Minggu, Mei 19MAU INSTITUTE
Shadow

ANEH, HARI GINI “NGGAK DOYAN” NGAJI ? (Renungan Sepanjang Jalan Tol)

Oleh : Teten Romly Qomaruddien

Diiringi semilir angin pagi, gerimis rintik hujan yang membasahi bumi, ditambah lagi antrian kendaraan padat merayap yang selalu menghiasi jalanan setiap hari. Sembari tadabbur dan tafakkur, diri ini pun terhentak dengan pemberitaan media yang tengah membincang seorang tokoh publik dikarenakan pernyataannya terkait keterlibatan kaum ibu yang semakin ramai dalam pengajian-pengajian.

Terlepas apakah itu terpeleset lidah atau disengaja, yang jelas menggugah hati ini menerawang panjang nasihat para orang tua dahulu yang justru sebaliknya; selalu mengingatkan anak cucu, generasi kemudian, dan handaitolan untuk mengingat tujuan hidup, menjadi orang benar dan pintar, juga lebih dekat dengan ahli agama dan ahli taubat.

Sambil mengelus dada dan menghibur diri, tiba-tiba terngiang untaian lirik tembang Sunda dengan judul “Jang” karya Kang Oon Bawani [pria Kota Kembang, kelahiran 1968], yang seolah-olah memberikan “wejangan” pada diri ini yang dhaif, alias lemah tidak berdaya dari segala ujian dunia. Tanpa terasa, jentik jemari ini pun menari di atas layar gadget -yang mulai megap-megap karena kepenuhan memori- untuk menerjemahkan lirik menarik itu sebagai syarah-nya.

Pertama; Jang, hirup téh teu gampang, teu cukup ku dipikiran, bari kudu dilakonan … Jang, jalan kahirupan, henteu sapanjangna datar, aya mudun jeung tanjakan

Hidup itu ternyata tidaklah mudah; tidak cukup sekedar dipikirkan, namun mesti dijalani … Adakalanya jalan kehidupan itu tidak selalu berjalan mulus; terkadang ritmenya naik dan turun.

Kedua;
Kudu sabar dina kurang, ulah nepak dada beunghar … Salawasna kudu syukur, eling ka nu Maha Agung, kadé hidep bisi kufur

Harus sabar ketika kurang, jangan menepuk dada ketika berkecukupan … Syukur, dzikir, dan jangan kufur. Itulah kunci yang harus dipegang.

Ketiga;
Jang, cing jadi jalma hadé, cing jadi jalma gedé, beunghar harta, jembar haté … Jang, hidep cing ngajalma, turut paréntah agama, ulah jauh ti ulama

Jadilah orang besar yang seimbang; bukan hanya kaya harta, melainkan kaya hati … Jadilah manusia prima yang selalu mematuhi agama dan tidak menjauhi ulama.

Keempat;
Nyobat sareng ahli tobat, dalit sareng para kiyai … Hirup keuna ku owah gingsir, ngarah aya anu ngageuing, mangsa léngkah ninggang salah

Selalu berkawan dengan ahli taubat dan bersahabat dengan ahli agama … Hidup tidak lepas dari ujian dan angan-angan dunia, sehingga penting adanya pegingat langkah ketika salah.

Kelima;
Cing pinter tur bener, cing jujur tong bohong … Ulah nganyerikeun batur, ngarah hirup loba dulur

Pandai dan bermorallah; selalu jujur dan jangan berbohong … Jangan terbiasa menyakiti orang lain, agar tercipta hidup rukun dan terjalin luas persaudaraan.

Keenam;
Raksa ucap lampah, tékad jeung tabéat … Ngarah pinanggih bagja, salamet dunya akhérat … Jang, jang, cing jadi jalma soleh

Memelihara tutur kata, menselaraskan tingkah laku, meluruskan niat, dan mengokohkan karakter, merupakan kunci keselamatan dunia dan akhirat.

Itulah kiat kesuksesan “revolusi akhlaq” yang mampu mengantarkan kepada kesalihan pribadi dan kesalihan sosial anak bangsa. Karenanya, aneh bukan … Kalau hari gini, kita tidak mau dan “nggak doyan” ngaji? Wallaahul musta’aan


✍️ Tulisan ini digoreskan di atas Busway Bekasi-UKI, lanjut jurusan Harmoni pada waktu Dhuha dengan cuaca mendung (Rabu, 22/02/2023).

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!