Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Pemimpin yang baik terlahir dari masyarakat atau warga yang baik, demikian juga masyarakat yang baik terlahir dari komunitas keluarga yang baik, dan keluarga yang baik cerminan dari pasangan yang baik. Semua kebaikan itu, tidak dapat dilepaskan dari sosok-sosok induk entitas manusia yang baik pula.
Pemimpin [imaam], adalah sosok yang benar-benar mampu menjadi orang terdepan [amaam] dalam menata kebaikan. Lalu, untuk apa ia harus selalu di garda depan? Jawabnya, karena ia memiliki peran dan tanggung jawab mengatur urusan masyarakat yang dipimpinnya [ummat]. Pola seperti ini tentu saja bukan hal yang mudah terjadi begitu saja, melainkan ada harmoni yang telah terbina sebelumnya melalui proses yang disebut “berpasang-pasangan” [azwaaj]. Dari sinilah, berikutnya akan lahir sosok termulia di antara makhluk manusia di muka bumi yang akan menjadi madrasatul uulaa atau “Guru pertama”, yaitu sosok seorang ibu [ummun].
Ketahanan keluarga, merupakan konsep dasar kepemimpinan bangsa dan negara, itu sudah pasti. Bagaimana keberhasilan keluarga Nabiyullaah Ibrahim ‘alaihis salaam dan keluarga Imran dalam membangun sinergi dakwah dan mengokohkan pondasi Tauhid keluarga, tercermin jelas dalam kehidupan internal dan masyarakatnya.
Namun demikian, dengan penuh objektif Al-Qur’an membentangkan peran antagonis keluarga Nabiyullaah Nuh dan Nabiyullaah Luth ‘alaihimas salaam yang dakwah mereka tidak mendapatkan dukungan istri dan anaknya. Yang menarik, justru istri Fir’aun [imra’atu Fir’aun] yang gigih perjuangan dakwahnya walaupun hidup di tengah-tengah kemewahan istana dan kebengisan Raja yang nyata-nyata suaminya sendiri.
Dengan kisah-kisah tersebut semakin jelas, bahwa do’a yang termaktub dalam QS. Al-Furqaan/ 25: 74 terkait makna azwaaj adalah bukan hanya pasangan biasa, melainkan pasangan yang memiliki visi dan misi yang seiring sejalan, berjalin berkelindan dalam menggapai ridha Allah ‘azza wa jalla.
Sejarah terkait lahirnya pemimpin dan orang-orang hebat pasca generasi awal, terpotret dalam sejarah keemasan Islam, di antaranya: Sulthan Al-Fatih atau Muhammad Tsani yang lahir dari keluarga terdidik sejak dini, mampu membuka kembali Konstantinopel dari kekuasaan Romawi Byzantium, atau Sulthan Saladin yang mampu mengusir penjajah Eropa dari negeri Syam sehingga dirinya terabadikan sebagai panglima yang sangat ditakuti dan disegani pasukan Salib, demikian pula dengan Sulthan Nuruddin Zanki dan ‘Imaduddin Zanki dengan panglimanya Saifuddin Quthuz yang berhasil menghalau pasukan Tatar anak buyut Jengis Khan.
Dalam konteks sejarah negeri kita, cukuplah mewakili sosok para ulama bersahaya dan para Guru bangsa yang berwibawa menjadi tauladan. Seperti halnya Mohammad Natsir dengan isterinya Nur Nahar yang dengan suka rela melepas perhiasannya demi keberlangsungan Pendidikan Islam [PENDIS] yang dirintisnya, atau jalinan cinta kasih Buya Hamka dan Siti Raham yang telah menyentuh qalbu dalam menapaki langkah perjuangan dakwah. Juga, tokoh-tokoh lain yang telah mewariskan nilai-nilai perjuangan dan pengorbanannya.
Dengan uraian singkat ini terjawablah sudah, mengapa Allah ‘azza wa jalla mendahulukan azwaaj sebelum dzurriyaat dan lil muttaqiina imaaman? Rahasia jawabannya adalah, kepemimpinan yang baik, hanya bisa lahir dari masyarakat yang baik. Dan masyarakat yang baik tidak akan muncul, melainkan karena hasil didikan Guru-guru terbaik. Adapun Guru-guru terbaik yang paling utama dan pertama adalah pasangan yang berkualitas, yakni keluarga.
Sebagai kalimat penutup, kita semakin yakin bahwa ketahanan keluarga benar-benar menjadi kata kunci dalam membangun ketahanan bangsa dan negara. Terwujudnya generasi yang mampu memperbaharui mentalitas ummat [tajdiidu ma’nawiyyatul ummah], membangun jiwa kritis [ba’tsul himmah fit tasaa’ulaat], menjadi agen perubahan kebaikan [‘anaashirul ishlaah], dan menjadi pelanjut estafeta keturunan [naqlul ajyaal]. Semua ini merupakan peran pokok yang mesti dimainkan keluarga Muslim sebagai anak bangsa.
ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما
Yaa Rabb, anugerahkan untuk kami pasangan-pasangan kami dan anak keturunan kami sebagai permata hati/ penyejuk jiwa. Dan jadikanlah untuk kami [berupa dianugerahkannya] pemimpin bagi ummat yang bertaqwa”.
Catatan ringkas ini, semoga menjadi terapi etik dalam turut serta membimbing anak bangsa demi lahirnya kepemimpinan ummat yang diidam-idamkan. Benar, pepatah menuturkan: “Tegakkan dauwlah iman-taqwa di hatimu dan keluargamu, niscaya kedaulatan Islam akan tegak di negerimu!!!” … Aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin.
___________
✍️ Tulisan ini digoreskan dan disampaikan dalam Acara Akhir Tahun Majelis Ormas Islam (MOI) di Masjid Jami’ Nurul Madinah Jl. Cilandak KKO Ragunan, Jakarta Selatan (Ahad, 31/12/2023).