Oleh : Teten Romly Qomaruddien
1500 tahun atau 15 abad bukanlah waktu yang pendek, melainkan bentangan jarak yang teramat panjang. Sungguh memukau dialog seorang shahabat bergelar Shaahibus Sirri [shahabat yang paling banyak menyimpan rahasia berita kenabian], yakni Hudzaifah bin Yaman radhiyallaahu ‘anh yang banyak memantik Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menjawab setiap kisi-kisi pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Sebagaimana dua guru besar ahli hadits [as-syaikhaan], yakni Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dalam Al-Jaami’ as-Shahiih-nya, juga Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya yang merekam tanya jawab yang berbobot itu terkait kekuasaan dan zaman yang semakin tidak baik-baik saja.
Hadits pertama, diceritakan oleh shahabat Nu’man bin Basyir radhiyallaahu ‘anh bahwa ketika dirinya sedang duduk di masjid, seorang shahabat bernama Abu Tsa’labah radhiyallaahu ‘anh datang menghampiri seraya berkata: “Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah anda masih hafal khutbahnya Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kekuasaan? [Basyir adalah seorang laki-laki yang sedikit bicara]”. Lalu Hudzaifah bin Yaman [yang mendengar pertanyaan tadi] menimpalinya dengan mengatakan: “Aku hafal khutbah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam“. Maka Tsa’labah pun duduk menyimaknya.
Hudzaifah mulai menuturkan isi khutbah Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut: “Periode kenabian [nubuwwah] akan berlangsung kepada kalian dalam beberapa masa, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu muncul periode kekhalifahan yang sesuai dengan model kenabian [khilaafah ‘alaa minhaajin nubuwwah] selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya. Kemudian datang periode para penguasa yang menggigit [mulkan ‘aadhan] selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode para penguasa yang otoriter [mulkan jabariyyan] dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah Ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilaafah ‘alaa minhaajin nubuwwah“. Setelah itu Rasulullaah pun diam [tidak melanjutkan tutur katanya].
Ada banyak pandangan dalam memahami hadits tersebut; selain menyoroti dari sisi kritik sanad, ada pula dari sisi penafsiran. Sebagian kalangan, menafsirkan hadits tersebut merupakan pembabakan fase kekuasaan sampai pada tingkat “memastikan” dengan menentukan masa tertentu seperti halnya Syaikh Sa’id Hawwa dalam kitabnya Al-Islaam yang dikuatkan oleh Syaikh Ramli Kabi ‘Abdurrahman dalam kitabnya Al–Bai’ah Fin Nizhaamis Siyaasi al-Islaami, ada pula yang sekadar menyebutkan kekuasaan penguasa tertentu abad ini sebagaimana banyak disampaikan para pengkaji akhir zaman.
Yang jelas, hadits tersebut bersifat berita kenabian [khabar nubuwwah] yang mengandung optimistis [tarajji’], artinya kekuasaan akan kembali seperti kekhilafahan di atas metode kenabian selama ummat ini meneladani Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para penggantinya yang diberi petunjuk [khulafaaur raasyidiin al-mahdiyyiin]. Adanya karakteristik keteladanan terhadap generasi terbaik ummat, semakin mempercepat pula akan kemunculannya. Sebaliknya, semakin jauh dari karakteristik keteladanan mereka, semakin pesimis pula akan kemunculannya. Bukankah kekhilafahan yang benar-benar sesuai dengan model khilaafah nubuwwah hanya 30 tahun? Demikian Imam As-Suyuthi menjelaskan dalam Taarikhul Khulafaa-nya.
Hadits kedua, diceritakan langsung oleh shahabat Hudzaifah sendiri yang menjelaskan dialognya bersama Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut:
“Orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepadanya tentang keburukan, karena aku khawatir keburukan tersebut menghampiriku. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullaah, sesungguhnya dahulu kami berada dalam kejahiliyyahan dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan kepada kami [berupa datangnya Islam], lalu apakah setelah zaman kebaikan ini akan ada zaman keburukan?”. Rasulullaah menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apakah setelah zaman keburukan tersebut akan ada lagi zaman kebaikan?” Rasulullaah pun menjawab, “Ya, tapi kebaikan di dalamnya diselimuti kabut tebal [dakhan, kekeruhan].” Aku bertanya lagi, “Apa yang dimaksud kabut itu?” Rasulullaah menjawab, “Suatu kaum yang menyerukan perbuatan tidak dengan sunnahku, dan memberi petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau mengetahui mereka dan engkau mengingkarinya.” Lalu aku bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan yang diselimuti kabut tersebut akan ada zaman keburukan lagi?” Rasulullaah menjawab, “Ya, akan muncul para penyeru di tengah-tengah ummat yang menggiring ke pintu-pintu neraka jahannam [du’aatun ‘alaa abwaabi jahannam], siapa yang menjawab seruannya maka akan terperosok ke dalamnya.” Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullaah, terangkan ciri-ciri mereka kepada kami!?” Rasulullaah menjawab, “Warna kulit mereka sama seperti kita dan bahasanya pun sama seperti bahasa kita.” Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullaah, apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai hal itu?” Rasulullaah menjawab, “Engkau harus tetap komitmen terhadap Jama’ah Muslimin dan Imam mereka.” Lalu aku bertanya lagi, “Bagaimana jika tidak ada Jama’ah dan Imam-nya?” Rasulullaah menjawab, “Maka berlepaslah dari semua golongan-golongan tersebut, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai kematian menjemputmu, dan engkau tetap dalam keadaan seperti itu.”
Seperti riwayat sebelumnya, hadits yang kedua ini tidak sepi dari beragam pandangan dan penafsiran. Ada yang memaknai Jamaa’atul Muslimiin itu bersifat apa adanya [letterlijk, zhaahiriyyah] tanpa interpretasi ahli ilmu dengan bermudah-mudah [tasahhul] mendirikan miniatur negara [dauwlah] berikut pengangkatan imam-nya, ada pula yang memahaminya sebagai kekuasaan kaum Muslimin dengan skala tugas yang sangat besar, karenanya disebut jamaa’ah kubraa atau imaamah ‘uzhmaa. Artinya, kepemimpinan kaum Muslimin yang disepakati di bawah seorang imam [idzaa ijtama’atil ummah ‘alaa amiirin waahid]. Tafsiran kedua inilah yang banyak diambil oleh mayoritas pengkaji as-siyaasah as-syar’iyyah sebagai jamaa’ah ideal. Hal ini seiring dan selaras dengan pandangan Imam As-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwaafaqaat.
Pembahasan ini telah banyak dikupas tuntas oleh para akademisi Muslim; Syaikh Husein ‘Ali Jabir dalam kitab At-Thariiq ilaa Jamaa’atil Muslimiin, atau Syaikh Shalah as-Shaawi dalam kitab kritiknya Jamaa’atul Muslimin; Mafhuumuhaa wa Kaifiyatu Luzuumiha Fii Waaqi’inal Mu’aashir. Selain itu, kitab yang berjudul Fatawaa wa Kalimaat Fii Mauwqiif Minal Jamaa’at karya Syaikh ‘Abdur Razaq bin Khalifah As-Syayaji dapat menjadi penyeimbang dalam memaparkan makna Al-Jamaa’ah menurut para ulama salaf dan khalaf sekaligus.
Dalam praktiknya, ketika kepemimpinan ummat yang ideal tidak atau belum mampu ditegakkan kembali oleh kaum Muslimin, maka jalan keluar yang ditempuh bukan meninggalkan secara totalitas. Melainkan, bagaimana kita menjadikan opsi lain yang mendekati kepada kesempurnaan bisa diikhtiarkan. Dalam bahasa Syaikh ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq dalam risalahnya Masyruu’iyyah ‘Amal Jamaa’i, “Ketika jamaa’ah kubraa belum dapat kita tegakkan, maka jamaa’ah shugraa bisa menjadi pilihan untuk kita rawat menuju kesempurnaan”. Ini selaras dengan qaidah ushul yang mu’tabar: Maa laa yudriku kulluhu laa yutraku kulluhu; “Suatu kewajiban yang tidak dapat ditunaikan dengan sempurna maka jangan ditinggalkan seluruhnya”.
Betapa berharganya hadits tersebut dalam memaknai sebuah “kekuasaan” dan pentingnya “kepemimpinan”, sampai-sampai para ulama Ashhaabus Sunan menempatkannya dalam Kitaabul Imaarat dengan bab khusus Kaifal amru idzaa lam takun lahu jamaa’atun wa laa imaamun. Ini menunjukan bahwa kegelisahan ummat di masa sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan bentangan waktu yang semakin jauh seperti zaman sekarang ini mengisyaratkan kebenaran nubuwwah-nya.
‘Alaa kulli haal, terlepas dari banyaknya paparan [syarh] para ulama dalam memaknai sinyalemen khabar kenabian dalam hadits-hadits tersebut, ada banyak pelajaran yang dapat diambil sebagai kalam peringatan dalam menangkap tanda-tanda zaman yang terus berkembang. Demikian pula, pada konteks kekinian dalam perspektif percaturan dan pergumulan kekuasaan yang dihadapi ummat Islam di seluruh benua umumnya dan dalam bingkai kebangsaan kita pada khususnya, menjadikan isyarat-isyarat kenabian tersebut sebagai parameter dalam meneropong perkembangan peradaban.
Dengan melakukan pembacaan ulang terhadap narasi-narasi sebelumnya, maka ada banyak pelajaran yang dapat kita jadikan pegangan dalam mempersiapkan diri menghadapi tahun-tahun politik yang terus berulang di setiap masa agar siyaasah ‘alaa minhaajin nubuwwah tidak terlampau jauh dari jangkauan. Di antara rambu-rambu penting yang mesti diperhatikan adalah:
1. Senantiasa melibatkan para ulama waratsatul anbiyaa dalam menghadapi berbagai persoalan yang dihadapi, merupakan adab perjuangan hakiki.
2. Selalu siap menjadi ummat siaga merupakan panggilan jiwa dan agama sebagai bentuk kewaspadaan universal, terlebih menghadapi zaman pancaroba.
3. Munculnya fenomena “serigala berbulu domba” dalam semua lini kehidupan menjadi tanda nyata adanya rambu-rambu bahaya dan sekaligus menjadi pelajaran untuk membedakan siapa sahabat sesungguhnya dan siapa musuh sebenarnya.
4. Saling menjaga soliditas dan ukhuwwah ummat serta membangun kemitraan yang mashlahat dengan siapapun di antara para penyangga amanah dan keadilan adalah keniscayaan di tengah-tengah hampanya kepemimpinan.
5. Senantiasa berpegang pada kebenaran Allah dan rasul-Nya dalam segala hal di tengah-tengah ikhtiar perjuangan merupakan syarat mutlak ketauhidan hingga nafas berpisah dari badan. Wallaahu a’lam bish shawwaab.
__________
✍️ Tulisan ini penulis goreskan sebagai bahan pemantik diskusi dalam Pengajian Politik Islam (PPI) yang diselenggarakan pada Ahad, 11 Jumadil Tsani 1445 H./ 24 Desember 2023, di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Alhamdulillâh sae pisan Tadz. Mohon izin share. Jazâkumullôhu khoer.
Afwan pak ustad, baru sempat tenang membaca tulisan bapak yg luar biasa.
Ada yang menjadi pertanyaan bagi saya.
1. Jamaah kaum muslimin skrg ini, sblm muncul kekilafahan diakhir zaman, khususnya di Indonesia itu yang mana ?
2. Apakah kita harus ikut jemaah tersebut, kalau tdk mau dikatakan keluar dari jemaah kaum muslimin ?
Mohon pencerahannya pak ustad
Jazaakallahu khoir katsiron.
1. Dengan hadist tsb, mestinya yg harus menjadi titik perhatian adalah kata2 nabi yg terakhir yaitu:
Apabila jama’ah muslimin dan Imam kaum Muslimin tdk ada (yg semisal khilafah kenabian), maka tinggalkanlah semua kelompok yg mengaku sudah adanya jama’ah dan imam kaum muslim. Namun demikian, jika jamaah kubra tidak ada, bukankah ada jama’ah shugra yang bisa menjadi alternatif ? Yg dimaksud adalah siapapun kelompok dan imamnya yg benar2 istiqamah berpegang pada kitab Allah dan sunnah Nabinya (tanpa harus merasa paling berpegang teguh pada keduanya.
2. Kita tidak mesti masuk jama’ah manapun, sekiranya kita menilai tidak ada jama’ah dan imam yang memenuhi kriteria. Namun demikian, kalaulah ada yg lebih mendekati kepada kriteria walau tidak sempurna maka itu bisa menjadi pilihan. Itulah hakikat dari kaidah ushul “Maa laa yudriku kulluhu laa yutraku kulluhu”
Demikian wallahu a’lam bish shawwab, semoga menjawab.
~Teten Romly Qomaruddien