PIKIRAN PROF. DR. AZYUMARDI AZRA YANG MASIH TERUS KEPIKIRAN
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Setelah mempertimbangkan layak dan tidaknya untuk ditulis, sepertinya tetap harus ditulis sekalipun terlambat. Tentu ditulis masih lebih baik, dibanding tidak sama sekali. Adapun pertimbangan terlambat menulis; Selain bukan maqam-nya untuk menggoreskan kata-kata tentang sang begawan sejarah ini, juga menghindari kekhawatiran penilaian “kurang piknik” dari sebagian besar pengagum pemikirannya, termasuk kerabat dari rekan-rekan diskusi [baik sesama alumni pesantren, insan kampus, juga komunitas digital].
Sebenarnya, al-faqir sendiri mengagumi dan banyak tercerahkan oleh paparan historiografi-nya yang sangat mumpuni dan memukau. Namun demikian, sebagai pemikir sejarah yang par excellence, tidak berarti sang Guru Besar tidak memiliki kelemahan. Atau bahasa sederhananya, ada ruang-ruang tertentu yang perlu dikritisi dan dipertanyakan.
Selain itu, banyak pula yang mempertanyakan pemikirannya terkait keberpihakan terhadap ‘aqidah ummat dalam berbagai tulisannya. Al-faqir tergugah untuk meresponnya, apalagi yang bertanya anak sendiri ananda Yazied [Mahasiswa Pasca UI] yang waktu itu tengah menunaikan tugas sebagai crew Refly Harun Channel dalam mewawancarai Prof. Azra [sebulan sebelum jatuh sakit].
Alhamdulillaah, setiap tamu yang hadir di Channel itu, ananda pasti bertanya via handphone: “Abi … kenal bapak fulan nggak, bagaimana pemikirannya?” Demikian ananda sering bertanya setiap berjumpa tokoh, qaddarallaah yang ditanyakan saat itu adalah Profesor sejarah tersebut. Al-Faqir menjawab: “Beliau orang hebat dan luas wawasan sejarahnya, namun kepada siapa pun kita tidak boleh berlebihan karena terkadang kita dihadapkan dengan pemikiran para tokoh itu ngeri-ngeri sedap”. Jawab al-faqir sambil guyon; Ngerinya harus hati-hati, sedapnya kalau orang pintar ada di barisan ummat kita jadi ikut senang. Contohnya Prof. Azra yang kini dipercaya sebagai Anggota Dewan Pertimbangan MUI Pusat.
Memori yang lain, pengalaman al-faqir ketika mengajukan sanggahan kepada Prof. Azra terkait hakikat fanatisme beragama dalam forum launching buku Dr. Sudibyo Markus yang berjudul: “Dunia Barat dan Islam; Cahaya di Cakrawala” bersama Prof. Romo Magnis Suseno yang bertempat di Aula Gedung PP Muhammadiyah Menteng Jakarta Pusat. Waktu itu, al-faqir bertanya: “Mengapa dalam menjelaskan soal toleransi, sepertinya Prof terkesan menyalahkan orang Islam?” Spontan Profesor menjawab: “Adinda Romly … Saya tidak menyalahkan, melainkan mengkritisi. Kalau bukan sesama pemeluk Islam, siapa lagi? Nggak mungkin Romo Magnis!! Terlebih di forum ini”. Ujarnya, sambil melirik Romo.
Kembali kepada diskusi, di antara yang didiskusikan bersama ananda, adalah pemikirannya dalam menafsirkan “Islam Nusantara” yang menurutnya sudah sangat sesuai keberadaannya di negeri ini; di mana madzhab fiqih Syafi’i, teologi Asy’ari, dan kecenderungan terhadap tashawwuf semisal Al-Junaid, Abu Yazied al-Busthami dan Al-Ghazali merupakan anutan yang ideal sebagaimana yang sering beliau singgung dalam Resonansi-nya. Lalu bagaimana dengan yang lain, di luar yang disebutkannya tadi?
Demikian pula dengan pandangannya tentang Syi’ah sangat jelas sekali: “Adalah jelas, bahwa praktik-praktik keislaman tertentu di Nusantara yang sering diasosiasikan oleh sebagian orang dengan Syi’ah, pada esensinya tinggal kemiripan belaka, yang hampa dari kerangka teologi dan ideologi politik Syi’ah. Hanyalah dalam beberapa tahun terakhir ini -terutama berkat penerjemahan buku-buku karya pemikir Syi’ah, terutama ‘Ali Syari’ati, Muthahhari, Ayatullah Khomaeni-, Syi’ah sebagai paham keagamaan dan politik mulai menemukan sejumlah pendukung di Indonesia. Tetapi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan perkembangan itu. Konflik antara Sunni dan Syi’ah tidaklah sebesar apa yang selama ini dianggap sementara orang.” (Lihat: Syi’ah dan Politik di Indonesia; Sebuah Penelitian, “Syi’ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas”, A. Rahman Zainuddin, M. Hamdan Basyar [Editor], Azyumardi Azra [Pengantar], Jalaluddin Rakhmat [Apendiks], Mizan Pustaka, 2000: hlm. 26-27)
Secara akademis, tidak ada yang salah dengan pandangannya itu, karena hal tersebut merupakan hak intelektualnya. Namun, sebagai pembaca buku-bukunya, al-faqir juga punya hak untuk mengkritisinya. Terlebih sempat viral banyak tokoh menyorotinya.
Untuk memenuhi rasa keadilan, secara ilmiah tentu banyak hal yang penting untuk diungkap di mana kaidah al-jarhu dan at-ta’diil merupakan keniscayaan dalam memotret, menimbang, dan menilai pemikiran seseorang. Terlebih tokoh ummat yang akan diambil keteladanannya. Itulah yang al-faqir maksud dengan judul tulisan singkat ini, yakni “pikiran yang masih terus kepikiran”. Wallaahu yahdiinaa ilaa sabiilir rasyaad
✍️ Tulisan ini digoreskan bakda shalat ‘ashar [Kamis, 22 September 2022] di ruang tunggu Lt. 02 sambil menunggu Kajian Malam Jum’at Muballigh PW. Persatuan Islam DKI Jakarta
Semangat terus ustadz untuk memikirkan pemikiran Prof. Azyumardi Azra, semoga bisa menemukan titik terang atas selama ini kebimbangan ustadz dalam berusaha memahami pemikiran Prof. Azra.
Sebagaimana kaidah jarh wa ta’dil yang ustadz singgung, bukan tidak mungkin itu juga berlaku bagi beberapa tokoh dan rujukan literasi yang mungkin selama ini jadi referensi ustadz dalam berfikir dan bertindak, bukan tidak mungkin, bisa saja selama ini justru ustadz ke depan akan mengkoreksi beberapa pemikiran ustadz dan referensi ustadz selama ini, jika kita benar-benar menerapkan kaidah jarh wa ta’dil ini dengan adil dan proposional, bukan hanya pada kelompok/tokoh tertentu saja yang kita anggap berbeda dengan kita, bisa jadi, di dalam cakupan kita sendiri masih banyak yang harus kita kroscek, terkait kebenaran, validasi dan banyak hal, itu semua hanya bisa dilakukan jika kita mau jujur secara ilmiah dan fakta bukan diselimuti fanatisme terhadap pakem yang selama ini kita yakini.