Oleh : Teten Romly Qomaruddien
Merendahkan, melecehkan, dan menghinakan berbagai simbol agama [syi’aarud diin] merupakan bentuk penentangan yang nyata terhadap Dzat Yang Maha Pencipta. Terlebih syi’ar suci berupa kalamNya seperti halnya Mushhaful Qur’aan yang wajib dirawat dan dipelihara.
Ada banyak bentuk penodaan yang dilakukan; mulai dari merusak fisik mushhaf, menyamakan ayatNya dengan qaul manusia, melantunkan ayatNya dengan alunan permainan hiburan, membaca ayatNya bukan pada tempatnya [termasuk di gereja, klenteng, atau tempat pemujaan lainnya], membacanya di tempat-tempat kotor dan terlarang, atau memposisikan tulisan ayatNya pada tempat yang tidak layak [di toilet, di bawah telapak sandal/sepatu, dan lain-lain], juga menafsirkan Al-Qur’an dengan sekehendak nafsu tanpa piranti ilmu. Semua itu bentuk-bentuk perendahan yang sangat hina.
Sekalipun QS. At-Taubah/9, ayat 65-66 berbicara kemarahan Allah ‘azza wa jalla tentang penentangan orang-orang munafiq pada peristiwa perang Tabuk, namun para ulama memasukkan pula penentangan-penentangan lainnya, termasuk “memperolok-olok ayatNya”, Allah ‘azza wa jalla berfirman: Dan jika kamu tanyakan kepada mereka [tentang apa yang mereka lakukan itu], tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan rasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu [lantaran mereka bertaubat], niscaya Kami akan mengazab golongan [yang lain] disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
Mengolok-olok agama atau bergurau terhadap ajaran agama [al-istihzaa bid diin] dengan bentuk yang beragam seperti berita viral saat ini; menginjak-injak mushhaf, menduduki dan melemparkannya, bahkan membakarnya, merupakan tindakan biadab, tidak bermoral, dan merusak hak asasi kaum Muslimin yang menjadikannya sebagai kitab suci. Baik dilakukan orang-orang Muslim sendiri dengan niat “bergurau” [huzuwan] atau dilakukan orang-orang kafir yang nyata-nyata menabuh genderang perang, pada dasarnya sama saja merupakan kejahatan terhadap kesakralan agama.
Mayoritas ulama sepakat atas keharaman melecehkan kitab suci dan simbol-simbol suci lainnya ini; Mulai Qadhi ‘Iyadh, Imam Nawawi, Al-Maliki, Imam As-Syaafi’i, dan Imam Ibnu Taimiyyah menghukumkan dengan ketentuan hukum yang sama. Bahkan ulama-ulama Hanafiyah menuturkan: “Siapa pun yang merendahkan Al-Qur’an, masjid dan sejenisnya yang dimuliakan dalam syari’at maka ia telah jatuh pada kekafiran.”
Pelajaran berharga yang paling penting untuk dicatat adalah: “Tergoresnya hati dan terlukanya jiwa seorang Muslim karena aksi barbar dan vandalisme terhadap kitab suci Al-Qur’an, adalah wujud keimanan seorang hamba. Dan merasa teriris hati dan tersayat jiwa seorang Muslim karena belum mampu menunaikan ajaran Al-Qur’an, merupakan hakikat iman ummat Nabi akhir zaman.”
Mencintai agama, berarti mencintai Islam. Mencintai Islam, berarti mencintai Allah ‘azza wa jalla dan rasulNya. Mencintai Allah dan rasulNya, berarti mencintai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mencintai keduanya, maka berarti siap pula membelanya. Allaahummaj’alil Qur’aanal ‘azhiim rabii’a quluubinaa wa nuura shuduurinaa wa jalaa-a ahzaaninaa wa dzahaaba humuuminaa … Aamiin yaa Rabbanaa