Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Di antara sifat yang bisa merusak ajaran agama adalah mengikuti kehendak nafsu [ittibaa’ul hawaa], berburuk sangka kepada Allah ‘azza wa jalla [suu’uz zhan billaah], dan berlebihan dalam memahami agama tanpa piranti ilmu [al-ghuluw fid diin]. Selain itu, sikap menyombongkan diri [takabbur] yang menyebabkan seseorang terbiasa menolak kebenaran [batharul haq], dan senang merendahkan orang lain [ghamthun naas].
Menarik untuk direnungkan, timbulnya beragam kegaduhan dan penyimpangan dalam beragama tidak lepas dari sifat yang telah disebutkan. Ketika akal pikiran dipertuhankan, menyangka bahwa Allah ‘azza wa jalla memiliki banyak kelemahan sehingga menempatkan diri berhak untuk menafsirkan, kemudian memaksakan kehendak diri dalam menyimpulkan pemahaman agama tanpa rumusan [dhawaabith] dan kaidah-kaidah [qawaaid] yang disepakati ahli ilmu, maka yang akan terjadi adalah bencana kesesatan yang mapan.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah, menuturkan jawaban ringkasnya dengan menyimpulkan bahwa sebab-sebab perselisihan yang menyebabkan perpecahan dan penyimpangan adalah adanya kesombongan dan telah bersemayamnya kecondongan pada kesesatan, serta meninggalkan sebahagian perintah Allah ‘azza wa jalla yang telah diwajibkan kepada hamba-Nya. (Ibnu Taimiyyah, Majmuu Fatawaa, tp tahun: hlm. 14-17)
Dengan mentadabburi ayat yang suci dan membedah hikmah sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia berikut ini:
سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَٰتِىَ ٱلَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِى ٱلْأَرْضِ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَإِن يَرَوْا۟ كُلَّ ءَايَةٍ لَّا يُؤْمِنُوا۟ بِهَا وَإِن يَرَوْا۟ سَبِيلَ ٱلرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا وَإِن يَرَوْا۟ سَبِيلَ ٱلْغَىِّ يَتَّخِذُوهُ سَبِيلًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا وَكَانُوا۟ عَنْهَا غَٰفِلِينَ
“Akan Aku palingkan dari tanda-tanda [kekuasaan-Ku] orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar. Jika mereka melihat tiap-tiap ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya. Tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS. Al-A’raf/ 7: 146).
لا يدخل الجنَّة من كان في قلبه مثقال ذرَّة من كبر! فقال رجل: إنَّ الرَّجل يحبُّ أن يكون ثوبه حسنًا، ونعله حسنة؟ قال: إنَّ اللَه جميل يحبُّ الجمال، الكبر: بطر الحقِّ وغمط النَّاس
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi sekalipun. [Lalu] seorang laki-laki berkata: Terkadang seseorang menyenangi pakaian dan sandalnya yang bagus-bagus. Nabi pun menjawab: [Kalau yang demikian bukanlah kesombongan] Allah Maha indah dan mencintai keindahan. Yang disebut kesombongan itu adalah menolak kebenaran yang datang kepadanya dan suka merendahkan orang lain.” (HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anh)
Dua nash syar’i tersebut cukup untuk diambil pelajaran, betapa sikap sombong [al-kibr, takabbur] itu dapat menggiring pelakunya untuk berbuat semena-mena tanpa batasan dan aturan; merasa hebat sendiri, tanpa tanding, keras kepala, tidak menerima pandangan yang benar, sulit dinasihati, bahkan merendahkan orang lain. Siapa pun orangnya, bisa terjangkit dan mengidap penyakit kejiwaan yang berbahaya ini. Syndrome megalomania, demikian para ahli jiwa dan kesehatan mental menyebutnya.
Para ahli Tafsir banyak menyoroti perkara ini, misalnya Syaikh ‘Abdurrahman Nashir as-Sa’di ketika menafsirkan petikan ayat: ” Kalimat ‘Orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar’, yakni mereka menyombongkan diri kepada hamba-hamba Allah dan kepada kebenaran serta kepada pembawanya. Siapa saja yang memiliki karakteristik seperti ini, maka Allah tidak akan memberikan kebaikan kepadanya, Allah akan menelantarkannya dan dia tidak dapat memahami ayat-ayat Allah yang bermanfaat bagi diri, bahkan bisa jadi hakikat perkara yang sebenarnya menjadi “jungkir balik” baginya yang selanjutnya dia menganggap yang buruk sebagai sesuatu yang baik.” (Lihat: As-Sa’di dalam Taiysiirul Kariimir Rahmaan Fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan).
Sementara ahli Tafsir sebelumnya, Imam Muhammad ‘Ali as-Syaukani, penulis kitab Fathul Qadiir menuturkan: “Kalimat ‘Karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya’, itulah yang menyebabkan Allah memalingkan hati mereka dari keimanan kepada risalah-Nya; Mereka tetap bersikeras dalam kedustaan dan selalu berpaling, dikarenakan keangkuhan dan kesombongan mereka setelah mereka begitu banyak melihat berbagai tanda-tabda kebesaran-Nya.” (Lihat: Muhammad Sulaiman al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsiir Min Fathil Qadiir).
Agar ummat dapat selamat dari beragam jebakan kata-kata dan penafsiran para pengumbar nalar, serta terhindar dari narasi liar, maka “mengembalikan penafsiran agama sesuai dengan kaidah-kaidah mu’tabar ahli ilmu” adalah jalan keluar terbaik dari kesesatan dan penyimpangan.
Bukankah Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullaah pernah mengingatkan dalam syairnya:
العلم قال الله قال رسوله قال الصحابة هم أولو العرفانِ … ما العلم نصبك للخلاف سفاهة بين الرسول وبين رأي فلان
“Hakikat ilmu itu ada pada Kalam Allah dan sabda rasul-Nya, juga perkataan shahabatnya karena mereka memang ahlinya … Bukanlah sesuatu dikatakan ilmu, engkau sandarkan pendapatmu pada silang pendapat orang dungu yang membenturkan sabda Baginda Rasul dengan pandangan sampah manusia biasa.” Wallaahu yahdiinaa ilaa shiraathil mustaqiim.
✍️ Tulisan ini digoreskan dengan penuh keprihatinan, setelah menyaksikan dan menyimak berbagai tayangan dan cuplikan video Panji Gumilang yang semakin kebablasan.