Senin, September 9MAU INSTITUTE
Shadow

SEKUNTUM MAWAR PEMBUKA SEMINAR QUR’ANIC PARENTING: “MENUMBUHKAN KEPERCAYAAN DIRI PADA ANAK”

SEKUNTUM MAWAR PEMBUKA SEMINAR QUR’ANIC PARENTING: “MENUMBUHKAN KEPERCAYAAN DIRI PADA ANAK”
Oleh:
H.T. Romly Qomaruddien, MA.

Alhamdulillaahil ladzie bini’matihi tatimmus shaalihaat … wa ba’du:

Gembira rasanya, dalam kesempatan yang berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam rangka membincangkan satu pembahasan, “proyek raksasa” yang sangat penting. Mengapa sangat penting? Karena kita akan menyiapkan anak-anak kita benar-benar sebagai anak yang layak hidup di zamannya.

Marilah kita berpikir 10, 20, 30, 40 bahkan 50 tahun ke depan. Akankah anak-anak kita mampu menjadi pemimpin? Pemimpin bagi dirinya, pemimpin bagi lingkungan keluarganya, pemimpin bagi masyarakatnya, pemimpin bagi bangsanya dan pengawal bagi agamanya.

Al-Qur’an yang mulia, banyak mengisyaratkan adanya berbagai type pembinaan dalam menumbuh kembangkan generasi. Ada model keluarga Nabiyullaah Adam ‘alaihis salaam dalam menyikapi Habil dan Qabil, ada model Nabiyullaah Nuh ‘alaihis salam ketika menghadapi anaknya Kan’an, ada model Nabiyullaah Luth ‘alaihis salaam yang mendapat penentangan isterinya, ada model Nabiyullaah Ibrahim ‘alaihis salaam dengan Ismail dan Ishaq ‘alaihimas salaam (dua anak dari bibit yang berbeda), ada model Nabiyullah Ya’qub ‘alaihis salaam dengan anak-anaknya yang dua 12 orang (dari empat bibit), ada model Nabiyullaah Musa ‘alaihis salaam yang sejak bayi dalam lindungan seorang bunda yang hebbat Asiyah isterinya tirani jahat Fir’aun, ada model Nabiyullaah ‘Isa ‘alaihis salaam sang bayi mungil tanpa ayah dalam pengasuhan wanita jelita yang suci. Dan sudah tentu model paripurna seorang Nabi akhir zaman Rasulullaah Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan dan suri tauladan ummat manusia sejagat dengan berbagai pernak-pernik kehidupannya. Itulah hakikat makna Laqad kaana fie qashashihim ‘ibratun li-ulil albaab. “Sungguh ada pada kisah-kisah mereka, pelajaran berharga bagi orang-orang yang memiliki akal pikiran.” (QS. Yuusuf/ 12: 111).

Masih ingatkah kita, sosok Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhumaa (dua shahabat muda yang piawai dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an), sosok anak muda ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anh yang berani dan ksatria dalam mengawal da’wah Rasul, sosok ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa gadis belia nan cerdas puteri Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallaahu ‘anh, demikian pula adinda beliau Asma’ binti Abi Bakar radhiyallaahu ‘anhaa yang telah turut serta ambil bagian tugas da’wah bersama ayahandanya dalam menyelamatkan sang Rasul. Juga, tentu saja keteladanan anak dan mantu Rasulullaah sendiri; Fathimah, Ruqayyah, Ummu Kaltsum bersama para suami mereka ridhwaanullaah ‘alaihim ajma’ien dalam mendedikasikan jiwanya di jalan Allah dan rasulNya.

Tidak kalah menariknya, dua bocah bernama Mu’adz yang masih lucu dan menggemesin, yang punya cita-cita “pengen” melihat mukanya penista agama kelas hiu Abu Jahal, sebagaimana kesaksian ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu ‘anh di mana keduanya (setelah diberi tahu) langsung menyerang Abu Jahal bagaikan seekor elang menyergap mangsanya. Dua bocah itu nama lengkapnya Mu’adz bin ‘Amr bin Jamuh dan Mu’adz bin Afra’ radhiyallaahu ‘anhum. (Lihat: ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, Mukhtashar Sieratir Rasuul, 1417: hlm. 236).

Sama halnya dengan seorang ‘Umair bin Waqqash, dengan usianya yang masih sangat remaja, dirinya “merengek” mohon dengan sangat agar didaftarkan jadi relawan jihad bersama Rasulullaah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat senior lainnya. Hal ini diceritakan langsung oleh saudaranya Sa’ad bin Abi Waqqash, di mana adik kecilnya “bela-belain” sembunyi di belakang barisan pasukan yang tengah berbaris. Akhirnya Rasul pun mengizinkan setelah sebelumnya menolak. “Bahkan akulah (kata Sa’ad) yang menata gantungan pedangnya, karena dia masih sangat kecil”. (Thabaqat Ibnu Sa’ad dalam Sayyid Muhammad Nuh, Manhajur Rasuul Fie Gharsi Ruuhul Jihaad Fie Nufuusi Ashhaabih, 1412: hlm. 8).

Demikian pula, kita masih ingat sosok Shalahuddin Al-Ayyubi yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis dari kaum Salibis? Muhammad Al-Fatih yang membebaskan Konstantinopel? Atau Ibnu Taimiyyah al-Harani yang sejak kanak-kanak telah “melahap” kitab-kitab kakeknya dan menjadi saksi hidup kebengisan imperialis Tatar yang memporak porandakan negeri Syam. Bahkan Fatahillah atau Faletehan yang membebaskan pelabuhan Sunda Kelapa dari penjajah dan merubah Batavia menjadi Jayakarta (yang sekarang menjadi Jakarta). Dan masih banyak yang lainnya dari kalangan ahli ilmu, baik para fuqaha atau tokoh-tokoh lainnya bagaimana kehidupan mereka di masa kecilnya yang tidak dapat kita rincikan satu persatu.

Tidak ada seorang pun di antara mereka, tumbuh kembang menjadi “manusia”, melainkan terlahir dari sebuah madrasah kehidupan yang tidak lepas dari orang-orang hebat yang ada di sekelilingnya. Terutama “Guru-guru hebbat” (baik mereka itu orang tua biologis atau pun orang tua ideologis).

Munculnya generasi hebbat, sangat ditentukan oleh orang tua yang hebbat, guru yang hebbat, sekolah yang hebbat dan lingkungan yang hebbat pula. Sinergi ini menjadi sangat penting dalam melahirkan hamba-hamba Allah yang memiliki keperibadian prima, visioner, bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Itulah buah kebersamaan dalam membangun generasi harapan.

Untuk mewujudkannya, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan perlu adanya latihan-latihan. Untuk bisa menjadi pegemudi yang handal saja ada kursusnya, bagaimana dengan mencetak generasi mendatang. Karenanya, ulama terdahulu sekaliber Abu Hamid al-Ghazali menulis risalah Ayyuhal Walad yang menjelaskan hubungan guru-murid dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menulis kitab Tuhfatul Waduud Bi Ahkaamil Mauluud yang menjelaskan proses pertumbuhan anak manusia, mulai dari janien hingga anak bisa mengetaui dan mengimani hari akhir.

‘Alaa kulli hal, semua itu terjadi, tidaklah datang “sekonyong konyong” atau tiba-tiba tanpa proses. Di balik semua itu, ada sosok para pendidik yang handal yang mampu “membajakan kepe-dean” menjadi kebanggaan keluarganya, kesuma bagi bangsanya dan menjadi “pasak kokoh” bagi agamanya.

Semoga ikhtiar kita dalam melahirkan generasi “qurrata a’yunin” sebagai bakal calon pemimpin ummat yang bertaqwa benar-benar menjadi kenyataan sebagaimana do’a tulus yang selalu kita alunkan:

ربنا هب لنا من ازواجنا و ذريتنا قرة اعين واجعلنا للمتقين اماما

“Ya Tuhan kami, anugerahkan untuk kami; pasangan dan keturunan kami menjadi penyejuk jiwa, dan jadikanlah mereka menjadi pemimpin bagi ummat yang bertaqwa”

Aamiin yaa Mujiebas saailien …
______

✍ Disampaikan sebagai Keynote Speak dalam Seminar Parenting Qur’ani MMOG bersama: Ustadz Muhammad Fauzil Adhiem, S.Psi di Lingkungan Biro Pendidikan Dasar dan Menengah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (Komplek Pusdiklat Dewan Da’wah Bekasi Jawa Barat)

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!