Jumat, Desember 6MAU INSTITUTE
Shadow

RAJIN SHILATURRAHIM LAYAK “PANJANG USIA”

RAJIN SHILATURRAHIM LAYAK “PANJANG USIA”
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

Gajah mati tinggalkan gading, harimau mati tinggalkan belang, sedangkan manusia mati tinggalkan amalan dan kenangan. Demikian peribahasa menyebutkan, betapa manusia makhluq yang merugi ketika di akhir kehidupan tak meninggalkan perbuatan yang dapat dibanggakan di hadapan Penciptanya. Jangankan untuk mendatangkan keberuntungan dua alam [dunia dan akhirat], sekedar meninggalkan kesan yang bisa dikenang pun belum tentu didapatkan.

Tak selamanya yang namanya senang, atau bahagia itu harus selalu takarannya harta melimpah, atau kedudukan dan jabatan tinggi, serta kekuasaan. Sekalipun semua itu tak bisa dipungkiri menjadi sebab seseorang bisa bahagia. Ternyata, selain itu semua kita mesti yakin bahwa semua manusia beriman layak hidup bahagia, dan menikmati usianya yang masih tersisa. Lalu bagaimana kiatnya?

Bicara hidup bahagia dan panjang usia, berarti membicarakan kesenangan hidup yang di dalamnya ada ketenangan. Dan ketenangan hidup, tak dapat dipisahkan dari unsur-unsur penyebabnya. Di antara sebabnya adalah tersedianya modal sosial; seperti berkeinginan menghidupkan nilai-nilai keadaban antar sesamanya, berhasrat menjalin komunikasi yang lebih luas, dan interaksi yang lebih baik dengan sesama mereka. Itulah yang dinamakan shilaturrahim, di mana perilaku sosial lebih bisa dirasakan ketimbang yang lainnya. Di samping rezki semakin melimpah, batinpun terasa riang penuh gembira.

Sebuah fakta mengejutkan, di mana studi Berkman dan Syme (1979) menemukan bahwa “Peribadi yang rajin shilaturrahim berkecenderungan hidup lama”. Alasannya, karena interaksi dan komunikasi, serta dukungan sosial mampu menambah kebahagian dan kesehatan. Temuan ini dikuatkan oleh Harvard Study of Adult Development yang melakukan penelitian panjang; Dengan meneliti 724 remaja selama 75 tahun [sejak 1938], yang memunculkan kata kunci “Apa yang membuat bahagia?” [dilakukan hingga berganti lima direktur, dan baru dapat dilihat hasilnya di masa keenam] yang dipresentasikan Robert Waldinger di TED. Singkatnya, dari 724 orang yang tersisa hanya 60 orang. Risetpun dilanjutkan kepada 2000 anak-cucu mereka. Hasilnya adalah: “Orang bisa bahagia apabila memiliki hubungan baik dengan keluarga, teman, dan komunitas”. Jadi, kebahagiaan bukan ditentukan karena punya uang banyak, “beken” [ketenaran], kesuksesan, dan atribut lainnya. Selanjutnya, bagi mereka yang memiliki hubungan baik pada usia 50 tahun ke atas cenderung akan bahagia sampai usia 80 tahun. (Lihat: Tatang Muttaqin, Pengantar Untukmu Handai Tolan Reuni PPI 76, 2018: hlm. 6)

Dengan demikian, menggairahkan shilaturrahim dapat menyegarkan kembali memori dan menyehatkan pikiran. Benar apa yang disabdakan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ له فِي رِزْقِهِ، وأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Siapa saja yang ingin diluaskan rezkinya, dan dipanjangkan umurnya. Maka hidupkan shilaturrahim.” (HR. Al-Bukhari dari shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anh).

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullaah ketika memaparkan syarah hadits yang mulia ini, menuturkan sebagai berikut: “Kasih sayang Allah ‘azza wa jalla [rahmat] yang paling agung dan paling dekat adalah kedua orang tua. Dalam riwayat berbeda, ada hadits yang memberikan penjelasan bahwa menyambungkan tali persaudaraan dan menebar kebaikan kepada kerabat [yang diawali dari kedua orang tua tadi, kemudian kepada yang lainnya], merupakan sebab dilapangkannya rezki dan dipanjangkannya usia. Dan itu merupakan janji Allah bagi siapa pun yang melakukannya.” (Lihat: Syuruuhul Kutub, Kitaabul Jaami’, binbaz.org.)

Sungguh nyata, mereka yang rajin bershilaturrahim, maka lebih banyak pula jejaringnya. Dan mereka yang giat menebarkan kebaikan, lebih banyak kerabat dan handai tolannya. Semakin banyak kebaikan yang diperbuat, semakin banyak pula kenangannya. Itulah cerminan hidup seseorang yang selalu menjadi jembatan kebaikan saudaranya; hadirnya selalu dinanti, ketiadaannya selalu dirindu, bahkan hingga berselimutkan tanah sekalipun masih dikenang juga. Demikianlah makna lain dari hakikat “panjang usia”. Wallaahu a’lam bis shawwaab


✍️ Goresan singkat ini merupakan lanjutan dari judul sebelumnya: “Berbenah Diri Menuju Usia Senja”, dan in syaa Allah masih bersambung.***

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!