SESAAT YANG MENGINGATKAN JIWA
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Tepat hari Selasa yang lalu [27/06] pekan terakhir bulan Mei 2022 ini, mencoba untuk menyapa para mahasiswaku di STAIPI Jakarta untuk belajar secara offline [sebahagian online]. Seperti biasa, belajar pun dimulai penuh kehangatan dan bersemangat. Terlebih materi kuliahnya “Studi Literasi dan falsafah Tokoh Dakwah”, yang tibalah saatnya seorang mahasiswa menyajikan bagaimana sosok Imam Hassan al-Bashri yang begitu sangat ikhlas dan shabar dalam mengarungi kehidupan yang fana’ ini.
Beragam tingkah manusia ia saksikan, bermacam polah insan ia rasakan. Namun semua itu, tidaklah menjadikan sikap dirinya berubah untuk memahami orang lain yang dilihatnya. Betapa pandainya seorang Al-Hassan menjaga sikap pemaaf [‘iffah] bagi saudaranya, menahan keshabaran berkualitas premium yang mampuh mencegah marah. Kalaulah peristiwa ini terjadi pada diri kita yang dhaif iman, rasa-rasanya tidak ada di antara kita yang bakal mampu mengendalikan nafsu angkara murka.
Bagaimana tidak? Al-Hassan hidup bertetangga dengan sebuah keluarga yang kehilangan rasa mawas diri dan kepekaannya pada orang lain. 20 tahun lamanya, gubuk yang ia tempati harus menerima tetesan rembesan air tinja yang masuk ke sela-sela rumahnya. Tentu kita bertanya, keimanan tingkat apa yang dimiliki dirinya di mana ia tetap menebar senyum dan bermuka ramah pada saudara sebelahnya itu? Maa syaa Allah wa tabaarakallaah Wallaahu Akbar.
Bukankah dalam kehidupan nyata kita; termasuk dalam aktivitas dakwah dan tarbiyah sekalipun, sering terjadi dan teralami, banyak yang kita tidak menyadari bahwa “terlampau agresif” atau “menonjolkan diri” tanpa meraba jiwa membuat saudaranya kehilangan talenta dan terbunuh karakternya. Atau karena perasaan menjadi pemenang dan merasa di atas angin dengan sikap yang diperlihatkannya, membuat saudaranya merasa tersisihkan dan terpinggirkan.
Jangankan disengaja, tidak disengaja sekalipun orang tersebut telah menjadi perusak dan penghancur mental saudaranya. Pantas agama dan nurani mengajarkan, “Ekspresi kebahagiaan dan keberhasilan kita, jangan sampai membuat orang lain menjadi hasud karenanya”.
Kembali ke perkuliahan tadi, seorang mahasiswa menawarkan diri: “Ustadz mau minum apa?”, sejenak al-faqir pun terdiam, lalu menjawab: “Cukup air teh hangat saja”. Tidak lama kemudian, air hangat pun tersaji dengan gelas mug keramik putih bertuliskan nashihat berbahasa ‘Arab. Perhatian pun seketika tertuju pada gelas cantik itu, dan mengajak “rame-rame” untuk sama-sama menerjemahkan dan mentadabburi maknanya.
Adapun nashihat bijak itu adalah sebagai berikut:
لا تتغيري لإرضاء الناس … لا تتلوني لنيل إعجابهم … لا تتبدلي بسبب فشل … لا تتكبري بسبب نجاح
“Janganlah engkau berubah sikap [berlebihan] hanya untuk menyenangkan orang lain … Jangan pula mudah terlena hanya karena ingin mendapatkan decak kagum mereka … Jangan mudah berganti haluan dikarenakan engkau mengalami sebuah kegagalan … Dan janganlah pula engkau menyombongkan diri hanya karena sebuah kesuksesan yang diraih.”
Yaa Muqallibal quluub … Bersihkan hati-hati kami dengan sepenuh karuniaMu. Aamiin yaa Mujiibas saailiin. Semoga!!! … 💫🌸💟✒️ (Jum’ah mubaarakah, 01/ 07/ 2022)