MERDEKA JIWA ITU MEMANG INDAH
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien

Apabila kita benar-benar menjiwai kata “merdeka”, maka kita akan mendapatkan bahwa merdeka itu merupakan sifat keadaan, yakni keadaan yang menunjukkan suasana yang lapang tanpa beban dan tekanan. Selama diri seseorang itu terjajah dengan keinginan yang berlebihan; selalu ingin terlihat lebih hebat, selalu ingin tampak lebih terhormat, selalu merasa dirinya menjadi emas, dan sifat-sifat ghuruur lainnya. Maka yang terjadi, adalah munculnya libido ingin selalu menguasai dan memonopoli orang lain. Dengan demikian, gurita kebodohan pun tidak akan bisa dihindari seiring matinya daya kritis seseorang.
Lahirnya generasi “pembebek”, matinya karakter dan hilangnya talenta, kurangnya mandiri, mudah takjub pada sesuatu yang tidak semestinya, atau “memaksakan diri” agar orang takjub pada dirinya. Semuanya itu tidak bisa lepas dari penjajahan jiwa yang bisa merusak generasi berkelanjutan. Karena itu, segala bentuk penjajahan jiwa harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan fithrah kemanusiaan.

Sungguh tidak mudah menjadi insan merdeka, karena yang berhak memberikan anugerah merdeka yang sesungguhnya adalah Allah ‘azza wa jalla. Maka dapat dikatakan, bahwa kemerdekaan yang sesungguhnya adalah “kemerdekaan jiwa” dari berbagai perkara yang membelenggu diri menghalangi ridha Ilahi dan cita-cita suci insaani. Ridha Ilahi dijemput melalui mendekatkan diri kepadaNya [taqarruban ilallaah], sedangkan cita-cita suci insaani dijemput melalui pembenahan adab kemanusiaan.
Maka sangatlah wajar, para kesuma agama yang mulia ini mempersembahkan kepada dunia dengan nilai-nilai unggulan yang cetar membahana; senyuman mereka tulus tidak terselip sifat licik, karya mereka nyata tanpa mengada-ada, marwah dan wibawanya sangat kentara tanpa pencitraan. Semua yang dijalaninya dilakukan tanpa beban dengan semangat kasih sayang tanpa gila pujian yang direncanakan.
Jiwa-jiwa merdeka, pernah diperlihatkan sejarah tentang manusia-manusia teladan sepanjang zaman. Lingkaran kekhalifahan yang mulia ‘Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anh selalu menjadi contoh konkretnya, di mana shahabat Rib’i bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anh sebagai juru bicara Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anh dalam menghadapi Rustum, sang jenderal pongah Kekaisaran Persia.

Dengan gagah dan jiwa merdeka-nya, sang juru bicara kaum Muslimin itu menghadap Rustum yang menanyakan: “Gerangan apa yang menyebabkan seorang Rib’i dan kaum Muslimin datang ke istana dan wilayah kekuasaan Persia [yang megah nan perkasa]?” Sang juru bicara itu pun menjawab dengan lantangnya: “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah mengutus kami untuk mengeluarkan kalian dari penyembahan sesama hamba manusia menuju Tuhannya hamba, dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat, dan dari kezhaliman agama-agama dunia menuju keadilan Islam”.
Merdeka jiwa itu … selain qalbu bisa berdaulat, juga hidup bisa menjadi lebih indah. Benar apa yang dituturkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullaah dalam nasihatnya: “Manusia jangan pernah mengklaim dirinya merdeka, apabila masih terbiasa mengagung-agungkan makhluq dan meremehkan Allah ‘azza wa jalla. Dan jangan pernah menganggap dirinya sudah merdeka, jika belum mampu membebaskan diri dari segala penyimpangan dengan bertaubat, hati yang senantiasa bergantung pada Allah, mampu meredam emosi, dan mampu menahan nafsu angkara murka”. Dalam bahasa sederhananya, “Menegakkan daulah iman dalam hati harus kita dahulukan sebelum kita menegakkan daulah Islamiyah dalam kehidupan”. Wallaahu a’lam bis shawwaab
✍️ Goresan jentik jemari ini dituliskan di waktu dhuha (Jum’at, 19 Agustus 2022) dalam perjalanan Bis Kota Bekasi-Tanah Abang menuju tugas Jum’ah di Masjid Al-Hikmah Pertokoan Sarinah Jakarta Pusat.
Maa syaa Allah
Alhamdulillah..pencerahan..
Alhamdulillah..pencerahan..bagus