GORESAN PENA DARI ARENA “SEMINAR METODE ISTINBATH HUKUM ORMAS ISLAM” SE-DKI JAKARTA
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
“Berlaga bukan karena jumawa, bertandang bukan karena menantang. Hamba datang di hadapan Tuan dan Puan, tak lebih dan tak kurang ingin memenuhi undangan mengeratkan persaudaraan di bawah payung ilmu dan iman”.
Itulah bisikan hati yang bergemuruh di dada, di samping mengokohkan nawaitu untuk belajar lebih mendalam dari pandangan pihak lain terkait bagaimana sebuah metode pengambilan hukum Islam diputuskan. Sekalipun ruang lingkupnya wilayah ibu kota Jakarta, namun tentu saja hal ini tak dapat dilepaskan dari misi keseluruhan yang dianut masing-masing ormas yang ada. Min ithlaaqil juz’i wa iraadatil kulli; “Yang disampaikan hanya sebahagian saja, namun diharapkan [dapat mewakili] keseluruhan.”
Dengan penuh kerendahan hati, al-faqir mencoba membuka suasana diskusi dengan mengajak seluruh yang hadir dengan lontaran pertanyaan: “Apa layak kita yang hadir ini disebut ahli ijtihad? Kalau jawabnya “iyah”, lalu termasuk kategori Mujtahid manakah kalau memang kita ini telah melakukan ijtihad??” Dengan merujuk pandangan Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily (ulama negeri Syam), bahwa ahlul ijtihaad terbagi menjadi lima kategori: Mujtahid mustaqil, Mujtahid muthlaq ghair mustaqil, Mujtahid takhriej, Mujtahid tarjieh, dan Mujtahid fatwa. Tentu saja, kita sama sekali tak termasuk kategori satu, dua, dan tiga. Kalaupun melakukan ijtihad, kita berada pada posisi empat dan lima. Itupun apabila memenuhi persyaratan yang ketat sebagaimana kriteria dan karakteristik yang ditetapkan para ahli ilmu yang otoritasnya tidak diragukan lagi.
Yang dimaksud Mujtahid mustaqil, mereka ahli ijtihad yang benar-benar mandiri dalam menyimpulkan sebuah produk hukum seperti halnya imam madzhab yang empat. Mujtahid muthlaq ghair mustaqil, mereka ahli ijtihad yang sekalipun tidak mandiri dalam melahirkan produk hukum, namun mereka tetap kritis terhadap imam madzhabnya [seperti halnya Imam Abu Yusuf, Imam As-Syaibani, dan Imam Al-Muzani). Mujtahid takhriej, mereka ahli ijtihad yang mengikatkan diri pada salah satu madzhab dan tidak mengkritisinya [seperti halnya Imam Hasan bin Ziyad, Imam Al-Kurakhi, Imam Abu Ishaq as-Syairazi, dan Imam Al-Maruzi]. Karena komitmennya berpegang pada madzhab, mereka pun disebut mujtahid fil madzhab. Berikutnya Mujtahid tarjieh, mereka adalah ahli ijtihad yang tidak memenuhi kriteria kesatu, kedua, dan ketiga. Namun mereka menguasai ilmu fiqih, menguasai pandangan imam madzhab, menguasai dalil-dalil dan dasar/ rumusan fiqihnya [seperti halnya Imam Al-Qunduri dan Imam Al-Qinani]. Sedangkan yang terakhir Mujtahid fatwa, mereka ahli ijtihad yang memahami fatwa-fatwa ulama fiqih, sekalipun memiliki kekurangan sisi-sisi lainnya. (Lihat: Dr. Dede Rosyada, Islam dan Pranata Sosial, 1996: 117-118)
Menyinggung masalah sumber hukum, al-faqir berpegang pada Metode Istinbath Dewan Hisbah Persatuan Islam, di mana sumber hukum Islam yang muttafaq ‘alaihi adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan ijma’, qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, saddud dzarii’ah, syar’u man qablanaa, ‘urfi, dan lain-lain, sifatnya mukhtalaf ‘alaihi. Karenanya, kesemuanya itu disebut sumber ijtihad. Demikian pula dalam beberapa rumusan penggunaan dalil [istidlaal], sekalipun ada beberapa kesamaan, namun tidak sedikit adanya perbedaan. Di antara contohnya adalah penggunaan hadits dhaif dalam keutamaan amalan [fadhaailul ‘amal], atau pendapat mana yang lebih mendekati kepada kebenaran [aqrab ilas shawaab] dari riwayat-riwayat yang dibawakan dengan pertimbangan siapa yang lebih dekat hubungannya dengan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam [seperti shalat tarawih 11 raka’at riwayat Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa]. (Lihat: Makalah Power Point Penulis, “Mengenal Sejarah dan Thuruq al-Istinbath Dewan Hisbah Persatuan Islam”, 2022)
Dalam memaknai hukum dan pemetaannya, sesuai keumuman pandangan ahli hukum umumnya, yang tidak lepas dari tiga; sumber dalil hukum [syarii’ah], pandangan terhadap dalil hukum [fiqih], dan aturan terhadap pandangan dalil hukum [qaanuun]. Contoh yang konkret dalam penetapan hilaal Ramadhan, secara sumber dalil bahwa “shuumuu liruyatihi wa afthuruu liru’yahi” merupakan dalil tandanya memulai shaum dan mengakhirinya dengan cara melihat bulan ketika pertama kali muncul [awwalu miiqaatis syahri. menurut Imam Muhammad ‘Ali As-Syaukani dalam Fathul Qadier]. Demikian pula dengan fiqih, di mana para ahli ilmu menjelaskan bahwa fungsinya adalah menafsir/ memahami dalil [munculnya penetapan ru’yat dan hisaab merupakan konsekuensinya]. Adapun qaanuun, ketika adanya perbedaan fiqih yang teramat banyak, bahkan “terasa liar” dan membutuhkan penyelesaian menyeluruh, maka lahirnya qaidah itsbaatul haakim fii masaailil ijtihaad yarfa’ul khilaaf; “Ketetapan hakim [ulul amri] dalam memutuskan perkara ijtihad dapat menyelesaikan perbedaan pendapat”.
Sesuai karakteristiknya, fiqih memiliki kedinamisan dan kekayaan qaidah-qaidah yang menyeluruh. Terutama masalah-masalah fiqhiyyah yang sarat dengan perbedaan pendapat [ikhtilaaf], sekaligus adab-adab perbedaan pendapat di dalamnya. Dengan demikian, kriteria mana-mana yang termasuk perkara sunnah, bid’ah, dan khilafiyah semakin jelas. Suatu amalan dikatakan sunnah, berarti memiliki dalil. Apabila tidak memiliki dalil, berarti bid’ah. Apabila sama-sama memiliki dalil namun belum ada titik temu, maka itulah khilafiyah. (Lihat: KH. Moenawar Cholil dalam Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah)
Yang tidak kalah menariknya, adalah bagaimana memaknai taqlied dan ittibaa’. Seiring dengan sudut pandang pemahaman yang berbeda terkait ayat Fas’aluu ahladz dzikri in kuntum laa ta’lamuun; “Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui.” [QS. An-Nahl/ 16: 43]. Sebahagian kalangan, menyebutkan bahwa ayat ini menghukumkan wajibnya taqlied. Sementara kalangan lainnya, menghukumkan wajibnya ittibaa’. Meminjam ungkapan Imam Ibnu ‘Abidin rahimahullaah: Fal mujtahidu muta’alliqatun bid dalil wal ‘awwaamu muta’alliqatun bil mujtahid; “Ahli ijtihad [ahli ilmu] kaitannya dengan pencarian dan pemahaman dalil, sedangkan orang ‘awwam kaitannya dengan bertanya kepada ahli ilmu”. Namun di sisi lain, para imam ahli fiqih [termasuk imam madzhab yang empat], mereka menyerukan larangan taqlied dalam beragama: Laa tuqallid diinaka ahadan; “Janganlah kamu bertaqlid dalam beragama kepada siapa pun!!!”
Yang terakhir, menyoal istilah Ahlus sunnah wal jamaa’ah, di mana al-faqir lebih setuju bahwa penamaan istilah yang mulia ini tidak hanya dipahami sebatas “ismun; nama”, melainkan “ismun wa shifatun; nama dan sifat sekaligus”. Selain pada kenyataannya telah muncul dalam sejarah teologi Islam yang menisbatkan langsung seperti halnya Asy’ariyyah [yang dikibarkan Imam Abul Hassan al-Asy’ari rahimahullaah] dan Maaturidiyah [yang dikibarkan Imam Abu Manshur al-Maturidi rahimahullaah], juga tersebar dalam kitab-kitab para ulama lainnya yang lebih menisbatkan pada sifat ahlus sunnah dan ahlul jamaa’ah sebagaimana banyak dijelaskan Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ibnu Taimiyyah al-Harani, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hingga Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahumullaah. Artinya, siapa pun orangnya atau kelompoknya yang berpegang pada sunnah [al-mutamassikuuna bis sunnah], dan berjalan membawa agama ini sesuai langkah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya [al-jamaa’ah, maa anaa ‘alaihi wa ashhaabiy], mereka memiliki hak untuk disebut Ahlus sunnah wal jamaa’ah.
Demikian goresan pena ini dihaturkan, semoga menjadi peneguh ilmu dan penentram jiwa yang diselimuti iman dan keikhlasan. Semua kita yakin, bahwa “Ilmu dituntut untuk mencari jelas bukan mencari puas, mencari kebenaran bukan pembenaran. Berbeda tidak berarti berpecah, karena perbedaan bukanlah perpecahan”. Fain tanaaza’tum fie syai’in farudduuhu ilallaahi war rasuuli in kuntum tu’minuuna billaahi wal yaumil aakhiri
Penulis adalah: Anggota Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), Anggota KP3 & LDK MUI Pusat, Anggota Fatwa MIUMI Pusat (Perwakilan Jawa Barat), Ketua Prodi KPI STAIPI Jakarta, dan Ketua Bidang Pemikiran & Ghazwul Fikri Dewan Da’wah