tafsir abad 14 H.) menuturkan: “Kehendak Allah pasti terlaksana, tidak mungkin dicegah dan dihalangi. Dalam ayat ini dan ayat-ayat serupa terdapat bantahan untuk golongan yang menegasikan taqdir dan golongan yang menyatakan bahwa manusia dipaksa melakukan segala sesuatu.”
Demikian pula, Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan (Anggota Komite Fatwa Ulama KSA) memaparkan: “Kehendak hamba itu mengikuti kehendak Allah, dan ayat ini merupakan bantahan atas pemahaman para pengikut qadariyah dari golongan mu’tazilah yang mengatakan; Setiap hamba memiliki keinginan tersendiri, dan keinginan itu tidak ada campur tangan dari Allah. Dan orang-orang yang berada dalam kebenaran mengatakan; Setiap hamba memiliki keinginan atau pun kehendak, akan tetapi keinginan itu mengikuti keinginan dan kehendak Allah.”
Adapun sikap yang adil bagi orang-orang yang beriman, adalah mengimani taqdir dengan penuh rasa syukur dan shabar, sembari berupaya melakukan ikhtiar yang maksimal dengan mengerahkan kemampuan yang kita bisa. Allah ‘azza wa jalla menjadikan keshabaran sebagai kuda handal yang tak akan terjungkal, sebagai pedang tajam yang tak akan tumpul, sebagai pasukan yang tak akan kalah, dan sebagai benteng kokoh yang tak akan retak dan roboh. Demikian pula dengan syukur, ia selalu menghiasi seseorang dari segala bentuk kekurangannya. Taqdir hubungannya dengan Dzat yang Maha pencipta, shabar dan syukur adalah bentengnya ikhtiar manusia.
Menarik apa yang dituturkan Imam Al-Mawardi (ulama madzhab Syafi’i), sehubungan dengan hal ini:
إنك إن صبرت جرى عليك القلم و انت مأجور، و إن جزعت جرى عليك القلم و انت مأزور
“Jika engkau bershabar, taqdir tetap berlaku bagimu dan engkau akan mendapatkan pahala atas keshabaranmu. Sementara jika engkau berkeluh kesah, taqdir juga akan tetap berlaku bagimu dan engkau akan mendapatkan dosa atas keluh kesahmu.” (Lihat: Adaabud Dunyaa wad Diin, hlm. 288).
الله اكبر الله اكبر لا إله إلا الله والله اكبر الله اكبر ولله الحمد
D. Obor Kehidupan Harus Tetap Menyala
Ma’aasyiral Muslimiin A’azzakumullaah
Ada ibarat yang menashihatkan, “Ketika kita sedang melaju jauh, lalu tiba-tiba kendaraan bermasalah. Akankah kita berdiam diri dan sekedar meratapi? Tentu saja tidak, yang kita butuhkan saat itu adalah berikhtiar mencari jalan keluarnya”. Demikian pula dengan apa yang tengah kita alami, di tengah-tengah wabah yang kian mengganas, yang bisa kita lakukan adalah mencari jalan keluar (makhrajan) Allah dengan mematuhi protokoler langit, dan diiringi upaya manusia dengan mematuhi protokoler bumi.
Protokoler langit ditunjukkan dengan semangat taqarrub kepada Allah; patuh, tunduk, pasrah dan beristighfar hanya kepadaNya tanpa menciderai dan mendurhakaiNya, sekalipun hidup di tengah-tengah gelombang wabah. Sedangkan protokoler bumi, berupa upaya manusia dalam mewujudkan keselamatan dan kemashlahatan, serta menghindari kemadharatan.
Mematuhi perintah Allah dan rasulNya dengan tetap menjalankan ibadah dengan baik, itu merupakan terapi spiritual yang sangat menentramkan. Menjalankan aturan kesehatan yang sesuai dengan temuan ilmu pengetahuan merupakan terapi medis yang tidak boleh diabaikan. Menunaikan kewajiban beragama, tak akan menjadi sempurna, tanpa didukung dengan beragam perantara yang menguatkan kewajiban itu bisa terlaksana, maa laa yatimmul waajibu illaa bihi fahuwa waajibun. Demikian menurut qaidah hukum yang terpercaya.
Karena itulah, tak ada alasan bagi kita untuk membenturkan keduanya (protokol langit dan protokol bumi), serta mengabaikan arahan ilmiah para ulama waratsatul anbiyaa sebagai “firaasatul mu’min” yang perlu didengar. Dengan langkah inilah, harapan kita tidak lain adalah mengharapkan agar obor kehidupan tetap menyala.
الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد
E. Dari Pengorbanan Menuju Harapan
Ma’aasyiral Muslimiin A’azzakumullaah
Hari ini kita diingatkan dengan datangnya bulan mulia, yakni bulan Dzulhijjah, yang di dalamnya penuh dengan nuansa ibadah; dari amalan awwal bulan, shaum ‘arafah, shalat ‘iedul adhha, udhhiyyah dan manasik haji. Mengingatkan kita semua kepada sosok piawai yang patut dijadikan teladan, karena hakikatnya apa yang kita lakukan sebagai sunnah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan buah ajaran millah sebelumnya, yaitu sunnah Ibrahim ‘alaihis salaam dengan ajarannya al-haniifiyyah as-samhah, agama yang lurus dan toleran. (Lihat: Ibnu Katsir dalam Sa’id Hawwa, Al-Asaas fit Tafsiir, 1989: 8, hlm. 3605).
Sampainya ajaran tauhid kepada kita merupakan bukti keberhasilan sang pembawa ajaran, yaitu pemimpin yang memiliki daya juang dan pengorbanan yang prima, sebagaimana Allah gambarkan dalam ayat berikut: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang pemimpin yang dapat dijadikan teladan lagi patuh pada Allah dan hanif, sekali-sekali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, selalu mensyukuri nikmat-nikmatNya. Allah telah memilihnya dan menunjukkinya ke jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl/ 16: 120-121).
Demikianlah Nabiyullah Ibrahim, dengan segala kebesaran dan kualitas peribadi, serta perjuangannya, bukan sekedar menjadikan dirinya terangkat sebagai kekasih Allah (khaliilullaah) dan bapak para Nabi (abul anbiyaa), melainkan namanya senantiasa harum semerbak disejajarkan dengan nama Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam shalawatnya. (Lihat: Shahih Muslim, 1992: 1, hlm. 191).
Dengan data itu saja, semua akan sepakat bahwa Ibrahim layak tercatat sebagai orang yang pantas mendapatkan anugerah keberkahanNya. Segala harapan dan cita-cita serta do’anya dikabulkan Rabbul ‘Aalamiin, di antaranya:
- Negeri Mekkah menjadi negeri yang aman, tentram dan penuh limpahan keberkahan.
- Bangunannya berupa ka’bah, tetap tegak berdiri menjadi perhatian ummat manusia sedunia.
- Anak keturunannya, menjadi orang-orang shalih, bahkan menjadi Nabi-nabi pemimpin ummat manusia.
- Jejak langkah peribadatannya dijadikan anutan oleh generasi yang datang kemudian hingga akhir zaman.
- Prosesi perjalanan hidupnya menjadi tuntunan ibadah yang utama dalam manasik haji.
Dengan menyebrangkan sekilas kisah sosok panutan ini, hendaknya kita bercermin diri dan berkaca pada keadaan, sesungguhnya tidaklah sebuah pengorbanan dilakukan oleh seorang insan juang, melainkan terbentangnya harapan sudah menunggu di hadapan. Allah ‘azza wa jalla tidak bertanya terkait hasil sebuah perjuangan, melainkan yang ditanyakan adalah proses pengorbanan seseorang dalam menggapai cita-cita perjuangan. Fa’tabiruu yaa uulil albaab …!!!
الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد
F. Berdamai Jiwa di Tahun Kesedihan
Ma’aasyiral Muslimiin A’azzakumullaah
Sebagai paparan penutup, di mana kita tidak bisa memungkiri keadaan yang kita alami. Belum sirnanya ujian wabah, kini kegoncangan jiwa tengah melanda sebahagian besar ummat manusia. Kesedihan dan kecemasan, menjadi hiasan lumrah di tengah-tengah keterpurukan dan kepanikan.
Tak banyak yang bisa kita lakukan di sela-sela keterbatasan melainkan mengokohkan sandaran iman, dan menyalakan semangat berkorban untuk saling menghidupkan rasa keterpanggilan dan kepedulian sesama kita. Terus berikhtiar untuk mengobati rasa cemas dan kesedihan antar sesama, adalah keniscayaan yang wajib kita pelihara. “Jangan cemas dan jangan bersedih hati”, itulah taujih Rabbani yang selalu diulang-ulang, yang kita temukan dalam Al-Qur’an yang agung.
الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد
G. Do’a Penutup
Ma’aasyiral Muslimiin A’azzakumullaah
Itulah hikmah ‘iedul adhha yang dapat alfaqir goreskan kali ini; Semoga menjadi signal kuat yang dapat menambah frekuensi ‘izzah dan ghiirah untuk menapaki kehidupan yang sangat terbatas ini. Seperti isyarat kata yang sering terdengar: “Kehidupan ini tak ubahnya laksana cerita pendek, maka janganlah sekali-kali kita berhenti pada episode yang menyedihkan.”
Dengan segala pengakuan akan kekurangan diri, kita memohon kepada Rabbul ‘Aalamiin kiranya jalan kemudahan senantiasa tercurahkan untuk hamba-hamba yang tengah berjuang dan senantiasa menunjukkan pengorbanan di jalanNya.
اللهم لا سهل إلا ما جعلته سهلا، و أنت تجعل الحزن إذا شئت سهلا
“Ya Allah, tak ada kemudahan kecuali apa yang Engkau jadikan mudah. Sedangkan yang susah bisa Engkau jadikan mudah, apabila Engkau menghendakinya.”
Penulis adalah: Mudir ‘Am PPI 81 Cibatu Garut, Anggota DH PP Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Anggota LDK & P3 MUI Pusat, Ketua Bidang Kajian & Ghazwul Fikri Dewan Da’wah Pusat, dan Ketua Prodi KPI STAIPI Jakarta