MALAM KEMULIAAN ITU PENUH MISTERI DAN UNIK PENUH PESONA // “Apabila kita merasa kurang sempurna di permulaan, maka jangan kita cederai di masa perpisahan”. Sungguh tak tersisa dari malam-malam pekan terakhir di bulan mulia ini, melainkan dalam hitungan jari semata. Di awal Ramadhan, orang-orang shalih terdahulu mengumpamakan Ramadhan sebagai bulan “panen raya”. Setelah melewati masa puncaknya dan mendekati masa akhir, mereka umpamakan sebagai “hari-hari perburuan”. Perburuan 10 malam terakhir, perburuan malam-malam ganjil, hingga perburuan malam ganjil tertentu [yakni malam ke-27 Ramadhan]. Semua itu menunjukkan, betapa Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan semangat yang tiada henti agar ummatnya memenangkan “perburuan” itu. Itulah primadona “malam kemuliaan” yang dibidik oleh semua perindu keutamaan. Sesuai dengan fithrahnya manusia, yaitu selalu ingin mendapatkan yang ideal dari semua pilihan. Sempurna sudah, ketika yang diburu benar-benar berada dalam waktu pilihan; selain malam ini bertepatan dengan malam Jum’at dan sekaligus malam ke-27 Ramadhan [bagi yang mengawali shaum hari Ahad], tentu bagi yang mengawalinya hari Sabtu, malam ini adalah malam yang ke-28. Terlepas dari perbedaan hari mengawalinya, keduanya berharap sama-sama menginginkan malam seribu bulan itu. Jangankan mereka yang tengah ikhtiar dengan segala upayanya dengan memenuhi 10 malam dan sepuluh hari terakhir dengan i’tikaf-nya di masjid-masjid Allah ‘azza wa jalla, bahkan yang tidak melakukan pun sama berharapnya. Jadi, sebenarnya siapa yang berhak dan lebih layak mendapatkannya itu? Tak kurang 40 pendapat para ulama tentang pertalian malam yang “super hebat” ini, terlebih lagi kalau dihubungkan dengan peristiwa nuzuulul Qur’aan yang sudah masyhur bertepatan 17 Ramadhan [sebelum al-‘asyrul awaakhir tentunya], juga bertepatannya dengan malam mulia yang lain seperti malam Jum’at sekarang ini. Sangatlah wajar, apabila rasa berharap itu semakin tinggi. Agar kita tidak termasuk menjadi orang-orang yang sekadar sibuk menghitung dengan matematika logika manusia dan “kalkulator dunia” semata, alangkah eloknya apabila kita lebih menyibukkan diri dengan substansi keseluruhan malam-malam mulia tersebut dengan amalan yang dicintai-Nya. Sekali lagi, “Lailatul Qadar” memang unik dan penuh misteri. Ia benar-benar penuh pesona plus penuh rahasia. Karena itulah disebut sirrun min asraarillaah; “suatu rahasia di antara rahasia-rahasia Allah”. Semoga matematika Allah ‘azza wa jalla lebih dahsyat dari apa yang kita perhitungkan. Allaahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annaa β¦ Aamiin yaa Rabbanaa π«πΈπβοΈ (@TenRomlyQ)