MENITI ILMU MERENDA AMALAN
Oleh:
MENITI ILMU MERENDA AMALAN

Bertambahnya usia tak berarti harus menjadi sebab berkurangnya semangat menuntut ilmu, semakin melemahnya tenaga tak berarti harus merosotnya daya amal. Yang terbaik adalah, bagaimana meniti ilmu dan merenda amalan harus tetap menjadi sikap hidup yang bersenyawa dalam kehidupan yang tak terhalang dengan lajunya usia.
Ilmu amaliah dan amal ilmiah, merupakan dua senyawa yang tak boleh terputus. Kalaulah ilmu selama ini dirasakan belum membuahkan amal, atau sebaliknya amal yang telah dilakukan belum selaras dengan ilmu. Maka di usia menuju senja inilah, momentum yang tepat untuk menyempurnakan segala sesuatu yang dianggap kurang itu. Jangankan manusia umum, ahli ilmu sekalipun bisa kehilangan keseimbangan, ketika ilmu dan amal tak berjalin berkelindan.
Seorang ulama taabi’in Sahl bin ‘Abdullah at-Tusturi rahimahullaah menuturkan:
الناس كلهم سكارى إلا العلماء والعلماء كلهم حيارى إلا من عمل بعلمه
“Manusia seluruhnya laksana orang mabuk, kecuali ulama. Dan ulama seluruhnya laksana orang bingung, kecuali [ulama tersebut] mengamalkan ilmunya.” (Al-Khatib al-Baghdadi dalam Iqtidhaaul ‘Ilmil ‘Amala)

Seiring usia yang terus berkembang, ada banyak pilihan yang mungkin dianggap tepat untuk diambil; Bagi yang memiliki ilmu, sebaiknya jadilah pengajar [‘aaliman]. Bagi yang siap menuntut ilmu, seyogianya jadilah pembelajar [muta’alliman]. Bagi yang hanya siap menyimak, sejatinya jadilah pendengar yang baik [mustami’an]. Bagi yang tidak siap dengan ketiganya, minimalnya jadilah pecinta yang simpatik terhadap ilmu [muhibban]. Apabila empat pilihan yang ada, tak ada yang diambil, maka janganlah mencari pilihan yang kelimanya karena itu kebinasaan.
Adapun menjadi seorang pengamal, itu sudah menjadi sesuatu yang aksiomatik dalam kaitan ilmu dan amal. Imam Abu Hamid al-Ghazali menasihatkan: Al-‘ilmu bi-laa ‘amalin junuunun, wal ‘amalu bi-laa ‘ilmin lam yakun; “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tiada nilainya”.
Di sinilah rahasianya, mengapa Imam Al-Bukhari menuliskan tersendiri dalam kitabnya Al-Jaami’us Shahiih Bab Al-’Ilmu Qablal Qaul wal ’Amal; “Ilmu wajib didahulukan sebelum berkata dan beramal”, menunjukkan betapa saling menyempurnakannya antara ilmu, perkataan, dan perbuatan.
Semuanya itu, sudah tentu bertalian erat dengan keimanan, di mana keduanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia apabila tak mampu menambahkan semangat iman. Dalam penuturan Al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullaah:
كُلُّ عِلْمٍ وَعَمَلٍ لاَ يَزِيْدُ الإِيمَانَ واليَقِيْنَ قُوَّةً فَمَدْخُوْلٌ، وَكُلُّ إِيمَانٍ لاَ يَبْعَثُ عَلَى الْعَمَلِ فَمَدْخُوْلٌ
“Setiap ilmu dan amal yang tak menambah kekuatan dalam keimanan, serta keyakinan, berarti telah terkontaminasi. [Demikian pula] setiap iman yang tak mendorong untuk beramal, berarti sama telah terkontaminasi [artinya termasuki unsur lain].” (Lihat: Al-Fawaaid, hlm. 86)

Sungguh benar pepatah orang bijak yang melukiskan, betapa kesenyawaan ilmu yang diamalkan, akan melahirkan pengabdian yang dihiasi keberkahan dan kepatuhan. Al-‘ilmu bit ta’allum wal barakatu bil khidmati wal manfa’atu bit thaa’ati; “Ilmu itu bisa diraih dengan cara belajar, keberkahan itu bisa didapat dengan cara berkhidmat, dan kemanfaatan akan bisa dirasakan apabila diiringi dengan ketaatan”. Wallaahu a’lam bis shawwaab
✍️ Goresan ini merupakan lanjutan dari judul sebelumnya: “Rajin Shilaturrahim Layak Panjang Usia”, dan in syaa Allah masih bersambung.***
Masya Allah, in syaa Allah bisa kita amalkan