MENGHIDUPKAN PEWARISAN NILAI
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Di antara tradisi baik yang sering dilupakan, adalah menunaikan pewarisan nilai [baik yang bersifat keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, dan komunitas tertentu seperti halnya sosial-keagamaan]. Tradisi baik ini menjadi sesuatu yang berharga, ketika yang diwariskan adalah nilai-nilai kebaikan yang menjanjikan kebahagiaan dua negeri tempat kita hidup [sa’aadatud daarain; dunia dan akhirat].
Ungkapan hikmatul kibaar wa hamaasatus shighaar; “bijaknya senior dan ghairahnya yunior”, atau hamaasatus syabaab wa hikmatus syuyuukh; “semangat anak muda dan bijaknya orang tua”, belum begitu mengakar menjadi falsafah kehidupan dalam masalah “alih generasi” ini. Oleh karenanya, menghidupkannya kembali merupakan sesuatu yang niscaya. Itulah yang dilakukan orang-orang mulia terdahulu [al-fudhalaa, al-qudamaa].
Ada banyak himbauan yang menekankan pentingnya pembiasaan amalan ini, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sering menyeru kepada para shahabatnya dengan kalimat ‘alaikum bisunnatii; “wajib kalian berpegang teguh pada sunnahku”, ‘alaikum bil jamaa’ati; “wajib bagi kalian berpegang teguh pada jamaa-ah”, ‘alaikum bil ‘ilmi; “wajib kalian berpegang pada ilmu”, ‘alaikum bil ‘atiiqi; “wajib bagi kalian berpegang pada kemurnian ajaran”, atau marhaban biwashiyyati Rasuulillaah shallallaahu ‘alaihi wa salam; “selamat datang para pengemban wasiyat Rasul!” [sambutan Rasulullaah kepada kaum muda penuntut ilmu], dan seruan-seruan lainnya. Semua itu merupakan bentuk perhatian sang Panutan kepada masyarakatnya.
Hisyam bin ‘Urwah bin Zubair radhiyallaahu ‘anh memberikan kesaksian ayahandanya di mana dirinya senantiasa diingatkan dan dinasihati agar senantiasa berpegang pada sunnah Nabinya:
السنن … السنن … فإن السنن من قوام الدين
“[Wahai ananda!], Perhatikan sunnah Nabimu … Perhatikan sunnah Nabimu … Karena sunnah Nabimu itu merupakan tiang pancang agamamu”.
Masih banyak adegan dramatis dan dialogis lainnya yang dialami para shahabat ridhwaanullaahi ‘alaihim ajma’ien terkait nashiihatul kibaar shighaarahum, yakni perhatian dalam bentuk nashihat para senior kepada para yuniornya.
Merupakan kegembiraan tersendiri, apabila penanaman pewarisan nilai ini benar-benar menjadi “gayung bersambut” dan “shadaqah berantai” dari satu generasi ke generasi berikutnya yang tidak mengenal kata putus. Lahirnya pelanjut dan pewaris yang baik, sangat ditentukan oleh sejauhmana generasi pendahulu dalam mewariskan estafeta kebaikannya. Menjadi generasi kemudian yang mampu melanjutkan kebaikan masa lalu [khalafun], merupakan harapan kita. Sedangkan lahirnya generasi kemudian yang tidak mampu melanjutkan kebaikan masa lalu [khalfun], itulah yang kita khawatirkan. Demikianlah Allah ‘azza wa jalla mengisyaratkan dalam kalamNya:
فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti [yang buruk] yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam/ 19: 59)
Tulisan ini merupakan lanjutan dan goresan terakhir dari judul sebelumnya: Produktivitas Diri untuk Hidup yang Berkualitas. Semoga Rabbul ‘Aalamiin senantiasa menjaga kita. Wallaahu yahdiinaa ilaa shiraathil mustaqiim
Penulis adalah: Anggota DH Persatuan Islam [Komisi ‘Aqiedah], Anggota KP3 & Anggota LDK MUI Pusat, Anggota Fatwa MIUMI [Perwakilan Jawa Barat], Kaprodi KPI STAIPI Jakarta, dan Ketua Bidang Kajian & Ghazwul Fikri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia
Dimasa alih generasi ini saya sebagai golongan muda sering merasa tidak dihargai dalam mengeluarkan pendapat atau menentukan sikap. Alih-alih menasehati kami. Para Syuyukh lebih sering memarahi dan menyalahkan tanpa alasan yang jelas. Tulisan ini merupakan nasihat bagi kami agar terus mencontoh Rasul dalam segala posisi. Syukron Ustadz.