AGAMA TELAH SEMPURNA; “NGAGUAR” WARISAN EMAS PERADABAN NABI AKHIR ZAMAN
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
A. Pengakuan Kesempurnaan
Ada seorang Yahudi menghampiri ‘Umar bin Khaththab radhiyallaahu anhu, lalu berkata: “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian membaca sebuah ayat dalam kitab kalian. Jika ayat tersebut diturunkan kepada kami, niscaya hari turunnya ayat itu sudah kami jadikan sebagai Hari Raya.” Ayat yang mana?’ tanya ‘Umar. Yahudi itu pun menjawab, yaitu firman Allah ‘azza wa jalla:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (Al-Maaidah/5: 3)
Maka ‘Umar berkata: “Sesungguhnya aku telah mengetahui hari dan tempat ketika ayat itu turun kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diturunkannya pada hari Jum’at di ‘Arafah.”
Demikian HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Thariq bin Syihab radhiyallaahu ‘anhu (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/ 15-16)
B. Kalam Rabbani yang Mewartakan
Sebagaimana dituturkan Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa: “Siapa yang beranggapan bahwa Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu yang telah Allah turunkan, sungguh ia telah berdusta besar terhadap Allah. Padahal Allah ‘azza wa jalla berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ وَٱللَّهُ يَعۡصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan [apa yang diperintahkan itu], kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari [gangguan] manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maaidah/5: 67).
Sementara itu, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berkhutbah di ‘Arafah bertanya di hadapan ribuan para shahabatnya:
أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ؟
“Bukankah sudah aku sampaikan?”
Mereka pun menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullaah pun mengangkat tangannya ke langit dan menunjukannya pada mereka seraya berkata:
اللَّهُمَّ اشْهَدْ (x3)
“Wahai Allah, saksikanlah. Wahai Allah, saksikanlah. Wahai Allah, saksikanlah.” (HR. Muslim).
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma menegaskan:
أنه قد أكمل لهم الإيمان، فلا يحتاجون إلى زيادة أبدًا، وقد أتمه الله عز ذكره فلا ينقصه أبدًا، وقد رضيه الله فلا يَسْخَطه أبدًا
“Allah telah menyempurnakan Islam, sehingga mereka tidak perlu lagi menambah ajaran Rasul [selamanya] dan Allah pun telah membuat ajaran Islam itu sempurna sehingga jangan sampai dikurangi [selamanya]. Jika Allah telah ridha, maka janganlah ada yang murka dengan ajaran Islam [selamanya].” Demikian Ibnu Jarir Ath Thabari menguraikan dalam Tafsirnya.
C. Ada Apa dengan Warisan?
Dikatakan warisan, menunjukan ada sesuatu yang sangat berharga. Terlebih warisan emas peradaban yang telah banyak berbagi pencerahan bagi manusia sekalian alam. Membicarakan warisan, tidak lepas dari siapa yang mewariskan, apa yang diwariskan, dan siapa ahli warisnya? Yang mewariskannya jelas, yakni pembuat syari’at itu sendiri. Yang diwariskannya berupa kesempurnaan agama, dan ahli warisnya adalah ummat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Agar warisan peradaban tersebut, benar-benar terberdayakan dengan baik, maka minimalnya tiga karakter orang yang menerima warisan wajib hadir adanya; Pertama; adanya rasa memiliki sepenuh hati. Kedua; adanya tanggung jawab yang tinggi, dan Ketiga; senantiasa memeliharanya dengan sepenuh kemampuan.
D. Warisan Emas Nabi Akhir Zaman
Merupakan harta karun peradaban yang tidak ternilai dari seorang Nabi akhir zaman, warisan yang tidak pernah lekang oleh waktu dan tidak akan mengenal kata punah sepanjang sejarah. Itulah warisan Rasulullaah sang khaatamul anbiyaa wal mursalien. Tiga warisan utama, mencakup di dalamnya persoalan ‘aqiedah, syari’ah, mu’amalah dan akhlaq/ tazkiyatun nafs menjadi sinar yang tidak boleh padam menyinari alam. Apabila dicermati dengan seksama, warisan yang dimaksud mencakup beberapa hal:
- Warisan berupa pedoman [manhajan, minhaajan]; yaitu tatanan, aturan, atau sistem yang dijalankan oleh Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dengan merujuk Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber utamanya, maka warisan ini melahirkan sumber hukum [syarii’ah], pandangan hukum [fiqih], dan aturan hukum [qaanuun].
- Warisan berupa semangat [juhuudan]; yaitu kesungguhan dalam memberikan bimbingan dan ajaran, menjaga dan mengawal agama, serta ketundukan dan kepasrahan kepada Rabb-nya. Amaliah kesungguhan dalam membela agama disebut jihaad, sedangkan amaliah kesungguhan dalam mencurahkan segenap kemampuan intelektual disebut ijtihaad. Adapun amaliah kesungguhan dalam munajat dan penyerahan atas kekurangan diri dan pengagungan Dzat yang serba Maha disebut mujaahadah.
- Warisan berupa keteladanan [uswatan, qudwatan]; yaitu perilaku, adab dan cerminan kehidupan ideal yang meliputi: Keagamaan yang bersifat ritual [ibadah mahdhah], dan para ulama menyebutnya dengan qurbah, yakni ibadah yang bernuansa taqarrub langsung seperti halnya thaharah, shalat, zakat, shaum, hajji dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat fungsional [ghair mahdhah], para ulama menyebutnya dengan thaa’ah, yakni kepatuhan terhadap segala yang dicintai oleh Nabi. Apabila dilakukan merupakan keutamaan dan berpahala. Sedangkan apabila tidak dilakukan, maka hilang keutamaan dan tidak mendapatkan pahala, seperti halnya makan, minum, berpakaian dan lain-lain. Adapun hal-hal yang manusiawi dan terjadi pada diri Nabi, para ulama menyebutnya dengan jibiliyyah, seperti halnya rasa sedih, rasa senang, bahagia, lapar, cemburu dan lain-lain.
Semua itu menunjukan, bahwa Nabi akhir zaman mewariskan pada ummatnya khazanah yang sangat melimpah. Dari khazanah inilah lahir peradaban [hadhaarah] dan kebudayaan [tsaqaafah], yang apabila keduanya tidak dibimbing dengan risaalah Ilaahiyyah, maka yang terjadi adalah petaka kehancuran.
E. Menjadi Ahli Waris Peradaban
Setiap kali berhadapan dengan generasi muda, para penuntut ilmu, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menyambut dengan penuh antusias.
سَيَأْتِيكُمْ أَقْوَامٌ يَطْلُبُونَ الْعِلْمَ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ فَقُولُوا لَهُمْ مَرْحَبًا مَرْحَبًا بِوَصِيَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاقْنُوهُمْ قُلْتُ لِلْحَكَمِ مَا اقْنُوهُمْ قَالَ عَلِّمُوهم
“Akan datang kepada kalian sekelompok kaum yang menuntut ilmu. Apabila kalian melihat mereka, ucapkanlah selamat datang!, selamat datang! wahai para pengemban wasiat Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan Nabi pun menyeru dengan kalimat “uqnuuhum”. Aku berkata pada Al-Hakam apa maksudnya? Beliau menjawab, ajarilah mereka!!”
Hadits tersebut merupakan titah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bagi para shahabat yang melanjutkan missi sebagai mu’allim. Setelah Rasulullaah wafat, para sahabat bertebaran di berbagai wilayah Islam. Para shahabat menjadi rujukan para taabiin dan para taabiin menjadi rujukan taabi’ taabiin, maka lahirlah madrasah-madrasah keilmuan seperti madrasah hadits di Mekkah, madrasah hadits di Madinah, madrasah hadits di Kufah, madrasah hadits di Bashrah dan madrasah hadits di Mesir. Juga bertebaran madrasah lainnya, termasuk perkembangan madrasah ahlur ra’yi. Allaahumma faqqihnaa fid diin
Penulis adalah: Anggota DH PP Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota LDK & KP3 MUI Pusat, Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Ketua Bidang Kajian & Ghazwul Fikri Dewan Da’wah, dan Kaprodi KPI STAIPI Jakarta