Oleh: Teten Romly Qomaruddien
Kata Hisaab merupakan istilah dalam Islam yang merujuk pada proses perhitungan atau penilaian Allah ‘azza wa jalla atas amal perbuatan manusia. Dikatakan Allah itu syarii’ul hisaab, maknanya Dia-lah Allah yang Maha cepat penghitungannya.
Dalam diksi hisaab, mengandung dua makna yang saling bertalian; yakni bilangan atau hitungan [al-‘addu] dan perhitungan [al-muhaasabah]. Titik singgung keduanya, terletak pada bagaimana seseorang dapat menghitung dan menimbang amalan dirinya untuk dipertanggung jawabkan di hari perhitungan kelak atau alam hisab.
Dalam hal ini, Allah ‘azza wa jalla berfirman:
وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl/ 16: 93).
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yaasin/ 36: 65).
Memperbanyak aktivitas dalam menghitung-hitung kembali amalan diri, yaitu kesalahan dan kekhilafan, serta dosa yang telah dilakukan. Itulah yang disebut dengan Muhaasabah yang secara etimologis, merupakan bentuk dasar [mashdar] dari kata haasaba-yuhaasibu dari kata dasar hasaba-yahsibu atau yahsubu, maknanya adalah menghitung. Ahmad Warson Munawir dalam kamusnya Al-Munawir menerjemahkannya dengan perhitungan atau introspeksi.
Definisi ini pun digunakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), muhasabah diri artinya introspeksi. Makna jauhnya adalah peninjauan atau koreksi terhadap diri sendiri [dari perbuatan, sikap, kelemahan, kesalahan, dan sebagainya]. Tegasnya, muhasabah adalah salah satu cara membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat serta berujung dengan penyesalan.
Allah ‘azza wa jalla menegaskan dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok [akhirat]; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. “ (QS. Al-Hasyr/ 59: 18).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menuturkan dalam sabdanya:
الندم توبة
“Menyesal adalah taubat.” (HR. Ibnu Majah, no. 4252 dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anh).
Karenanya, betapa pentingnya seorang Muslim ber-muhasabah, Khalifah Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anh pernah mengingatkan: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, karena itu akan memudahkan hisab kalian kelak. Timbanglah amal kalian sebelum ditimbang kelak. Ingatlah keadaan yang genting pada hari kiamat [sembari membacakan ayat QS. Al-Haqqah/ 69: 18] yang mengingatkan bahwa pada hari itu kamu dihadapkan [kepada Rabb-mu], tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi [bagi Allah].” (Lihat: Az-Zuhud Lil Imaam Ahmad, no. 633 dari Tsabit bin al-Hajjaj radhiyallaahu ‘anh).
Adapun hari terjadinya proses penghitungan, itulah yang disebut dengan Yaumul Hisaab. Yakni, suatu hari yang di dalamnya setiap hamba akan ditanya tentang kenikmatan yang dirasakannya selama di dunia. Ketika Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang bunyi ayat:
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنْ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan [yang megah di dunia].” (QS. At-Takaatsur/ 102: 8).
Maka Rasulullaah pun menjawab “Semua itu akan terjadi.” Jawaban ini beliau sampaikan setelah mendengarkan pertanyaan mereka seputar anugerah kenikmatan makanan, minuman, dan rasa aman dari musuh. Demikian Al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan dengan menukilkan riwayat Imam Ahmad.
Sedangkan istilah yang terakhir, yaitu Ilmu Hisab, sebenarnya tidak ada hubungan secara langsung dengan tiga pembahasan sebelumnya. Namun apabila ditelusuri ujungnya, tetap harus bermuara kepada titik keimanan dan semangat spiritual yang sinergi. Mengapa demikian? Jawabannya karena ilmu hisaab sudah menjadi disiplin ilmu yang kegunaan dan manfaatnya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai syari’at. Terlepas dari silang pendapat ahli ilmu, kini disiplin ilmu ini selalu menjadi perbincangan dalam turut serta menetapkan kapan suatu ibadah dimulai?
Selain menetapkan awal bulan qamariyyah dengan cara ru’yatul hilaal, yakni melihat bulan pertama muncul dengan mata telanjang atau penggunaan teleskop. Juga digunakannya hitungan [hisaab], sebagai cerminan hamba Allah ‘azza wa jalla yang berakal dengan merujuk pada semangat pendekatan Al-Qur’an yang menyebutkan:
الشمس والقمر بحسبان
“Matahari dan bulan [beredar] menurut perhitungan.” (QS. Ar-Rahmaan/ 55: 5)
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلشَّمْسَ ضِيَآءً وَٱلْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُۥ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا۟ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلْحِسَابَ
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah [tempat-tempat] bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan [waktu] …” (QS. Yunus/ 10: 5).
Baik yang berpegang kepada ru’yatul hilaal ataupun hisaab, keduanya bersandar kepada hadits berikut: “Apabila kamu melihat hilal maka shaumlah, dan apabila kamu melihatnya ber-‘idul fithrilah. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka perkirakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anh).
Kalimat “perkirakanlah” [faqduruu lah] dalam hadits tersebut, menurut sebahagian ulama menunjukkan bolehnya menggunakan ilmu hisab. Pandangan ini dikuatkan oleh Mithraf bin ‘Abdillah, ‘Abul ‘Abbas bin Suraij, dan Ibnu Qutaibah. Sementara Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan jumhur Salaf dan Khalaf memaknainya dengan “menggenapkan Sya’ban 30 hari”.
Adapun Imam Ibnul ‘Arabi [bukan Ibnu ‘Arabi] menukilkan pendapat Abul ‘Abbas yang menyebutkan bahwa “faqduruu lah” diperuntukkan bagi yang memiliki keahlian ilmu falak [hisaab], sedangkan “fa akmiluu ‘iddata tsalaatsiina”, diperuntukkan bagi yang tidak memiliki kemampuan ilmu falak. Demikian Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi menukilkan paparan Imam Ibnu Rusyd dalam kitab Bidaayatul Mujtahid 1: 77-78. (Lihat: Fiqhus Shiyaam dan Kaifa Nata’aamal Ma’as Sunnah an-Nabawiyyah).
Apakah sampai di sini selasai masalahnya? Tentu saja tidak, karena karakteristik ilmu pengetahuan itu berkembang. Dalam penggunaan ilmu hisaab ini [sebagian menyebutnya ru’yat bil ‘ilmi], ada yang menggunakan metode hisab wujuudul hilaal dan ada yang menggunakan metode hisab imkaanur ru’yat. Perbedaannya adalah metode pertama menganggap bahwa jika hilaal sudah ada meskipun tidak nampak atau terlihat, maka tetap keesokan harinya ditetapkan shaum. Sedangkan metode kedua berpendapat bahwa adanya hilaal belum ditetapkan adanya sampai hilaal tersebut benar-benar dapat dilihat.
Wal haashil, selama dualisme pandangan ini masih terjadi maka kaum Muslimin dituntut lebih keras lagi untuk bersikap dewasa dan para pemangku yang berwenang dalam urusan ini lebih bersikap bijaksana. Berbeda tidak berarti berpecah, karena perbedaan bukanlah perpecahan. Untuk mengurangi tensi perbedaan, selain pentingnya sama-sama meluruskan keikhlasan niat dan semangat ukhuwwah, juga dinilai masih sangat relevan apabila ulil amri yang dipercaya tetap menyelenggarakan “sidang itsbaat” dengan alasan kaidah syar’i itsbaatul haakim yarfa’ul khilaaf sebagai bukti hadirnya kekuasaan dalam menetapkan dan menetralisir masalah ummat.
Semoga dari berbagai peristiwa ini kita semakin dapat ber- muhaasabah, dan adanya perbedaan ru’yat-ilmu hisaab ini tidak menyebabkan hisaab kita di yaumil hisaab kelak menjadi hitungan yang memberatkan timbangan keburukan. Allaahumma haasibnii hisaaban yasiiran.
*) Materi ini ditulis sebagai bahan bahasan muhadharah umum yang akan disampaikan dalam Kuliah Ramadhan 1445 H di Masjid Wadhhah ‘Abdurrahman Al-Bahr Pusdiklat Dewan Da’wah Setiamekar Tambun Selatan Bekasi Jawa Barat (yang pembinaan jamaahnya telah dirintis sejak tahun 1998).
Jazâkumullôhu khoer Tadz. Sae pisan.