AGAR INTERAKSI SOSIAL TETAP BERJALAN
Oleh:
Santri MAU Institute
Bukan sekadar pemanis kalam belaka, bahwa Islam merupakan diin paling sempurna. Yakni ajaran yang mengatur semua lini kehidupan tanpa terkecuali, termasuk di dalamnya merangkum kaidah-kaidah penting interaksi sosial.
Manusia, sebagai makhluq yang diciptakan dengan keberagaman; berjalan di atas ketidaksamaan warna bahasa, variasi budaya, dan latar belakang sejarah yang berbeda-beda, mampu menghadirkan kemanusiannya. Semua itu terjadi, karena Allah ‘azza wa jalla menganugerahkan konsep ukhuwwah yang mampu merawat heterogenitas dalam menjembatani segala jenis perbedaan dengan jalinan persaudaraan.
Salah satu kenikmatan agung yang Allah ‘azza wa jalla hamparkan pada kita adalah kenikmatan dipersaudarakan [at-taaakhiy] yang terjalin di atas tali iman. “Ingatlah ketika kalian dahulu saling bermusuhan, maka ketika kenikmatan datang jadilah kalian bersaudara”. Demikian QS. Alu ‘Imran/ 3: 103 mewartakan. Adapun penegasan kata “wadzkuruu”, mengindikasikan bahwa manusia itu sering lupa, di mana hakikatnya yang mempersaudarakan adalah Allah, dan ukhuwwah ini bagian dari nikmat yang perlu dijaga.
Sekalipun boleh, namun bisa jadi kesendirian tidak dibenarkan. Bahkan fakta sejarah mencatat, sesungguhnya dalam ummat ini tidak ada yang namanya alone ranger. Yang ada adalah keharusan menghimpun kekuatan bersama dengan orang yang berada pada garis iman yang senada, dalam ruh yang beredar pada orbit ketakwaan yang seirama.
Sebagai makhluq yang hidup di alam nyata, manusia tidak bisa memenangkan hidup sendirian. Bahkan manusia terbaik selevel Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sekalipun dalam meluaskan dakwahnya tetap butuh keberadaan para shahabat yang membersamaii liku perjalanannya. Dengan bermodalkan semangat ukhuwwah yang mereka genggam, mereka pun berhasil memenangkan kehidupan. Perjuangan mereka merupakan aksi nyata yang benar-benar ada, bukan angan-angan [khayaali] seperti yang sering dijumpai dalam tontonan cinema yang sering mengkaburkan hakikat yang seharusnya, di mana plot semu kisah fiktif superhero yang mustahil dalam film hollywood seringkali menghilangkan akal sehat dan merusak mindset seseorang.
Sungguh, manusia membutuhkan keberadaan orang lain, butuh sentuhan interaksi sesama penduduk bumi. Artinya, manusia tidak mungkin bisa hidup sendiri tanpa kehadiran saudara-saudara dan orang di sekitarnya, terlebih dikaitkan dengan keimanan. Meminjam ungkapan Imam Hasan al-Bashri rahimahullaah ketika dirinya tengah bermajlis bersama taabiin yang lain. Sang Imam bertutur:
إخواننا أغلى عندنا من أهلينا فأهلونا يذكروننا الدنيا، وإخواننا يذكروننا بالآخرة
“Sesungguhnya bertemunya saudara-saudara kita dalam iman itu jauh lebih mahal daripada bertemunya kita dengan keluarga. Karena keluarga seringkali mengingatkan kita sebatas pada perkara dunia, sementara saudara-saudara kita justru banyak mengingatkan kita pada perkara akhirat”
Untuk lebih terawatnya semangat ukhuwwah dan interaksi sesama manusia, minimalnya ada enam tahapan prilaku sosial yang penting diperhatikan:
Pertama; Ta’aaruf
Prilaku yang mampu mengikat hati, memangkas perbedaan, dan menumpas segala jenis permusuhan. Perlu disadari, bahwa batu bata pertama dalam membangun persaudaraan adalah dengan saling mengenal [ta’aaruf]. Tentu bukan hanya sebatas mengenal jasad, atau mengindentifikasi identitas, tapi lebih dari itu Muslim yang bersaudara harus saling mengenal karakter, saling mengetahui kondisi jiwa saudaranya, termasuk pandai mengenali sikap mana yang bisa menyebabkan luka dalam hati saudaranya, dan sisi mana yang dapat mendatangkan bahagia baginya.
Kedua; Tafaahum
Sebagaimana kita senang diperlakukan orang lain, maka begitulah kita harus memperlakukan insan lain yang sepadan. Dan sebaliknya, sebagaimana kita tidak suka diperlakukan orang lain, maka begitulah kita harus menghindarinya. Itulah arti hidup harus dengan saling memahami [tafaahum], karena dengan saling memahami dapat menyelamatkan interaksi sosial dari jeratan relasi yang jauh dari harmonisasi. Hal itu penting untuk diwujudkan, agar terbangun kenyamanan komunikasi dan berbuah pada ukhuwwah yang saling merekatkan hati.
Ketiga; Taraahum
Ketika saling memahami telah terjalin dengan erat, maka dorongan kasih sayang pun akan datang tanpa harus diundang. Artinya, benih-benih kasih sayang akan tumbuh mekar dengan sendirinya tanpa harus dipaksa ketika saling menyayangi [taraahum] telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya.
Keempat; Ta’aawun
Banyak literasi yang memotret terbentuknya keteraturan sosial, dikarenakan kuatnya sensitifitas terhadap kesusahan orang lain. Maka saling tolong menolong, disebut juga ta’aawun atau tanaashur tercatat telah berhasil memecahkan rumitnya problematika manusia dengan cara yang paling sederhana.
Jika kita menilik ke belakang, sang utusan mulia ketika di masa tertatih membangun peradaban di Madinah, tidak pernah sedikit pun Nabi panutan lekang dalam memusatkan perhatiannya terhadap kaum lemah. Dibangunkannya kemah [khaimah] di pojok masjid merupakan bukti kepeduliannya.Itulah yang dikenal dengan rumah shuffah. Betapa bahagianya ahlus shuffah; hari demi hari mereka tidak pernah sepi menerima limpahan kasih sayang dan kepedulian dari keluarga inti Nabi akhir zaman. Ini merupakan pembuktian, betapa konsistensi dalam saling membantu telah menjadi strategi dalam menghidupkan nafas persaudaraan.
Kelima; Tadhaamun
Merekahnya jiwa-jiwa sosial yang teramat mulia, melahirkan sikap laku yang melebihi dari sekadar menolong. Lebih dari itu, satu sama lain mampu saling memberikan jaminan [tadhaamun] bagi keamanan, kenyamanan, dan kedamaian saudaranya.
Keenam; Takaaful
Alur hidup seorang hamba, tidaklah mungkin selamanya berjalan indah. Setiap manusia pasti pernah menapaki sebuah tempat singgah [manzilah] berupa episode sulit yang pernah dilalui, karena itulah maqam tertinggi dalam pondasi persaudaraan diperlukan hadirnya. Itulah sikap saling menanggung beban [takaaful] sesama saudaranya; Yakni saling merasakan dan saling mengulurkan tangan ketika bahu saudaranya tumbang dikarenakan beratnya beban kesusahan. Untuk sampai di level ini tentu perlu berlatih panjang agar tidak bersikap apatis terhadap kesulitan orang lain.
Semoga Allah ‘azza wa jalla menyatukan kembali hati-hati yang bercerai, merekatkan kembali setiap tali persaudaraan yang sempat terurai, dan mengikatnya dalam tali ukhuwwah, yakni tali yang membawa pada semangat yang sama, semangat menghidupkan dan mengharumkan Kitaabullah dan Sunnah nabiNya dalam kehidupan nyata. Wallaahu yahdiinaa ilaa sabiilir rasyaad
✍️ Goresan materi ini disajikan penulis, sebagai bahan diskusi pada acara Liqaa’ Maftuuh santri Rijaalul Ghad [RG] dan Ummahaatul Ghad [UG] di Pesantren Persatuan Islam No. 81 Cibatu-Garut Jawa Barat