Oleh : Teten Romly Qomaruddien
Kata “golongan” dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, terkadang menggunakan kata jamaa’ah untuk menyebut kumpulan orang-orang yang bersesuaian dengan kebenaran [al-haq], dan kata firqah untuk menyebut kumpulan orang-orang yang menyelisihi kebenaran [mukhaaliful haq]. Demikian shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhumaa menuturkan.
Selain itu terkadang menggunakan kata thaaifah, untuk menyebut kumpulan dengan sifat atau karakteristik tertentu. Di antara kalimat populer yang bisa ditemukan adalah: kumpulan orang-orang yang mendalami pemahaman agama [thaaifah mutafaqqihiina fid diin] dan orang-orang yang mendapatkan pertolongan Allah ‘azza wa jalla karena pembelaan terhadap agama dan ketaatan pelakunya [thaaifah manshuurah].
Dalam istilah lainnya, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat, taabi’in ridhwaanullah ‘alaihim, serta generasi berikutnya menyebutkan pula dengan al-ghuraba untuk menyebut kumpulan manusia asing yang menampilkan kebenaran di tengah maraknya kemungkaran. Disebut juga sebagai as-sawaadul a’zham, untuk menyebut mayoritas generasi terbaik ummat.
Semua itu menunjukkan, merekalah yang sejatinya disebut “golongan yang selamat” sebagaimana dibentangkan uraiannya oleh Syaikh Muhammad Jamil Zeeno. Wajarlah apabila shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anh menisbatkan mereka sebagai golongan yang disebut yauma tabyadhdhu wujuuhun; “manusia yang berseri-seri di hari kiamat ketika menghadap Penciptanya [maksudnya adalah wajah ahlus sunnah dan ahlul jamaa’ah].” (QS. Ali ‘Imraan/3: 106). Itulah penafsiran Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah yang dinukilkan Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsiir Al-Qur’aanul ‘Azhiim.
Sedangkan sebaliknya, yang dimaksud wa taswaddu wujuuhun; “mereka yang mukanya hitam kelam di hari kiamat [maksudnya adalah wajah ahlul bida’ dan ahlud dhalaal]”. Sebagian ulama menyebutkan, mereka terdiri dari kaum Khawaarij, Syi’ah-Rafidhah, Murji’ah, Mu’tazilah, Qadariyyah, dan Jabariyyah. Kelompok atau sekte-sekte induk ini, biasa disebut ushuulul firaq atau ummahaatul firaq. Maknanya adalah “induknya sekte-sekte”.
Dalam menyebut ahlul bida’, sebahagian ulama menyebutnya dengan ahlul ahwaa [pengikut hawa nafsu], ahlud dhalaal [penebar kesesatan], atau ahlul firaq [pemecah belah]. Bahkan sebahagian menyebutnya dengan ahluz zaigh was syubuhaat [orang-orang yang condong pada kesesatan dan keraguan], atau al-firaqud dhaalah wal haalikah [kelompok kesesatan dan kebinasaan].
Kebalikan dari semuanya itu adalah ahlus sunnah wal jamaa’ah, yakni pengikut as-sunnah dan al-jamaa’ah [terlepas dari berbagai varian penafsirannya]. Dalam beberapa hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, disebutkan mereka itulah pemilik kriteria maa ana ‘alaihi wa ashhaabii, yaitu siapa saja yang mengikuti Nabi dan menapaki jejak langkah para shahabatnya. Seorang ahlul hadits Abu Syihab az-Zuhri rahimahullaah menyebutnya dengan “safiinatu Nuuh; penumpang kapal Nabi Nuh”. Beliau bertutur: “Orang-orang yang berpegang pada kitab Allah dan rasulNya laksana penumpang kapal Nabi Nuh; Siapa yang cepat naik, mereka akan selamat. Siapa yang menjauh, mereka akan tenggelam.”
Demikianlah kandungan makna hadits terkait “terpecahnya ummat menjadi 73 golongan; semuanya binasa kecuali satu golongan saja yang selamat, yaitu mereka yang menjadikan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya yang mulia sebagai teladan hidupnya”.
Adapun mengambil cara beragama sebagaimana penyimpangan yang dilakukan sekte-sekte yang pernah ada di sepanjang sejarah teologi Islam, itulah cara beragama yang sering dipertontonkan neo ummahaatul firaq abad ini sebagai trend baru tafsir beragama yang dianggap tepat oleh mereka.
Lahirnya sikap berlebihan dalam memahami agama tanpa piranti ilmu [ghuluw, ekstrimisme], larut dalam mengkhayalkan hadirnya juru selamat atau datangnya ratu adil tanpa dalil nash [mahdiisme], menuhankan akal pikiran [rasionalisme], menuhankan pembenaran pada perasaan [spiritualisme, asketisisme], apriori terhadap hubungan iman dengan kenyataan [skeptisisme], dan mendewakan sesuatu yang batin dari pada yang zhahir secara keliru [mistisisme, okultisisme] dan masih banyak yang lainnya semakin membuka lebar pintu penyimpangan [inhirafaat] secara nyata. Wallaahu yahdiinaa ilaa shiraathil mustaqiim.
✍️ Goresan ini disampaikan pada Kajian Dhuha di aula Masjid Al-Furqan Dewan Da’wah Islamiyyah Indonesia, Kramat Raya 45, Jakarta Pusat.